NovelToon NovelToon
JAEWOO WITH LOVE FANFICTION

JAEWOO WITH LOVE FANFICTION

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Ketos / Dosen / Poligami / Mafia
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Withlove9897_1

kumpulan fic Jaewoo

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Withlove9897_1, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

NERD PART 002

...-NERD-...

Hari ini Jungwoo mengirimkan pesan yang tidak terduga

"Boleh sesekali aku mampir kerumahmu? Orang tuaku lembur, aku bebas, mungkin. Lol."

Jaehyun saat itu sedang mengikuti pelajaran Matematika. Berusaha setengah mati menegakkan kepalanya saja sudah sangat luarbiasa.

Benar juga kata orang-orang tentang Rumus Matematika Mirip Seperti Sihir Lullaby Yang Mampu Membuat Rasa Kantukmu Mendadak Datang, dan itu selalu terjadi pada seluruh siswa dan siswi di kelas, kecuali tiga baris terdepan yang sepertinya tidak mempan dengan sihir guru Matematika.

Jaehyun membalas, bahkan tanpa melihat screennya.

'Oke. Bukan masalah. Kita bisa beli makan malam di pinggir jalan.'

Dan saat Jaehyun memikirkan akan membeli makan malam bersama Jungwoo dia tersenyum diam-diam, tapi nampaknya ketahuan dengan mudah oleh Jihyo yang duduk tepat di sampingnya.

Balasan datang begitu cepat

'Bahan mentah saja bagaimana? Lebih murah, bukan? Tapi apa aku bisa memasak dirumahmu?'

Makan masakan Kim Jungwoo? Jaehyun tersenyum begitu lebar dengan sembunyi-bunyi

lagi-lagi Jihyo menangkap basah senyum langka Jaehyun —lagi— dan sepertinya Jihyo cukup bersemu.

'TENTU! AKU MAU RAMYEON!'

Getaran handphone datang secepat kilat,

'Mudah. Apa kita pulang bersama hari ini? guru untuk mata pelajaran tambahan kelasku tidak datang, aku akan pulang cepat. Kau bisa? Aku akan menunggumu.'

Aku akan menunggumu.

Menunggumu.

Aku menunggumu.

AKU MENUNGGUMU.

"J-Jaehyun apa kau baik-baik saja?"

"Jaehyun kau sa-sakit? Wajahmu memerah. Apa kau demam?"

"Jaehyun.. H-Hidungmu berdarah!"

Setelah berjuang selama empat jam, bel sekolah yang di tunggu-tunggu akhirnya berbunyi. Jaehyun belum pernah sebahagia ini mendengar bel sekolah berbunyi, baginya, dulu, bel sekolah berdentang atau tidak, kapanpun yang dia inginkan, itu adalah waktu baginya untuk pulang.

Tapi sekarang dia sudah berjanji pada Jungwoo. Berjanji untuk tidak membolos. Berjanji untuk tidak melakukan kriminal. Berjanji untuk mencoba belajar. Dan Jaehyun berhasil. Dan dengan ketekunan semacam itu, Jaehyun mendapatkan tiket berharga yang membuatnya menjadi orang pertama yang berhasil mengintip kertas tugas Jungwoo walau bukan secara terang-terangan, tapi pemuda itu betul-betul serius mengajari Jaehyun. Sepertinya ayah Jaehyun harus mengucapkan jutaan terimakasih pada Kim Jungwoo.

Jaehyun berlari seperti kerasukan setan.

"Ada urusan penting!" katanya pada teman-temannya, dan kurasa teman-teman Jaehyun tidak bisa memikirkan urusan penting apa yang terjadi di kehidupan Jaehyun yang payah itu. Jadi mereka mengangguk dan membiarkan Jaehyun berlari lepas seperti anak ayam.

Eunwoo bahkan mengutip buku-buku Jaehyun yang jatuh dan menjaganya di dalam tasnya.

"Maaf karena sudah menunggu." Jaehyun menepuk pundak Jungwoo.

Jungwoo tersentak dan menurunkan headseatnya.

"Aku baru saja sampai."

"Jangan berbohong. Pundakmu dingin. Mulutmu berasap."

"Oke. Aku menunggu agak lama. Tapi tidak apa-apa. Aku punya roti isi kacang merah dan teh kaleng tadi."

"Seharusnya kau pulang saja duluan. Aku kan bisa menjemputmu."

Jungwoo menepuk lengan Jaehyun.

