Arumi Yudistira seorang wanita yang penyabar. setiap ada masalah dalam rumah tangga selalu dia hadapi dengan sabar.
akan tetapi, untuk masalah kali ini tidak bisa membuat Arumi untuk lebih bersabar lagi. Hingga Arumi memilih untuk pergi meninggalkan suaminya yang tak kunjung ada perubahan.
lalu bagaimana reaksi Gibran iskandar yang mengetahui istrinya pergi meninggalkan nya?
Akankah Gibran mengejarnya? atau membiarkan nya?
yuk simak kisah ini sampai habis yaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Razi Maulidi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. Dua Puluh Empat
Bab 24.
Hari ke hari, pak Alex terus saja mendekati Arumi. Hingga kabar itu terdengar sampai ke telinga Gibran. Darah yang berdesir hebat ketika mendengar gosip bahwa Arumi akan di pinang sang bos. Gibran yang sedang bekerja sebagai OB di perusahaan kakaknya pak Alex pun mengepal tangan dengan kuat yakni menahan amarah yang tiada jelas itu.
Hari sudah sore, tampak Gibran sudah duduk di motornya di depan kantor pak Alex. Arumi dan Mika sudah pulang lebih dulu.
Tanpa babibu lagi, Gibran langsung melayangkan tinju ke wajah handsome pak Alex. Hal itu juga di saksikan banyak orang. Pak Alex tak sempat mengelak otomatis langsung kena hajar di wajahnya.
"Dasar bos gak tau diri! Berani beraninya kau melamar Arumi? Dia itu milikku, dia masih milikku!" teriak Gibran dengan darah menggebu-gebu.
"Hah! Yang benar saja? Bukankah Arumi dan kau sudah resmi berpisah? Dasar tolol! Dia begitu sempurna, tapi kau begitu tega menyakitinya." jawab pak Alex dengan begitu santainya.
"Itu bukan urusanmu! Itu urusan keluargaku! Jangan pernah kau dekati Arumi ku lagi, kau mengerti!" bentak Gibran dengan tidak tau malunya.
"Aku mendekatinya karena dia sudah resmi pisah dengan mu. Dan kau mau apa? Dasar bodoh!"
Pak Alex lantas pergi meninggalkan Gibran begitu saja. Sengaja hari ini pak Alex ingin memakai motor karena ingin menikmati nikmatnya angin yang menyejukkan hati dan pikiran nya.
Gibran yang masih berdiri di sana merasa harga dirinya di injak oleh seorang pak Alex. Begitu marah mendengar mendengar berita bahwa wanita yang dulu bersamanya kini akan jadi pujangga pria lain.
Walaupun kini mereka sudah tidak punya ikatan lagi. Gibran masih mencintainya. Gibran harus mendapatkan nya kembali. Umpatnya dengan nada kesal.
Ia melajukan motor itu menuju rumah di mana tempat tinggal Arumi sekarang. Kali ini, ia menahan rasa takut dan melangkah masuk area komplek perumahan tersebut.
"Assalamu'alaikum, permisi bibi," sapa Gibran dengan lembut ketika melihat bik Nur sedang menyapu halaman rumahnya.
Sontak bik Nur menoleh dan menatap Gibran dengan tatapan tajam.
"Kau! Untuk apa kau ke mari?" langsung di sogokan dengan pertanyaan berat.
"Maaf, bi mengganggu. Apa Arumi sudah di rumah? Aku perlu bicara dengannya."
"Tidak perlu! Mau bicara apa memangnya? Sudah sana, pergi!"
Bik Nur langsung mengusirnya tanpa dengar dulu penjelasan nya. Bik Nur benar-benar marah ketika bertemu langsung dengan Gibran.
"Bik, dengar dulu bik. Arumi tidak bisa menerima pria lain, dia masih cinta sama aku bik. Aku jamin itu, coba bibi tanya sama Arumi. Pasti itu jawaban dia," Gibran masih berusaha membujuk.
"Hah! Cinta kau bilang. Kau lupa, tentang rasa sakit yang begitu dalam, kau sudah menusuknya berulang kali di tempat yang sama. Seharusnya kau ingat itu! Jangan pernah kau mengganggu kehidupan putriku lagi, kau mengerti!"
Bik Nur kini, benar-benar marah terhadap Gibran. Amarah yang sudah dulu ia pendam kini ia luapkan semuanya dengan begitu kasar.
Bik Nur mendorongnya dengan menggunakan sapu yang ada di tangannya.
***
"Bik, siapa yang datang, bi?" tanya Arumi, karena barusan ia mendengar ada suara keributan di luar.
"Tidak ada, nak. Loh! Kamu mau kemana lagi? Perasaan baru saja pulang."
