Nasib memang tidak bisa di tebak. ayah pergi di saat kami masih butuh perlindungannya. Di tengah badai ekonomi yang melanda, Datang Sigit menawarkan pertolongan nya. hingga saat dia mengajakku menikah tidak ada alasan untuk menolaknya.
. pada awalnya aku pikir aku sangat beruntung bersuamikan pria itu.. dia baik, penyayang dan idak pelit.
Tapi satu yang tidak bisa aku mengerti, bayang-bayang keluarganya tidak bisa lepas dari kehidupannya walaupun dia sudah membina keluarga baru dengan ku.
Semua yang menyangkut keluarga harus di diskusikan dengan orang tuanya.
janji untuk membiayai adik-adik ku hanya omong kosong belaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon balqis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Kesalahannya pahaman terus berlanjut.
Hanna, wanita yang memaksakan diri menjadi tunangannya itu merasa curiga.
"Siapa mereka?"
Agam hanya termenung. Dia masih berpikir kenapa May bisa dekat lagi dengan Sigit, sedangkan terhadap dirinya sikapnya berubah. May seolah menjaga jarak. ada apa sebenarnya.
Hanna menyentuh lengannya.
Agam menoleh malas.
"Siapa mereka tadi itu?"
"Kau sudah dengar, kan mereka memperkenalkan diri?" jawab Agam acuh.
"Iya, tapi maksud ku, siapa mereka bagi mu? kelihatannya ada sesuatu yang lain.."
"Itu hanya perasaan mu saja."
Agam melakukan mobilnya kerumah kepala desa.
"Kita mau kemana ini?"
"Rumah kepala desa. Kau harus lapor berapa hari mau disini, akan tinggal dimana dan dengan siapa?" jawab Agam.
"Lho, kok seribet itu? Aku datang kesini untuk tunangan ku. Ayolah Gam, jangan perlakukan aku seperti orang asing." ia protes.
"Tapi ini prosedur, Hanna. mau tidak mau kita harus mematuhinya. Kita pendatang." ketus Agam lagi.
Hanna menyandarkan kepalanya dengan putus asa.
Setelah sekian waktu belum juga mampu meruntuhkan karang di hati Agam.
"Aku tau, pasti mba Tirta yang mengirim mu kesini." ucapnya sambil terus menyetir.
"Aku hanya ingin menyelamatkan hubungan kita, apa salahnya?" jawab Hanna dengan kening berkerut.
"Apa yang musti di perbaiki. Aku sudah bilang. lupakan semua yang sudah terjadi. Carilah orang lain yang sesuai dengan mu. Kau lihat sendiri keadaan ku. Aku bukan dokter Agam yang dulu kau kenal.
Aku hanyalah seorang pengabdi masyarakat. aku kotor dan dekil.. Apa kau tidak jijik melihatnya?" ujar Agam berharap Hanna ilfeel melihatnya dan segera pergi.
"Aku akui, pertunangan kita atas kehendak keluarga. Tapi aku sangat mencintai mu jauh sebelum pertunangan itu. Kau saja yang tidak pernah menghargai perasaan ku." ucap Hanna sambil berlinang air mata. Dia sangat mencintai Agam, tapi Agam selalu menganggap nya mau menerima pertunangan itu hanya karena uang saja.
Hatinya lelah membujuk Agam agar mau mengerti.
"Sudahlah. Lebih baik kau diam. jangan berulah disini. Ikuti semua peraturan dan jangan sekali-kali menceritakan tentang hubungan palsu kita kepada siapa pun." ucapnya tegas.
"Tapi...?" Hanna belum menyelesaikan kalimatnya, Agam sudah keluar dari mobil dengan tergesa.
"Sial..!" Hanna meremas jemarinya tanda kesal.
Agam membawa Hanna kepada aparat desa.
Semua mata menatapnya takjub. Untuk ukuran orang kampung. Hanna memang menawan dan modern. Tubuhnya sintal dan menggoda. Wajahnya halus terurus.
"Kau ikuti semua instruksi mereka, aku ada pekerjaan." Agam langsung meninggalkannya.