"Aku adalah pria yang menepati janji. Aku bilang kita akan pulang bersama, 'kan? Maka itulah yang aku lakukan. Akh! Itu busnya. Ayo, Jaehyun."

Sebelum pintu bus terbuka, Jaehyun menyampirkan jaket olahraganya yang sebelumnya diikatkan di pinggangnya ke pundak Jungwoo.

"Aku hanya tidak ingin kau sakit karena menungguiku. Itu akan menyakitiku."

Jungwoo tidak berkomentar, tapi dia memeluk rapat jaket Jaehyun di pundaknya.

Dua gadis yang duduk di kursi depan melihat kejadian itu dengan ekspresi yang meriah.

Di dalam bus, keduanya hampir tidak bicara. Tapi Jaehyun yakin degupan jantungnya menjelaskan lebih banyak hal dari apa yang di pikirkan otaknya. Ia yakin cuaca hari ini dingin, cuaca dingin yang lembab benar-benar membuat sekujur kulitmu ngilu.

Tapi ia tidak, ia hangat, setidaknya sekarang, terlebih di bagian ujung lutut serta pundaknya yang bersentuhan dengan Kim Jungwoo. Disitulah titik didih yang tertinggi.

Biarpun murid SMP di depannya menggenakan syal wol rajut yang tebal, Jaehyun sama sekali tidak kelihatan iri. Kehangatan tubuh Jungwoo seperti tungku api raksasa.

Tapi saat di jalan, Jaehyun tidak berhenti mencuri pandang kearah Jungwoo.

Jungwoo melihat kejalanan, tenang, dan tatapan mata itu benar-benar membuat ketakjuban pada Jaehyun, dan Jaehyun berani bersumpah kalau ia cukup merasa iri pada jalan yang di lihat pemuda itu.

Selain buku, Jaehyun belum pernah melihat pemuda itu menatap sesuatu dengan bersungguh-

sungguh. Biasanya dia menghindar dari tatapan orang dengan menggoyangkan kacamatanya.

Awalnya cukup jengkel, tapi Jaehyun tau itu karena Kim Jungwoo terlalu malu untuk bicara dengan orang-orang. Setidaknya itu satu dari sejuta hal manis yang mudah di temui Jaehyun pada pemuda itu.

"Ayahku adalah orang yang parah." Kata Jaehyun. Ternyata duduk diam dan tenang bukanlah opsi yang di sukainya.

"Parah? Parah kenapa?"

"Kau akan tau. Dia lebih parah daripada aku."

"Adalagi manusia yang lebih parah darimu?"

Jaehyun tertawa keras, "Jangan menghina, ya."

"Tidak menghina, kau punya keluarga yang menyenangkan. Aku tidak punya apapun selain orang tua yang diam seperti boneka porselin saat makan malam di meja makan. Yang tidak lebih dari boneka tanpa jiwa saat hadir di saat upacara penerimaan siswa baru, satu-satunya kegiatan sekolahku yang mereka hadiri. Rumahku tidak berbeda dengan sekat dinding dingin, mirip seperti tempat sosial untuk orang kecanduan, hanya saja tempat itu punya kasur yang empuk dan sup yang hangat, dan orang-orang menyebutnya rumah."

Jungwoo tidak menduga reaksi Jaehyun.

Jaehyun menatapnya. Bukan dalam pandangan yang kasihan atau simpatik. Bukan yang seperti itu.

Jungwoo beradu pandang dengan Jaehyun, dan Jaehyun menatapnya lekat-lekat.

Ini kali pertama Jaehyun berhasil menembus kacamata Jungwoo dan melihat iris mata yang mirip seperti berlian The Black Diamond, tatapan itu jatuh lurus di mata Jaehyun. Dan Jungwoo tidak berpaling

"Jangan merasa menyesal dengan apa yang kau miliki."

Jungwoo tersenyum. "Tapi sekarang aku punya kau. Aku tidak apa-apa."

"Aku senang ternyata ada orang yang membutuhkan diriku yang parah ini."

"Kau tidak parah. Tidak ada yang mengataimu parah. Seandainya orang-orang di sekolah tidak mengenalmu, mereka yang kelihatannya parah."

Selama sisa perjalanan, mereka tidak bicara lagi. Tapi waktu itu Jaehyun sempat menggenggam tangan Jungwoo, Jaehyun kelewat nekat tapi itu membuahkan hasil yang manis.

