Di kota kecil bernama Harapan Senja, beredar cerita tentang sosok misterius yang dikenal sebagai "Sang Brandal." Sosok ini menjadi legenda di kalangan warga kota karena selalu muncul di saat-saat genting, membantu mereka yang tertindas dengan cara-cara yang nyeleneh namun selalu berhasil. Siapa dia sebenarnya? Tidak ada yang tahu, tetapi dia berhasil memenangkan hati banyak orang dengan aksi-aksi gilanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon xy orynthius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 35
Malam semakin larut, dan mobil mereka meluncur di jalanan kota yang hampir sepi. Kai menambah kecepatan, mencoba memaksimalkan jarak antara mereka dan para pengejar. Zed duduk di kursi belakang, masih terengah-engah setelah pelarian mendebarkan tadi. Di sebelahnya, Viktor memasang ekspresi serius, mencoba menenangkan adrenalin yang masih mengalir deras di tubuhnya.
“Tempat aman kita masih jauh?” tanya Viktor, memecah keheningan. “Kita nggak bisa berhenti sampai kita yakin mereka kehilangan jejak.”
Kai mengangguk tanpa memalingkan pandangan dari jalan. “Gue udah muter beberapa blok, tapi kita harus terus bergerak. Gue nggak yakin seberapa cepat mereka akan ngelacak kita.”
Zed memegang erat flash drive di tangannya, isinya terlalu berharga untuk hilang. “Gue udah nyadarin satu hal, Viktor. Volkov itu lebih gila dari yang kita kira. Kalau mereka sampai tau gue bawa semua data ini, kita nggak akan punya waktu lama buat nyebarin semuanya.”
Viktor menggeleng, matanya tajam. “Mereka akan berusaha mati-matian buat ngerebutnya lagi.”
Kai mengerutkan kening, merasakan dorongan untuk segera menyelesaikan masalah ini. “Kita harus memikirkan langkah selanjutnya. Gue nggak bisa bawa kita ke tempat biasa. Mereka pasti udah menyusupkan orang-orang di sana.”
Di sudut mata Kai, sebuah mobil hitam besar muncul dari gang dan melaju mendekat. “Sial!” seru Kai, menyadari bahwa pengejaran belum berakhir. “Mereka udah nemuin kita!”
Mobil hitam itu melaju semakin cepat, mencoba mendekati dari belakang. Tanpa ragu, Kai membanting setir, menghindari jalan lurus dan mengambil tikungan tajam, masuk ke jalan yang lebih sempit dan berliku.
“Lo yakin ini akan berhasil?” tanya Zed dengan cemas.
Kai tersenyum tipis, mata fokus pada setiap belokan. “Percaya aja sama gue.”
Viktor membuka jendela, mengambil senapan otomatis dari kursi belakang dan menyiapkan senjata. “Gue nggak suka jadi penonton di acara ini.”
Mereka memasuki gang sempit dengan dinding tinggi di kedua sisi. Mobil hitam di belakang masih mengejar mereka tanpa henti. Kai menambah kecepatan, tapi pengejar mereka sepertinya tidak terpengaruh.
“Buka mata lo, Viktor,” kata Kai sambil mengambil napas dalam-dalam. “Gue bakal kasih lo kesempatan buat balas dendam.”
Viktor tertawa kecil, nada suaranya terdengar penuh antisipasi. “Itu yang gue tunggu.”
Ketika mobil hitam semakin dekat, Viktor melongok keluar, mengarahkan senjatanya ke roda depan mobil lawan. Dengan satu tarikan pelatuk, peluru melesat, mengenai roda mobil tersebut. Suara letusan keras terdengar, dan mobil hitam itu langsung kehilangan keseimbangan, tergelincir dan menabrak dinding samping gang.
“Bingo,” gumam Viktor dengan puas, menarik kembali tubuhnya ke dalam mobil.
Kai melirik ke belakang, melihat mobil yang kini teronggok hancur. Tapi dia tidak mengendurkan kecepatan, tahu bahwa ini hanya sebagian kecil dari ancaman yang mereka hadapi.
“Gue rasa kita bisa berhenti sebentar di depan,” kata Zed dengan nada lega.
Kai menggeleng. “Belum waktunya buat santai. Kita masih harus nyari tempat yang benar-benar aman buat memproses data ini dan rencanain langkah berikutnya.”
Mereka melaju lebih jauh keluar dari kota, menuju pinggiran yang lebih sepi. Setelah beberapa lama, Kai memarkir mobil di sebuah gudang tua yang mereka gunakan sebagai salah satu tempat persembunyian darurat.