Beberapa orang staf desa yang kebetulan kenal baik denganya sempat menggodanya.
"Istrinya ya, dok? Kenapa baru di ajak kesini?" Agam hanya tersenyum menanggapi mereka.
"Gak nyangka Dokter Agam yang pendiam ternyata punya bini sebening itu..." kelakar mereka saat Agam sudah berlalu.
"Iya, tapi kau menyadari tidak? Kayaknya dokter Agam kurang senang, Kau lihat saja sikapnya, tidak ada romantis-romantisnya seperti pasangan yang baru bertemu." jawab yang lain.
Hanna yang kebetulan selesai menjawab pertanyaan petugas bisa mendengar gurauan mereka.
Ia merasa kesal sendiri.
Dengan bersungut-sungut dia menarik kopernya kesebuah pondok. Di antar oleh seorang wanita.
"Ini tempatnya Non...!"
Hanna melebarkan pandangannya. walaupun tidak sebagus bayangannya. Tapi pondok itu cukup bersih.
"Semoga betah ya, Neng.." ucap wanita itu lagi dan minta ijin pergi.
"Eeeh, tunggu sebentar." Hanna memanggil wanita itu kembali.
"Kau asli penduduk sini? Tau kan dokter Agam?" Wanita itu seperti berpikir.
"Itu lho, dokter yang tinggi tampan dan suka tersenyum." ujar Hanna cepat.
"Iya, siapapun kenal dengannya. Dia dokter yang ramah dan baik hati." jawabnya.
"Kau tau tidak rumahnya di mana? Maksudku, tempat tinggalnya."
"Ya tau lah, Neng. Mau kesana?"
Hanna mengangguk cepat.
Tanpa menunggu lagi di mengikuti langkah wanita itu.
"Disini tempatnya. Saya hanya bisa mengantar sampai sini saja. Neng masuk saja sendiri." Setelah wanita itu pergi. Hanna berjalan pelan.
"Rumahnya sederhana sekali.. Kok Agam betah sih tinggal disini? Padahal dia seorang pewaris tunggal kekayaan keluarganya. Agam Agam..." ucapnya tak habis pikir.
Hanna membuka pintu perlahan. Karena tidak terkunci, dia bisa leluasa masuk.
"Hmmm... Walaupun berantakan, tapi disini cukup nyaman juga."
Karena kecapean , dia tertidur di kamar Agam.
***
Aku gelisah dalam perjalanan menuju wahana permainan yang di tuju mas Sigit.
Kejadian barusan menyita pikiranku. Mas Agam, wanita cantik itu...? Cemburu kah aku, jelas aku sangat cemburu dengan wanita itu.
Tapi kembali lagi aku sadar siapa diriku, wanita itu sangat cantik dan seksi. Bagaimana mungkin mas Agam memilihku.
"Istrinya dokter Agam cantik, ya?" celetuk mas Sigit sambil menatapku dari kaca spion.
Aku hanya mengangguk samar.
"Mereka pasangan yang cocok." ucapnya lagi seolah sengaja membuat hati ku panas.
"Ya, cocok. Sama seperti kita. Walaupun kita sudah mendaftarkan perceraian, tapi yang namanya hati tidak bisa di bohongi." ia membual kembali. Aku memalingkan wajahku.
"Lihat, Bulan sangat menikmati kebersamaan kita." aku hanya melirik Bulan sekilas. Aku tidak bisa fokus dengan apapun. pikiran ku terus tertuju pada mas Agam. ingin rasanya mengunci diri dalam kamar dan menumpahkan semuanya.
Kami sampai di tempat tujuan.
Mas Sigit membawa Bulan dan Tara bermain. Sedang aku lebih memilih diam di dalam mobil.
"Ayolah percuma sudah datang kesini kau hanya menonton saja."
"Aku tidak enak badan.." jawabku beralasan.
Dia tidak puas.
"Kau bukannya tidak enak badan. Tapi masih mengingat dokter Agam. iya, kan?" tanyanya kesal.
"Aku tidak mengingatnya."