Jungwoo memang tidak balas menggenggam sama erat dengan yang Jaehyun lakukan, tapi ia tidak menolak, ia tetap diam sementara tangannya di genggam Jaehyun.

Beberapa menit sebelum sampai ke stasiun pemberhentian, Jungwoo sempat menjatuhkan kepalanya di pundak Jaehyun dan beralasan,

"Pinjam pundakmu sebentar ya, aku lelah."

Beruntunglah hanya ada lima orang disitu, mereka di kursi paling belakang, cukup tersembunyi. Jaehyun tidak tau harus bereaksi apa kali ini, dia hanya merasa senang bukan kepalang. Ia hanya berharap bus itu akan berjalan dua kilo meter lagi. Ia tidak ingin kejadian ini selesai begitu cepat.

Di luar dugaan, rumah Jaehyun tampak sepi. Memo kecil tulisan tangan adik perempuannya, Jung Krystal

Kami pergi. Mungkin akan pulang larut. Ada makanan di kulkas, cobalah untuk memanaskannya, tapi jangan sampai membakar rumah. Kalau ragu, belilah makanan di toko ada di atas meja makan.

"Membakar rumah? Kau benar-benar tidak bisa memasak?"

Jaehyun memutar pandangannya dan meremat memo kecil itu ke dalam kantung celananya.

"Aku hanya tidak mau mencoba. Aku bisa kalau aku mau. Masalahnya adalah, aku tidak mau."

"Terserahlah. Sekarang dimana pancinya?" Jungwoo menggulung bajunya sebelum mencuci tangan.

"Gantilah dulu bajumu. Aku punya sesuatu yang hangat di kamarku. Naiklah. Di lantai dua pintu ketiga di ujung."

"Ti-tidak apa-apa aku menggeratak kamarmu?"

"Jangan sungkan. Rumahku selalu terbuka untukmu."

"O-oke," Jungwoo mulai menaiki tangga.

"Siapkan pancinya."

Jaehyun sudah berdebar-debar bahkan semenjak di kelas tadi, atau saat di bus dengan kejadian macam itu, mustahil ia tidak jantungan. Tapi sekarang Jaehyun bukan level jantungan lagi.

Jaehyun sekarang seperti seseorang sudah menyusun skrip yang bagus baginya.

Hujan badai di luar, dan Jaehyun harus mengakui kedurhakaannya karena ia mendoakan keluarganya terjebak hujan dan sedang berteduh di suatu tempat sampai badai kencang ini berhenti. Jadi dia hanya berdua saja dengan Kim Jungwoo.

Berdua saja. Hal apa yang mampu terjadi?

Lagi-lagi Tuhan tertawa diatas singasananya.

"Diluar dugaan, kamarmu cukup teratur."

Suara Jungwoo muncul dari belakang tubuhnya. Dengan pajama SMP yang Jaehyun lupa kapan terakhir kali ia menggunakannya, setelah di perhatikan ternyata Jungwoo bertubuh kecil, ukuran yang nyaman saat di peluk.

"Aku memang nakal. Tapi lapangan perangku teratur."

Jungwoo menggoyang kacamatanya.

"Minggir. Sekarang waktunya aku beraksi."

"Tolong buatkan Ramyeon yang pedas ya, Tuan Koki." Jaehyun bergumam sambil berlalu. Jungwoo tersenyum lebar.

***

Semua terjadi sangat cepat.

Selepas makan malam, Jungwoo menceritakan sesuatu tentang kehidupannya.

Tentang rumahnya yang sepi, tentang hari-harinya yang kelam, tentang dia yang membutuhkan seorang teman bicara lebih dari ia ingin membaca buku mungkin itulah alasan kenapa Jungwoo sangat bahagia dengan buku, buku menjadi teman dekatnya selama ini, tentang ia yang terpuruk.

Jaehyun mendengar tanpa memotong. Ia menyeka air mata Jungwoo dengan ibu jarinya. Menarik kacamata pemuda itu dan meletakannya di rak buku sebelah ranjangnya oh, mereka ada di kamar Jaehyun

Jaehyun mengelus sisi wajahnya yang basah karena air mata.

"Sekarang kau tidak akan kesepian. Kau punya aku."

Jaehyun tidak merasakan apapun. Hatinya yang panas membimbing tubuhnya melakukan sesuatu.

Jungwoo diam dan sepertinya memang menunggu Jaehyun.

"Jangan tertutup lagi. Aku akan disini bersamamu Jungwoo."

