Pada mulanya, sebuah payung kecil yang melindunginya dari tetesan hujan, kini berubah menjadi sebuah sangkar. Kapankah ia akan terlepas dari itu semua?
Credits:
Cover from Naver
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AYZY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Last Question
Sore hari ini begitu indah. Dengan hujan yang menemani indahnya taman bunga yang rindang. Kesunyian ini membuatku tenang. Udara segar yang ku hirup sembari menikmati secangkir teh, melihat panorama indah cahaya mentari yang bersinar di balik gumpalan awan kelabu—menumpahkan ribuan tetesan air hujan yang ringan.
Inikah yang disebut kehidupan? Sudah lama aku tidak merasa seperti ini. Hujan yang turun pada waktu senja memang tidak terkalahkan. Membawaku berkelana pada kenangan indah masa lalu. Saat aku masih kecil—tinggal di sebuah rumah yang jauh dari perkotaan bersama ayah dan ibu, bermain setiap hari di lapangan penuh rumput bersama teman-teman tanpa kenal lelah.
Sementara itu, tinggal di tempat seperti ini justru membuatku tidak begitu nyaman. Aku merasa asing pada tempat yang begitu indah ini. Rumah bercat putih yang besar dan indah, dipenuhi oleh taman bunga. Jelas bukan milikku, sama halnya dengan pria itu. Yang sewaktu-waktu bisa menghilang begitu saja.
Meskipun kini aku berada di sisinya, aku tidak pernah merasa bahwa dirinya dapat aku miliki sepenuhnya.
Bahkan sedikit pun aku tidak pernah berpikir bahwa pria itu adalah milikku.
Meskipun status kami berdua sudah jelas seperti apa, namun tetap saja aku merasa begitu jauh darinya.
Kenapa ya?
Apakah karena perbedaan status kami berdua? Apakah aku masih saja merasa tidak sepadan dengannya? Itukah yang membuatku selama ini begitu tidak percaya diri?
Tapi seandainya aku memiliki itu semua sekarang, apakah aku akan bahagia?
Aku meletakkan cangkir teh itu di atas meja berbentuk lingkaran. Memegang kepalaku dengan kedua telapak tangan sembari menundukkan kepala. Ini sungguh memuakkan.
Mengapa Andrew menerimaku? Mengapa dia membuatku hidup dalam kepalsuan ini? Mengapa?
Ingin rasanya aku berkata padanya, "Tolong cepat tinggalkan saja aku, aku tidak bisa bernapas."
Aku ingin pergi, Andrew ....
Setidaknya dengan begitu aku bisa berdamai dengan diriku sendiri.
Karena setiap saat aku melihat sosoknya yang begitu sempurna, nafasku tercekat—seolah-olah ada sesuatu yang memaksaku untuk menjauhinya. Ia adalah seseorang yang seharusnya tidak pernah bisa aku gapai, dan hanya bisa aku lihat dari kejauhan.
Pada mulanya memang seperti itu, tapi entah sejak kapan itu berubah. Kenapa dia berada terlalu dekat denganku seperti ini?
Aku begitu terkejut saat mendengar suara seseorang membuka pintu yang menghubungkan rumah dengan teras ini. Untuk sesaat, kami saling bertatapan tanpa berbicara sepatah kata. Sepertinya ia juga sama terkejutnya denganku.
"Ternyata kau di sini juga?"
"Seperti yang kau lihat."
Setelah itu tidak ada lagi topik yang berarti. Karena Andrew mengurungkan niatnya untuk merokok, suasananya menjadi cukup canggung.
"Andrew, lihatlah hujan itu ...."
Andrew mengikuti ke arah mana yang ku maksud, ia tidak berjalan mendekatiku, ia hanya berdiri di sana sembari menyenderkan tubuhnya di sebelah pintu. Namun ia juga tidak kunjung mengatakan apapun.
"Setiap kali turun hujan, aku selalu teringat akan dirimu. Apakah kau juga merasakan hal yang sama denganku?" lanjut ku.