"Kalau begitu ayo keluar. aku baru percaya kau tidak mengingatnya kalau mau bergabung bersama kita."
Karena dia terus memojokkan ku. Akhirnya aku keluar juga.
Dengan setengah hati aku mengikuti setiap permainan mereka.
Di tengah permainan. Tara minta berhenti untuk beli es krim. Mas Sigit menyanggupinya.
"Tara mau yang rasa coklat..." teriak Tara.
"Bulan mau Strawberry."
Dengan cekatan si penjual menyajikannya.
Dengan ceria putriku menjilati es krimnya di mobil. Begitupun dengan Tara. mereka tampak akur.
Tapi di tengah perjalanan. Tara mau yang rasa strawberry seperti Bulan.
"Pak de, Tara mau es krimnya Bulan."
Mas Sigit berpikir sejenak.
"Kita berhenti nyari tempat es krimnya ya.."
Tara menggeleng keras.
"Ga mau..! Tara maunya yang itu." dia menunjuk Bulan yang sedang menjilati es krimnya.
"Bulan, sayang. Ayo tukar es krimnya sama Tara." aku ikut membujuk anak ku.
"Bulan gak suka yang rasa coklat." jawab Bulan tanpa perduli pada Tara yang mulai kesal.
"Tara, habiskan dulu punyamu. Nanti kita beli yang sama kayak punya Bulan." aku turun tangan membujuknya.
Dia menggeleng sambil mencakar wajahnya sendiri.
Aku kaget dan menjauhkan Bulan. Mas Sigit terpaksa menghentikan mobil.
"Sejak kecelakaan itu. Perangai Tara memang berubah seperti ini." ucapnya sedih.
"Bahaya kalau Bulan dekat-dekat sama dia." ucapku menarik Bulan. tapi terlambat. Tangan Tara sudah menjambak rambut Bulan dengan keras. Putriku menjerit. Kami berusaha menghentikan Tara tapi tenaganya sangat keras. Sampai dia berhasil mencakar wajah anak ku.
"Mas, kau bawa Tara pulang. Aku akan bawa Bulan." ujar ku di tengah suara tangis kedua anak itu.
Aku sangat kesal melihat anak itu.
Bulan terus menangis merasa perih
Mas Sigit menolak tapi aku tidak perduli. Dengan ojek aku bawa Bulan pulang.
Di perjalanan aku kepikiran membawa Bulan ke dokter Agam.
Ini darurat. Aku harus mengesampingkan perasaan ketimbang kondisi Bulan.
A ku minta tukang ojek ketempat biasa mas Agam bertugas. Tapi tempat itu sepi.
Kemana Mas Agam dan Mala? Atau mungkin mereka sedang ada kunjungan ke pasien.
Tapi Bulan butuh penanganan segera.
Tanpa berpikir panjang, aku membawanya kerumahnya. Cukup lama aku mengetuk pintu.
Karena tidak ada jawaban dan kondisi Bulan yang menangis terus. membuatku berani membuka pintu.
Aku berdiri kaku di tempat saat melihat Hanna datang dari arah dapur.
wanita itu tersenyum ramah.
"Kau? ada perlu dengan dokter Agam?" tanyanya masih tersenyum.
Di saat yang sama mas Agam keluar dari kamar mandi dan hanya mengenakan sehelai handuk melilit pinggangnya.
Dia tampak kaget mendapati aku dan Hanna disana.
"Kalian ada disini?"
Aku menutup wajahku seketika.
"Ooh, maaf.." ujarnya seraya berlari masuk kamar.
"Maaf, rupanya saya datang di saat yang tidak tepat." ucapku sambil berbalik keluar. Aku tidak perduli dengan pandangan aneh Hanna ke arahku.
Walau masih menangis. Aku membawa Bulan pulang.
Ibu dan Hafsah menyambut kami. Mereka heran melihat Bulan menangis begitu juga diriku. Bulan menangis karena kesakitan. Aku menangis karena kesal dan cemburu.
💞Mohon maaf ya men temen🙏🙏. Dua hari ini aku ada musibah. Jadi tidak bisa nulis