Jungwoo menunduk. Mendengar namanya disebut nampaknya menimbulkan efek drastis di wajahnya.

Tidak lama Jaehyun datang dan mencium.

Ciuman yang singkat.

Jaehyun langsung menarik wajahnya. Ia berharap tidak menerima tamparan berkala pada wajahnya, tapi setelah menunggu beberapa detik, itu tidak terjadi.

"Kenapa?" suara Jungwoo parau dan tersekat.

"Kenapa kau lakukan?"

"Kau tau alasannya, Jungwoo."

Setelah mendapat keyakinan penuh, Jaehyun tanpa segan menciumnya. Kali ini bukan hanya mengecup, ia menambahi dengan pelukan dan dekapan kuat, keduanya di selimuti gairah.

Jaehyun merasakan punggungnya di cengkram, itu tangan mungil Jungwoo, di belakang punggungnya. Lidah keduanya menyatu, hangat mulut Jungwoo mengalahkan sumber mata air, penuh kenyamanan, dan nikmat luar biasa.

Jaehyun perlahan merubah posisi dan mengangkat tubuhnya dan tubuh Jungwoo keatas ranjang. Ia melepas ciuman, kemudian duduk berjongkok diantara kaki Jungwoo.

"Aku tidak memaksa. Tapi aku tidak akan melakukannya kalau kau keberatan."

"Kau bilang seperti itu setelah membuatku seperti ini?" Jungwoo menyeka basah di atas bibirnya, dadanya naik turun dengan cepat.

"Aku tidak bisa melihat wajahmu, Jaehyun. Kemarikan kacamataku."

Jaehyun menyerahkan kacamata berbingkai stainless, "Kau yakin?"

"Aku yakin." Jungwoo datang dan memeluk tubuh Jaehyun di depannya.

"Kau tau bagaimana caranya aku mengelola degup jantungku yang sudah aku tahan semenjak kita menginjakkan kaki di rumahmu?"

Jaehyun tertawa. "Iya. Aku tau."

Dari sini semua keintiman bermula.

***

Sudah dua puluh menit. Hasilnya, Jungwoo keluar dua kali dan Jaehyun keluar satu kali. Tapi keduanya belum kelihatan terpuaskan. Terutama Jaehyun.

"Masih belum?" tanya Jaehyun, ia bermandikan peluh, kebanyakan titik letih itu jatuh dan menetes di atas tubuh Jungwoo.

"Kau?" Jungwoo terengah-engah. Kapan terakhir kali ia terengah-engah. Ah… lomba maraton saat SMP. Dan grupnya mendapat urutan paling terakhir.

"Kau yakin menanyaiku? Aku bisa melakukannya sepuluh kali lagi."

"Ya. Kau akan membunuhku dengan instan."

Jaehyun menatap serius, kemudian meraih rambut Jungwoo yang basah dan menarik-nariknya lembut.

"Kau tidak tau bagaimana perasaanku sekarang, hm?"

Jungwoo mengangkat lututnya dan menggeser pinggulnya. Ia berusaha tidak menimbulkan suara cabul saat Jaehyun bergerak

Jelas saja, saat mereka bicara, Jaehyun belum melepaskan miliknya dari dalam tubuh Jungwoo.

Jadi selama dua puluh menit, Jungwoo harus menampung milik Jaehyun di lubangnya yang kecil.

"Jangan berkata seolah-olah aku tidak tau. Aku tau." Ucap Jungwoo dengan memiringkan sedikit kepalanya.

"Sekarang lakukan sesuatu Jaehyun, jangan tanggung-tanggung, ukuranmu itu tidak normal."

"Jadi kau benar-benar ingin lebih, hm?

TBC

1
🌸 Airyein 🌸
Buset bang 😭
🌸 Airyein 🌸
Heleh nanti juga kau suka. Banyak pula cerita kau woo
🌸 Airyein 🌸
Bisa bisanya aku ketinggalan notif ini
Novita Handriyani
masak iya tiap kali selesai baca harus ninggalin jejak, Thor. saya hadir ✋️
Novita Handriyani
ngga suka cerita sedih
Novita Handriyani
kayaknya pernah baca nih cerita
kebikusi
astaga cerita ini mau dibaca berapa kali kok tetep bikin berkaca-kaca ya, untung banget punya otak pikunan jadi setiap baca selalu ngerasa kaya buat yang pertama kalinya.. NANGIS
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!