"Aku mau ke butik dulu bi. Bibi mau ikut? Ayo,"
"Ahh tidak. Bibi di rumah saja. Kamu hati hati di jalan ya,"
Arumi mengendarai motor matic miliknya. Tak butuh waktu lama, Arumi berhasil membelah jalan raya dan tiba lebih cepat ke butik miliknya.
"Ehh maaf, aku terlambat."
"Tidak apa-apa,"
Degh... Arumi mengenali suara itu.
"Ehh ma, ada apa ya mama ke sini?" tanya Arumi yang tiba mengenali suara ringan dari ibunya pak Alex.
Arumi menyambutnya dengan hormat dan baik.
"Bagaimana jika malam nanti kita pergi ke kafe bintang lima untuk makan bersama."
"Tapi ada apa ma? Kenapa mendadak begitu?"
"Tidak ada apa-apa, mama hanya ingin kita dekat. Supaya tidak ada rasa canggung lagi di antara kita, sayang."
Hati Arumi begitu terharu kala mendengar suara lembut dari sang ibu, walaupun itu bukanlah ibunya sendiri. Wanita tua itu begitu menghormati Arumi yang sudah pasti di kiranya akan menjadi menantunya.
Arumi mengangguk pelan dan menyetujui ajakan wanita itu.
***
Hati Arumi berdegup begitu kencang. Ternyata di sana bukan hanya mama, melainkan ada bibinya juga, dan juga pak Alex.
"Bibi, kau di sini?" tanya Arumi merasa terkejut ada bibinya di sana.
"Ini pertemuan antara keluarga. Mari, duduklah, sayang." jawab wanita itu sambil tersenyum ramah.
Tanpa aba aba lagi Arumi pun duduk bersebelahan dengan pak Alex, karena hanya itu kursi kosong yang tersisa. Mungkin memang khusus untuknya.
Mereka makan malam bersama di sana. Bik Nur terasa begitu canggung makan di sana bersama mereka. Penampilannya begitu kuno, cara dia makan juga sangat kuno. Hingga bik Nur terus saja menundukkan kepalanya tidak berani menatap kemanapun.
Arumi paham semua itu. Arumi memindahkan sumpit yang ada di tangannya, dan mulai makan menggunakan tangan.
"Ayo, makanlah bi." sergah Arumi tersenyum ramah.
Melihat itu, pak Alex pun ikut ikutan Arumi makan pake tangan. Melihat itu membuat bik Nur mengangkat kepalanya. Seketika, rasa canggungnya menghilang. Tampak mereka semua tertawa kecil sambil makan. Sesaat, suara senyap.
Selesai makan, mama tampak serius duduk dengan melipatkan tangan di dada dan menatap serius ke arah Arumi.
Arumi tak berani menatap mama tua itu, dirinya malah menatap arah pak Alex.
"Ehh, mas. Mukamu kenapa?" tanya Arumi.
"Ahh tidak apa-apa."
"Perasaan, tadi sore tidak ada."
"Sudah, dia tidak apa-apa. Mama ingin tau lebih banyak tentang kalian. Ngomong ngomong, bagaimana tentang hubungan akrab kalian?"
Arumi terpaku, tampak pak Alex hanya tersenyum lincah.
"Kenapa kau tersenyum gitu?" tanya Arumi yang merasa kesal atas sikap pak Alex saat ini.
Pak Alex hanya mengangkat bahunya saja tanpa menjawab.
Arumi kini menatap tajam pak Alex. Sudah ia duga, pak Alex pasti tidak memberitahu ketidak siapnya Arumi untuk menikah.
"Bagaimana dengan hubungan kalian? Mama lihat kalian semakin akrab, dan kalian cocok."
"Ahh bisa aja ma. Kami hanya.. Hanya.. Hanya.. Ahh iya teman kantor saja. Hanya itu kok ma."
Mama hanya tertawa kecil melihat sang calon menantunya bicara.
"Bibi tidak bisa ikut bicara, nak. Bibi hanya bisa mendukung saja keputusanmu." jawab bik Nur dengan lemah dan lesu.
Arumi kini menatap bibinya dengan tatapan sendu. Batinnya mengatakan untuk meminta pertolongan sama bibinya, siapa sangka sang Bibi melepaskan diri.
Sang Bibi tidak ingin menghancurkan keponakannya lagi, cukup. Hanya Gibran yang sudah menyakitinya.
Sang Bibi hanya tersenyum manis kala melihat tatapan sang keponakan dengan mimik mata penuh gaya dan trik memohon.
Bersambung...
Jangan lupa komentarnya ya.. Bila ada typo yang salah jangan sungkan tegur saja. Dan apabila ada alur yang kiranya gantung, tegur saja ya, biar author perbaiki.
Terimakasih...
Yuk lanjut baca bab 25...