Ryu dan Ringa pernah berjanji untuk menikah di masa depan. Namun, hubungan mereka terhalang karena dianggap tabu oleh orangtua Ringa?
Ryu yang selalu mencintai apel dan Ringa yang selalu mencintai apa yang dicintai Ryu.
Perjalanan kisah cinta mereka menembus ruang dan waktu, untuk menggapai keinginan mereka berdua demi mewujudkan mimpi yang pernah mereka bangun bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AppleRyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 : Ancaman
Setelah pertunangan yang mengesankan dan wisuda yang mengharukan, hidupku dan Inggit terasa lebih tenang dan bahagia. Kami menikmati setiap momen bersama, baik dalam pekerjaan maupun kehidupan sehari-hari. Aku diterima bekerja di sebuah perusahaan perkebunan ternama, dan Inggit memulai karirnya sebagai perias di sebuah salon kecantikan yang populer. Kami merasa hidup kami mulai menemukan ritmenya, dengan masa depan yang cerah di depan mata.
Namun, kehidupan jarang berjalan mulus seperti yang diharapkan. Satu sore, saat aku sedang menyiapkan makan malam di rumah kami, Inggit pulang dengan wajah yang kusut dan mata yang tampak terguncang. Aku menghampirinya dan langsung merasakan ada sesuatu yang salah.
"Inggit, ada apa?" tanyaku dengan penuh kekhawatiran.
Dia tampak bingung sejenak, lalu menggelengkan kepala. "Tidak apa-apa, Ryu. Aku hanya lelah."
Namun, firasatku mengatakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar kelelahan. Keesokan harinya, saat aku pulang lebih awal dari kantor, aku menemukan Inggit sedang menangis di ruang tamu. Di hadapannya, berdiri seorang pria yang tampak asing bagiku.
"Inggit, apa yang terjadi?" tanyaku, berusaha menahan rasa marah yang mulai membara di dadaku.
Pria itu berbalik dan menatapku dengan senyum sinis. "Kamu pasti Ryu, tunangan baru Inggit. Aku adalah Arman, mantan pacarnya."
Aku merasa darahku mendidih. "Apa yang kamu lakukan di sini?"
Aku menatap Inggit, mencari penjelasan. "Inggit, apa maksudnya?"
Inggit menangis semakin keras dan tak mampu berkata-kata. Arman melanjutkan dengan nada manipulatifnya. "Ryu, kamu tahu tidak, Inggit ini punya masa lalu yang kelam. Aku selalu bermalam dengannya dan dia sangat menikmati malam-malam yang kami lalui."
Kata-kata Arman bagaikan racun yang menetes ke dalam hati. Aku merasa darahku mendidih mendengar ucapannya. Namun, aku tahu bahwa membalas dengan kemarahan hanya akan memperburuk keadaan. Aku menatap Arman dengan tegas.
"Arman, aku tidak peduli dengan masa lalumu bersama Inggit. Yang aku pedulikan adalah masa depan kami bersama. Jadi, aku minta kau tinggalkan kami dan jangan pernah kembali," kataku, mencoba menahan amarahku.
Arman tertawa sinis. "Oh, kau sangat naif, Ryu. Kau tidak tahu apa yang kau hadapi."
Dia berbalik dan meninggalkan kami dengan tawa yang menakutkan. Aku berlutut di samping Inggit, memeluknya erat. "Inggit, jangan dengarkan dia. Dia hanya ingin menghancurkan kita."
Inggit menggenggam bajuku erat-erat, air matanya mengalir deras. "Ryu, aku takut. Dia akan terus mengganggu kita. Aku tidak ingin kau terluka karena aku."
Aku mengusap rambutnya dengan lembut. "Inggit, kita akan menghadapi ini bersama. Kita tidak akan membiarkan dia menang."
Hari-hari berikutnya, Arman terus meneror kami dengan pesan-pesan mengancam. Aku tahu bahwa kami harus bertindak cepat sebelum situasi semakin memburuk. Aku menghubungi polisi dan melaporkan semua yang terjadi. Mereka mendengarkan dengan serius dan memberikan kami perlindungan sementara.
Namun, ancaman Arman terus menghantui pikiran kami. Setiap kali kami keluar rumah, aku merasa was-was, takut jika dia akan melakukan sesuatu yang buruk. Aku tahu bahwa untuk melindungi Inggit, aku harus lebih kuat dan lebih berani.
Pada suatu malam, saat kami sedang menikmati makan malam di rumah, teleponku berdering. Nomor tak dikenal muncul di layar. Aku menjawabnya dengan hati-hati. "Halo?"
Suara Arman terdengar di ujung sana. "Ryu, kau pikir polisi bisa melindungi kalian? Kau salah besar. Aku akan terus menghantui hidup kalian sampai Inggit kembali padaku."
Aku menutup telepon dengan tangan gemetar. Inggit menatapku dengan cemas. "Siapa itu?"
Aku menggelengkan kepala. "Tidak ada apa-apa, Inggit. Hanya orang iseng."
Namun, Inggit tahu ada yang tidak beres. "Ryu, jangan sembunyikan apa pun dariku. Aku berhak tahu."
Aku menghela napas dan menceritakan telepon dari Arman. Inggit menangis lagi, merasa putus asa. "Ryu, aku tidak tahu harus bagaimana. Aku merasa sangat lemah."
Aku menggenggam tangannya erat-erat. "Inggit, kita harus tetap kuat. Kita tidak bisa membiarkan dia menang. Aku akan melakukan apa pun untuk melindungimu."
Dengan dukungan dari polisi, kami memasang kamera keamanan di sekitar rumah dan mengunci semua pintu dan jendela dengan lebih ketat. Aku juga mulai membawa alat pertahanan diri setiap kali keluar rumah. Meskipun begitu, rasa takut dan cemas tetap menghantui kami.
