" Aku menyukaimu Ran. Aku sungguh-sungguh mencintaimu?"
" Pak, eling pak. Iih ngaco deh Pak Raga."
" Ran, aku serius."
Kieran Sahna Abinawa, ia tidak pernah menyangka akan mendapat ungkapan cinta dari seorang duda.
Duda itu adalah guru sejarah yang dulu mengajarnya di tingkat sekolah menengah atas. Araga Yusuf Satria, pria berusia 36 tahun itu belum lama menjadi duda. Dia diceraikan oleh istrinya karena katanya menderita IMPOTEN.
Jadi bagaiman Ran akan menanggapi perasaan pria yang merupakan mantan guru dan juga pernah menjadi kliennya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DDI 29: Gue Ditembak?
Ran masih bergeming dengan semua perlakuan Raga. Bahkan saat Raga menuntunnya untuk duduk di kursi teras, ia belum menguasai dirinya karena saking terkejutnya.
Meskipun ia memang merasa bahwa saat ini hubungan mereka semakin dekat, namun Ran tidak pernah menyangka bahwa mantan gurunya itu memiliki perasaan khusus seperti itu terhadap dirinya.
" Ran," panggil Raga lirih. Pria itu masih menggenggam erat tangan Ran. Tatapan matanya tulus dan jelas mengharapkan sebuah jawaban.
" Eh, ya?"
" Ran, aku sungguh menyukaimu, ini bukan sekedar perasaan sesaat ku," ucap Raga mengulangi pernyataan cintanya.
" Pak Raga, eh maksud saya Mas lagi nggak bercanda kan? Nggak lagi ngaco kan? Ya kali Mas suka ke aku?" sahut aran dengan semua rasa tidak percayanya.
Raga tersenyum simpul, ia tahu bahwa perkembangan perasaannya begitu cepat terhadap Ran dan mungkin saja Ran masih tidak percaya akan dirinya. Tidak masalah, Raga tidak akan menuntut gadis itu untuk menjawab saat ini juga. Baginya yang terpenting adalah sudah mengungkapkan semuanya dan melihat reaksi Ran yang tidak marah atau menghindar, Raga menjadi cukup percaya diri untuk terus maju.
Raga melepaskan tangan Ran lalu berdiri. Sebuah belaian lembut ia berikan pada kepala Ran dan meminta gadis itu untuk menunggu sebentar karena dia akan melanjutkan bersiap sebelum pergi.
Degh!
Ran memegang dadanya yang bergemuruh setalah Raga menghilang masuk ke dalam rumah. Rupanya ketenangan yang ia tunjukkan tadi tidak benar-benar ia rasakan. Atau lebih tepatnya ia berpura-pura tenang.
" Woelaaah, apa nih, dia nembak gue. Gue beneran ditembak tadi kan?" pekik Ran. Tapi dia menahan suaranya itu agar tidak terdengar oleh Raga yang ada di dalam.
Ran mengusap wajahnya kasar, bohong kalau dia tidak merasakan apapun terhadap Raga. Perhatian Raga, sikapnya yang lembut dan cara pria itu memperlakukannya memang bukan hanya sekedar perlakuan terhadap mantan murid atau teman.
Ran merasa bingung sebenarnya. Apa yang harus ia katakan kepada Raga mengenai pernyataan cintanya tadi. Saat ini dia tidak merasakan cinta terhadap pria itu. Simpati dan suka mungkin iya, tapi untuk cinta, Ran belum bisa mengerti dirinya sendiri.
" Yok jalan."
" Ah ya, ayok."
Raga tersenyum lebar ke arah Ran, dan mengajak Ran untuk segera pergi ke tempat yang sudah ia rencanakan. Di dalam mobil Ran sedikit merasa canggung. Dan pada akhirnya ia memilih diam.
Berbeda dengan Raga yang sedari tadi tersenyum. Nampaknya suasana hati pria itu sungguh baik. " Oh iya, kok kamu malah ke sini, aku akan bilang mau jemput aja ke rumah." Raga membuka pembicaraan, agar suasana di dalam mobil jadi mencair.
" Aah itu, nggak tahu. Pengen aja ke sini tadi, dan ternyata momennya pas. Ah iya, gimana rasanya dipeluk mantan Mas heheheh."
" Kenapa, apa kamu cemburu."
Mata Ran langsung membulat mendengar jawaban Raga. Niat hati ingin meledek pria itu, tapi sepertinya malah jadi bumerang buat dirinya. Karena pada akhirnya Ran terdiam tidak bisa kembali menjawab ucapan Raga.