Andrew jelas tidak bisa menjawabnya. Pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti itu, ia tidak mampu untuk menjawabnya. Karena dia memang tidak memiliki rasa apapun padaku. Aku yakin sekali ada alasan yang ia sembunyikan dibalik hubungan kami.
Aku berusaha mati-matian untuk tidak menumpahkan seluruh perasaanku saat ini, aku meremas ujung rok selutut yang aku kenakan sebelum beranjak untuk berjalan ke arahnya.
Saat aku sudah sampai di depannya, ia bergeming. Lihatlah pria itu, aku bersumpah demi Tuhan bahwa dia sangat tampan. Selain wajah, ia juga diberkati oleh kehidupan yang begitu sempurna. Oleh karena itu, bagaimana mungkin aku bisa mendapatkan hatinya?
"Apa yang kau pikirkan tentangku?"
Aku tidak ingin terus larut dalam pikiranku. Sehingga aku ingin memastikannya sendiri.
"Tentangmu?" Ia menjawab tanpa sedikit pun rasa antusias.
Aku menganggukkan kepala, "Iya, tentangku ... adakah hal yang kau sukai dariku?"
Aku begitu nekat. Namun aku menyadari bahwa suaraku sedikit bergetar, ada sedikit air yang menggenang di dalam sudut mataku. Itu karena aku tidak yakin ia memiliki jawabannya. Entah sampai kapan aku bisa menahannya lagi kali ini.
"Stella, tolong jangan mulai—"
"Andrew, sebenarnya ada apa? Mengapa kau enggan menjawab pertanyaan ku?!"
"Stella, jangan berlebihan."
"Memangnya kenapa kalau aku bertanya seperti itu? Bukankah itu merupakan sebuah pertanyaan yang mudah? Kau tinggal menjawabnya 'kan?"
Seketika itu teh bunga Kamomil yang aku minum untuk menenangkan diriku beberapa saat yang lalu itu terasa tidak ada gunanya.
"Lihatlah, kau terlalu emosional sekarang. Biasanya kau tidak pernah seperti ini."
"Apa kau tidak suka melihatku seperti ini?"
"Kalau begitu jawaban seperti apa yang kau inginkan?"
Cara berbicaranya yang dingin dan tidak berperasaan itu mulai membuat dadaku sesak. Aku tidak peduli apakah air mataku itu jatuh atau tidak, tapi aku merasa sangat sulit untuk menahannya. Bagaimana ini? Aku sudah terlanjur memulainya.
"Kau tidak pernah bisa berubah, Andrew."
Andrew menatapku begitu lama, sepertinya ia juga sudah mulai tersulut emosi.
"Kau memang benar."
Akhirnya, jawaban itulah yang kudengar. Entah apa yang salah pada diriku. Padahal tak lama ini sepertinya hubungan kami baik-baik saja. Tapi itu juga berakhir dalam sekejap. Karena memang sedari awal hubungan ini sama sekali tidak ada artinya sama sekali bagi pria itu.
"Aku tahu kau tidak memiliki perasaan apapun padaku, tapi aku hanya ingin memastikannya sekali lagi," Aku berjalan satu langkah ke depan, mempersempit jarak di antara kami berdua.
"Aku hanya ingin kau menjawab pertanyaan ku yang satu ini, setelah itu aku berjanji untuk tidak akan memberikanmu pertanyaan lain."
Tampaknya hujan turun semakin deras, suhu yang diciptakan oleh turunnya hujan itu membuatku menggigil. Aku hanya memakai pakaian tipis, namun itu tidak jauh lebih penting dari percakapan kami.
Setelah beberapa saat, Andrew berbicara, "Apa yang ingin kau tanyakan?"
Aku merasa begitu gugup. Kali ini aku sudah membulatkan tekat ku, dan sudah lama juga aku ingin mengatakannya.
"A-apakah kau mencintaiku?"
tapi sukaaa.. gimana dong..
boleh banyak2 dong up nya..
/Kiss//Kiss/
saran aja nih.. kalau buat cerita misteri, updatenya sehari 3 x.. supaya pembacanya ga kentang.. /Chuckle//Kiss/