Suatu hari, saat aku sedang di kantor, Inggit meneleponku dengan suara gemetar. "Ryu, dia ada di sini. Arman ada di luar rumah."
Aku segera bergegas pulang dan menemukan Arman berdiri di depan rumah kami, menatap dengan senyum menyeramkan. Aku mendekatinya dengan hati-hati. "Arman, apa yang kau inginkan?"
Arman melangkah maju, menatapku dengan mata penuh kebencian. "Aku ingin Inggit kembali padaku. Jika tidak, kau akan menyesal."
Aku berdiri tegak, berusaha menunjukkan keteguhan hati. "Arman, kau tidak punya hak untuk mengancam kami. Inggit telah memilih untuk bersama denganku, dan aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan hidup kami."
Arman tertawa sinis. "Kita lihat saja nanti, Ryu."
Dia berbalik dan pergi, meninggalkan ancaman yang menggantung di udara. Aku memeluk Inggit erat-erat, mencoba memberikan ketenangan. "Inggit, kita harus tetap kuat. Kita tidak bisa membiarkan dia menang."
Inggit menggenggam tanganku dengan erat. "Ryu, aku tidak tahu harus bagaimana. Aku merasa sangat lelah."
Aku menatapnya dengan penuh kasih. "Inggit, kau tidak sendirian. Aku di sini untukmu. Kita akan menghadapi ini bersama-sama."
Inggit mengangguk pelan, tetapi aku bisa melihat ketakutan masih jelas terpancar di matanya. Hari-hari berikutnya terasa seperti berjalan di atas pisau, dengan ancaman Arman yang semakin mengerikan. Panggilan telepon tanpa suara, pesan teks yang menakutkan, dan kehadirannya di tempat-tempat yang tidak terduga semakin mengganggu ketenangan kami.
Suatu malam, saat kami sedang duduk di ruang tamu, menikmati secangkir teh hangat, telepon rumah berdering. Aku mengangkatnya, dan suara Arman terdengar di ujung sana.
"Ryu, kau pikir menangkapku bisa menghentikan segalanya? Kau salah besar," suaranya penuh kebencian dan dendam. "Aku akan menghancurkan hidupmu dan Inggit. Aku tahu di mana kalian tinggal, di mana kalian bekerja. Tidak ada tempat yang aman bagi kalian."
Aku menutup telepon dengan tangan gemetar. Inggit menatapku dengan cemas. "Siapa itu, Ryu?"
Aku menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Itu Arman lagi. Dia masih mengancam kita."
Inggit menundukkan kepala, air mata mengalir di pipinya. "Aku tidak bisa hidup seperti ini, Ryu. Aku merasa seperti tahanan di rumah sendiri."
Aku meraih tangannya, menggenggamnya erat-erat. "Inggit, kita akan melewati ini. Kita akan mencari cara untuk melindungi diri kita. Aku tidak akan membiarkan dia menyakiti kita lagi."
Kami memutuskan untuk memasang lebih banyak kamera keamanan di sekitar rumah dan melibatkan polisi dalam setiap ancaman yang datang. Namun, ancaman Arman tidak hanya berhenti di situ. Dia mulai mengganggu kami di tempat kerja.
Suatu hari, saat aku sedang bekerja di perusahaan perkebunan, aku menerima paket misterius. Di dalamnya terdapat foto-foto Inggit yang diambil secara diam-diam, disertai dengan catatan mengerikan. "Aku bisa melihat kalian setiap saat. Tidak ada tempat yang aman."
Aku meremas catatan itu dengan amarah, merasakan dadaku berdenyut dengan rasa cemas. Aku segera melaporkan kejadian itu kepada atasan dan pihak keamanan perusahaan. Mereka berjanji akan meningkatkan pengawasan, tetapi aku tahu bahwa ancaman Arman tidak akan mudah diatasi.
Inggit juga mengalami teror yang serupa di tempat kerjanya. Suatu hari, dia pulang dengan wajah pucat dan mata yang penuh ketakutan. "Ryu, dia datang ke salon hari ini. Dia duduk di sana, menatapku dengan senyum menyeramkan sepanjang waktu."
Aku meraih bahunya, mencoba memberikan ketenangan. "Kita harus tetap kuat, Inggit. Kita tidak bisa membiarkan dia menang. Aku akan mencari cara untuk melindungi kita."
Kami menghubungi seorang pengacara untuk mendapatkan perintah penahanan terhadap Arman, tetapi prosesnya memakan waktu. Setiap hari terasa seperti perjuangan baru, dengan ketakutan yang terus menghantui kami. Namun, di tengah semua ancaman itu, cinta kami semakin kuat.
Suatu malam, saat kami sedang duduk di balkon, menatap bintang-bintang yang bersinar di langit, aku meraih tangan Inggit dan berkata, "Inggit, tidak peduli seberapa besar ancaman yang kita hadapi, aku akan selalu bersamamu. Cinta kita lebih kuat dari apa pun yang bisa Arman lakukan."
Inggit menatapku dengan mata penuh haru. "Ryu, aku tidak tahu bagaimana bisa melewati semua ini tanpa dirimu. Terima kasih telah selalu ada untukku."
Kami berpelukan erat, merasakan kekuatan dan cinta yang mengalir di antara kami. Di tengah semua ancaman dan ketakutan, kami menemukan ketenangan dalam kebersamaan kami. Meskipun ancaman Arman terus menghantui, kami tahu bahwa bersama-sama, kami bisa melewati semua rintangan. Kami bertekad untuk tidak membiarkan siapa pun menghancurkan kebahagiaan kami.