Shaah
Raga kembali mengusap lembut kepala Ran membuat dada Ran kembali bergemuruh. Entahlah, setiap tangan pria itu bersentuhan dengan tubuhnya rasanya menjadi tidak karuan.
" Aku nggak akan buru-buru meminta jawaban darimu. Cukup lihat dan rasakan bahwa aku tulis padamu. Setelah itu kamu boleh putuskan apa yang akan menjadi jawabanmu."
Tanpa sadar Ran menganggukkan kepalanya. Ia seakan terhipnotis dengan kata-kata Raga yang menurutnya begitu lembut. Ya, tidak ada paksaan sama sekali terhadap setiap apa yang Raga sampaikan. Mungkin ini lah namanya cinta yang dewasa. Tidak menggebu-nggebu, namun tetap terasa.
***
Hari itu mereka habiskan dengan bermain di pusat perbelanjaan. Awalnya Raga ingin membawa Ran ke tempat yang lebih jauh seperti ke puncak Bogor kemarin. Namun kedatangan Rena membuat rencananya harus berubah
Kini mereka sedang berada di sebuah tempat makan. Ternyata bermain sedari tadi membuat perut terasa kosong. Mulai dari menonton bioskop, memainkan permainan di PlayStation hingga berkeliling pusat perbelanjaan, membuat tubuh lelah juga.
" Jadi Mas, apakah Rena sering datang ke rumah setelah kalian bercerai?"
" Nggak, hanya dua kali kalau nggak salah. Entah, kenapa dia menjadi seperti itu. Padahal dia kan yang kukuh minta pisah. Sudah nggak usah dibahas. Oh iya, lalu bagaimana tentang orang yang melukaimu itu."
Raga mengalihkan pembicaraan, dia sungguh enggan untuk membahas perihal mantan istrinya tersebut. Dan ia juga penasaran soal orang yang melukai Ran waktu itu.
" Iy sudah ketemu, ternyata orang itu adalah lawan dari klien kita. Singkat cerita dia nggak terima kayaknya kalau dia kalah dalam persidangan. Ah iya klien ku ini adalah teman lama keluargaku. Sebenernya kasus yang ditangani sudah terjadi lama, tapi agaknya orang itu baru bergerak sekarang."
Raga hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Meskipun dia tidak sepenuhnya mengerti namun dia paham inti dari cerita Ran. Yakni orang yang melukai Ran adalah orang yang menaruh dendam karena Ran berhasil mengalahkannya dalam sebuah kasus.
" Lalu, apa rencanamu untuk orang itu. Apakah akan langsung melaporkan ke pihak berwajib?"
Ran menggeleng cepat, ia jelas tidak bisa melakukan itu karena tidak ada bukti penyerangan. " Belum untuk saat ini Mas, aku akan menjeratnya dengan kasus lain, dia memiliki banyak hal yang melanggar hukum dan aku sedang mengumpulkan buktinya itu sekarang."
Raga tidak menyangka bahwa menjadi seorang pengacara memiliki resiko yang besar seperti itu. Secara tidak langsung itu merupakan ancaman untuk keselamatan diri. Ia pikir hal tersebut hanya terjadi di film atau kisah fiktif lainnya. Tapi melihat Ran yang terluka membuat punya sadar bahwa dunia ini masih lah kejam, tentu saja itu karena perilaku manusianya.
" Baiklah, aku nggak bisa bantu apapun karena benar-benar diluar kendaliku. Tapi aku harap kamu akan selalu baik-baik saja. Oke, waktunya pulang. Nanti aku dicariin Abi dan Ummi kamu kalau telat bawa anak gadisnya pulang."
Keduanya tergelak, Ran tahu kedua orang tuanya begitu protektif terhadap dirinya, terlebih setelah kejadian tempo hari. Namun sebenarnya mereka juga bukannya mengekang Ran untuk berpergian karena mereka yakin bahwa Ran bukanlah gadis yang lemah.
Keluar dari pusat perbelanjaan, Raga masuk ke jalan raya. Mobilnya membelah jalanan ibu kota dengan begitu mulus. Petang itu jalanan yang mereka lalui lumayan lenggang. Namun Raga merasa sedikit aneh, pasalnya ada sebuah mobil yang ia rasa seperti sedang mengikutinya.
" Ran, apa kamu merasa apa yang ku rasakan sekarang?" ucap Raga sambil melihat ke arah kaca spion.
" Ya, kita diikuti mas. Tetap tenang, dan cari jalan lebih lenggang. Coba kita lihat apa yang mereka mau. Jika tidak salah, mereka pasti orang yang sama dengan orang yang waktu itu."
TBC