Sensasi Duda Seksi

Aku terbangun jam empat subuh dan tak melihat Rhine di sampingku. Dia menghilang. Aku langsung ke jendela untuk melihat mobilnya, kupikir dia pergi tapi mobilnya masih ada. Aku ke kamar mandi dan tak melihatnya.

Aku keluar dari kamar, dan terkejut melihat Rhine sedang duduk di tangga dan tampak putus asa. Aku mendekatinya dan bertanya apakah dia baik-baik saja.

"Rhine, ada apa? Kau baik-baik saja?" tanyaku dengan nada khawatir sambil berjalan maju mendekat padanya.

Dia tak menjawab pertanyaanku, dia hanya menatapku tak berekspresi. Tanpa berkata-kata, dia berdiri dan menarik ku masuk ke kamar lagi. Aku mencoba bertanya lagi, namun kata-kataku terputus ketika dia mendorongku hingga membuatku terbaring di atas ranjang.

Rhine menindih ku, dan tiba-tiba bibirnya menempel pada bibirku dengan brutal, penuh gairah yang hampir meledak. Tangannya mulai menjelajahi tubuhku, meraba kulitku yang tertutup piyama tidur.

Aku bisa merasakan kehangatan dan tekanan dari tubuhnya, dan meskipun aku bingung, aku membiarkan dia mengekspresikan sesuatu yang aku tak tahu melalui sentuhannya padaku.

"Rhine, tunggu. Apa yang sebenarnya terjadi?" bisikku di sela-sela ciumannya, berusaha memahami perasaannya.

Rhine berhenti sejenak, menatap mataku dengan pandangan yang begitu dalam. "Aku... aku takut kehilanganmu," ucapnya dengan suara yang hampir pecah. "Aku membutuhkanmu, sekarang. Sayang."

Aku terdiam, pertama kalinya dia memanggilku dengan sebutan 'sayang'. Aku merasakan beban emosional yang dia bawa. Perlahan, aku mengangkat tanganku dan membelai wajahnya, mencoba menenangkan kekacauan yang terlihat jelas di matanya.

"Aku di sini, Rhine. Aku tak akan ke mana-mana," kataku lembut, berharap kata-kataku bisa meredakan kegelisahannya.

Dia menghela napas panjang, seolah mencoba melepaskan sebagian dari beban yang menekannya. Rhine menunduk dan menyandarkan dahinya di bahuku, sementara aku memeluknya erat, memberikan semua rasa nyaman yang bisa kuberikan.

Rembulan masih memancarkan kan sinarnya, cahayanya berusaha menyusup melalui tirai jendela yang masih terbuka. Di kamar ini suasananya hening dan hanya ditemani desahan napas yang terdengar.

Aku merasa sesuatu yang longgar di dadaku, dia membuka kaitan bra yang ku pakai. "Bolehkah?" tanya Rhine dengan suara lembut, nyaris berbisik.

Aku mengangguk, mataku menatap dalam ke matanya yang penuh kasih. Sementara tangannya menjalari setiap lekuk tubuhku, aku bahkan tak bisa berkata karena dia tak henti menciumku.

Kehangatan tangannya menjalar di sekujur tubuhku. "Rhine..." gumamku pelan di antara ciumannya.

Dia berhenti sejenak, menatapku dengan tatapan penuh arti. "Aku menginginkanmu," ucapnya sambil menyelipkan sehelai rambutku yang terlepas ke belakang daun telingaku.

Aku mengangguk lagi, suaraku rasanya berat untuk keluar. Aku merasakan sesuatu yang menegang di dekat pahaku. Aku merasakan Rhine di bawah sana.

Dia tersenyum tipis, matanya menyiratkan keinginan yang sama. "Aku mencintaimu," bisiknya di telingaku, membuat seluruh tubuhku merinding.

Rhine membuka lebar kedua pahaku dan memisahkannya dengan lembut. Sentuhannya yang lembut dan penuh kasih mulai menyusuri jalan yang sangat pribadi, membuat ku kembali merasakan sensasi yang tak dapat ku jelaskan.

Desahan dan rintihan keluar dari mulutku di sela ciumannya yang ganas.

"Aku ingin kau, Jade," bisiknya lembut di telingaku, suaranya bergetar dengan hasrat yang dalam. "Aku ingin memilikimu seutuhnya. Untukku. Milikku. Katakan kau mencintaiku."

Kata-katanya menembus pikiranku, dan aku teringat ucapan Ryan yang pernah berkata untuk mengikuti kata hatiku. Aku menutup mataku, mencoba menghubungkan hati dan pikiranku, mencari jawaban yang ingin kutemukan.

"Jade..." suara Rhine terdengar seperti permohonan, penuh harap dan kerinduan.

"Aku—mencintaimu, Rhine," ucapku setengah mengerang dalam ciumannya. Rhine tersenyum penuh kebahagiaan, dan dengan lembut menghentikan ciumannya. Dia mengambil jarak dariku, matanya bersinar dengan kegembiraan.

Dengan hati-hati, Rhine mulai membuka pakaiannya dan aku mengikuti, dia melepaskan pakaian kami bergantian. Saat kami akhirnya telanjang tanpa sehelai benangpun kami berdua saling memandang, merasakan keintiman yang mendalam.

Bayangan-bayangan tercetak samar-samar di dinding. Ketenangan malam dipecahkan oleh bisikan lembut yang terdengar dari sudut ruangan.

"Rhine..," bisikku, suaraku hampir tak terdengar di antara denting jam dinding yang perlahan berdetak.

Dia mendekat, matanya menyala dengan rasa kasih yang mendalam. Bibirnya membentuk senyuman yang menghangatkan. "Aku ingin kau merasakan cintaku sepenuhnya."

Perlahan, dia mengikat kedua tanganku dalam genggamannya, menariknya ke atas. Ada ketegangan yang manis saat dia mencium bibirku, mengalirkan gelombang kehangatan yang menggetarkan.

Saat pinggangku terangkat, tubuhku tunduk, aku merasakan bagaimana segalanya terasa diluar kendali. Kelembutan dan kekuatan bersatu dalam gerakan yang penuh kasih. Tak ada lagi kekhawatiran atau keraguan, hanya ada kepercayaan dan cinta diantara kami.

Dalam keheningan subuh ini yang diwarnai oleh desah napas dan sentuhan lembut, kami berbagi keintiman yang penuh dengan rasa menyatukan diri dalam cerita yang indah dan tak terlupakan.

Dia menatapku, dan aku bisa melihat sebuah kilasan harapan di matanya. Rhine melepas ciumannya dan menarik ku lebih dekat, kami saling berpelukan. Ada keheningan yang nyaman, meski ketidakpastian masih membayangi ketenangan dalam kehadiran satu sama lain.

...----------------...