Setelah memastikan bahwa tempat itu aman, mereka segera masuk ke dalam. Gudang itu kosong, hanya berisi beberapa meja dan komputer lama yang sudah terhubung ke jaringan rahasia mereka.
“Gue akan segera mulai nyebarin datanya,” kata Zed, langsung menyalakan komputer dan memasang flash drive.
Kai dan Viktor menjaga pintu masuk, memastikan bahwa mereka tidak diikuti. Di luar, angin malam yang dingin menyapu jalanan, memberikan suasana yang sedikit mencekam.
“Apa yang lo pikirkan, Kai?” tanya Viktor, memecah keheningan.
Kai menatap Viktor sejenak sebelum menjawab. “Gue mikirin tentang Volkov. Orang ini lebih dari sekadar kriminal biasa. Dia punya pengaruh besar, dan kalau kita gagal ngalahin dia sekarang, kita mungkin nggak akan punya kesempatan kedua.”
Viktor mengangguk. “Gue ngerti. Kita udah ngambil langkah besar, tapi ini belum selesai.”
Di dalam, Zed menatap layar monitor dengan cemas. Proses penyebaran data berjalan, tapi lambat. “Mereka pasti udah ngelacak kita,” katanya. “Kita harus siap kalau mereka datang lebih cepat dari yang kita duga.”
Kai menatap Zed dengan penuh keyakinan. “Kita siap. Mereka mungkin kuat, tapi kita udah punya senjata yang paling kuat—kebenaran.”
Tidak lama kemudian, suara keras terdengar dari luar. Mereka semua terdiam, mendengar suara langkah kaki mendekat dari arah pintu depan gudang. Kai segera mengangkat tangannya, memberi isyarat pada Viktor untuk bersiap.
Pintu gudang terbuka dengan keras, dan sekelompok pria bersenjata lengkap masuk, dipimpin oleh salah satu anak buah Volkov. “Kalian pikir bisa kabur dengan data itu?” seru pria tersebut, senyumnya penuh ancaman.
Kai memutar pistol di tangannya, siap untuk pertempuran terakhir. “Kita nggak kabur. Kita di sini buat nyelesain ini.”
Viktor mengangkat senjatanya dengan tenang, menyusul Kai. “Lo salah milih musuh.”
Pertempuran meletus dengan cepat. Peluru beterbangan di dalam gudang, menghancurkan peralatan dan memantul di dinding beton. Kai dan Viktor bertahan di balik meja, menembak secara taktis sambil bergerak maju, sementara Zed terus berusaha menyelesaikan proses penyebaran data.
Di tengah kekacauan, salah satu pria Volkov berhasil mendekati Zed, bersiap menghabisinya. Tapi Zed, dengan refleks cepat, menjatuhkan keyboardnya ke kepala pria itu, membuatnya pingsan seketika.
“Ayo, sedikit lagi!” Zed berseru, jari-jarinya kembali menari di atas keyboard.
Kai berhasil mengalahkan salah satu musuh terakhir dan berlari ke arah Zed. “Bagaimana?”
“Done!” Zed tersenyum, menarik flash drive dari komputer.
Kai menarik napas lega, tapi sebelum dia bisa merayakan, suara pintu besar di belakang mereka terbuka. Volkov sendiri masuk, menatap mereka dengan tatapan dingin dan senyum sinis di wajahnya.
“Jadi ini akhir dari rencana kecil kalian?” katanya, suaranya berat dan penuh ancaman. “Kalian kira bisa lolos begitu saja?”
Kai mengarahkan pistolnya pada Volkov. “Kita nggak cuma lolos. Kita akan menghancurkan lo.”
Volkov tertawa kecil, mengangkat tangannya. “Sayang sekali, kalian nggak akan pernah punya kesempatan.”
Namun sebelum Volkov bisa bergerak, suara helikopter terdengar di luar gudang. Kai menatap ke arah jendela, melihat beberapa lampu sorot dari atas. “Kita udah punya cukup bukti buat ngancurin lo, Volkov. Dan sekarang, lo yang nggak punya kesempatan.”
Pihak berwenang akhirnya tiba, memaksa Volkov dan anak buahnya untuk menyerah. Dengan data yang berhasil mereka sebarkan, Proyek Apocrypha berakhir sebelum benar-benar dimulai.
Kai, Viktor, dan Zed akhirnya bisa bernapas lega. Meskipun pertempuran masih jauh dari selesai, malam itu mereka tahu bahwa mereka telah memenangkan satu babak penting. Namun, ancaman dari Volkov masih menggantung, dan perang ini belum benar-benar berakhir.