Rasa bersalah karena sang adik membuat seorang pria kehilangan penglihatan, Airi rela menikahi pria buta tersebut dan menjadi mata untuknya. Menjalani hari yang tidak mudah karena pernikahan tersebut tak didasari oleh cinta.
Jangan pernah berharap aku akan memperlakukanmu seperti istri, karena bagiku, kau hanya mata pengganti disaat aku buta - White.
Andai saja bisa, aku rela memberikan mataku untukmu - Airi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13
"Ai, Airi!"
Mendengar White berteriak teriak memanggil namanya, Airi yang sedang menjemur baju dihalaman belakangpun langsung berlari menuju kamar. Dari suaranya, terdengar panik, Airi jadi takut terjadi sesuatu.
"Airi!"
"Iya, Bang," sahut Airi sambil berlari menuju kamar. Diatas ranjang, terlihat White sedang ketakutan sambil memeluk kedua lututnya. Segera Airi menghampiri dan memeluknya. "Ai disini Bang, Ai disini." Bisa dia rasakan jika detak jantung White yang sangat cepat. "Abang mimpi buruk lagi?"
White hanya mengangguk, tubuhnya masih gemetaran dan wajahnya pucat. Entah sudah keberapa kalinya mimpi buruk itu menyapa White, membuat dia gelisah setiap mau tidur.
"Aku memanggilmu berkali-kali, kenapa kau tak segara datang? Aku takut Ai." Suara White masih terdengar bergetar.
"Maafkan Ai Bang, maaf." Airi mengeratkan pelukannya. Dalam hati, dia merutuki diri sendiri yang tadi menjemur baju dibelakang sambil mendengarkan musik dan asyik bernyanyi. Harusnya dia menunda pekerjaan rumah, duduk disamping White dan menunggunya hingga bangun.
Airi mengambil air mineral botol diatas nakas lalu membukanya dan menyerahkan pada White. "Abang minum dulu." White segera meminum air tersebut hingga setenga botol lalu menyerahkan kembali pada Airi.
"Aku takut Ai, aku takut hening. Aku takut saat merasa sendirian. Semua gelap, aku sendirian."
Airi menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangis. Rasa bersalahnya makin besar. Pria yang dulunya pemberani dan penuh percaya diri, sekarang berubah menajdi sosok yang penakut dan tak memiliki rasa percaya diri, bahkan untuk bertemu dengan orang saja, dia tak berani.
"Apa kita perlu pergi ke psikolog?"
White menggeleng, "Aku tidak mau."
...----------------...
Jika biasanya White akan tetap dikamar saat Airi memasak, pagi ini dia ikut kedapur. Lebih tepatnya menunggu dimeja makan karena antara dapur dan meja makan tak ada sekat.
Tahu jika White takut saat suasana hening, Airi makin banyak bicara sekarang. Bahkan saat masak seperti inipun, mulutnya terus mengoceh.
"Udah kecium belum Bang aromanya, aku lagi menumis bumbu ini. Mau buat oseng brokoli kesukaan Abang."
"Ya, aku sudah mencium aromanya yang sedap."
"Abang tahu, brokolinya seger banget, warnanya hijau, belum ada kuningnya sedikitpun. Dan sekarang, aku masukin ke penggorengan." Terdengar suara spatula yang beradu dengan penggorengan. Bunyi yang dulu biasa saja, tapi sekarang terdengar menenangkan bagi White. Karena mendengar bunyi itu, dia jadi tak merasa sendiri.
Airi mengambil sedikit disendok lalu meniupnya agar dingin dan membawanya pada White. "Coba Abang cicipi, sudah pas belum rasanya?" Saat White membuka mulut, Airi langsung menyuapinya. "Gimana, sudah enak belum? Apa perlu aku tambahin garam?"
"Sudah enak," sahut White setelah menelan makanannya.
"Sekarang hanya tinggal goreng ayam, setelah itu kita sarapan." Airi kembali ke tempat masak lalu menyelesaikan pekerjaannya.
"Abang, mau paha, dada atau sayap?" tanyanya saat hendak memasukkan potongan ayam ke penggorengan yang minyaknya sudah panas.
"Sayap."
"Gak mau ganti, perasaan tiap hari sayap mulu. Paha mau gak? Paha enak loh."
"Paha kan kesukaan kamu." White mulai hafal satu persatu kesukaan Airi. Bagaimana tidak, sekarang Airi terus mengoceh menceritakan apapun demi membuat suasana tak hening. Selain makanan kesukaan, White juga mulai tahu warna kesukan Airi, film, buku, dan apapun kesukaannya. Bahkan nomor sepatunyapun, White tahu.
Setelah semua makanan terhidang dimeja, mereka mulai sarapan. Sekarang, White sudah terbiasa makan dengan tangan, menurutnya itu lebih mudah untuk bisa mengatur nasi dan lauk yang akan masuk kemulutnya.
"Bang, minggu nanti, kita jalan-jalan ya?" Airi tak bosan bosan membujuk suaminya. "Ai janji bakalan terus pegang tangan Abang. Gak akan Ai lepas walau sebentar saja. Abang mau kan?"
White tetap melanjutkan makan, tak merespon sama sekali perkataan Airi.
"Abang gak usah pakai tongkat jika malu akan penarik perhatian. Bukankah Ai mata untuk Abang. Jadi Abang hanya perlu memegang tangan Ai. Ai yang akan menunjukkan jalan dan apapun yang ada didepan Abang." Airi menghela nafas saat White masih saja diam. "Please Bang, mau ya?" Dia ingin sekali White bisa kembali berbaur dan tak mengurung diri terus.
"Baiklah."
Tak terkira senangnya hati Airi mendengar persetujuan White. Akhirnya usahanya membuahkan hasil. Rasanya tak sabar ingin segera hari minggu dan membawanya berjalan jalan ditaman.
...----------------...
Malam hari, White mulai gelisah saat mau tidur. Dia takut mimpi buruk itu kembali datang. Dan disaat seperti itu, Airi akan naik keatas ranjang dan menggenggam tangannya. "Tidurlah, Ai bakal jagain Abang. Airi ada disini, gak akan pernah ninggalin Abang." Selama beberapa malam ini selalu seperti itu. White selalu menggenggam tangan Airi saat mau tidur. Baru saat dia sudah tertidur pulas, Airi akan turun dari ranjang dan tidur dibawah seperti biasanya.
Tapi malam ini, seiring intensitas mimpi yang makin sering, White sulit sekali untuk tidur.
"Ai, tidurlah diranjang bersamaku mulai malam ini."
"Hah," Airi langsung terperangah. Apa dia tak salah dengar.
"Aku lebih merasa nyaman saat kau didekatku."
"Jika itu yang Abang mau, Ai akan tidur diranjang." Airi yang biasanya hanya duduk dan membiarkan White menggenggam tangannya, kali ini mulai rebahan disebelah White.
"Ai, apa kau keberatan jika aku memelukmu?"
Airi memiringkan badan, meraih tangan White lalu meletakkan dipinggangnya. "Tentu saja tidak." Jangankan hanya dipeluk, Airi sudah memasrahkan hati dan tubuhnya pada White sejak pria itu resmi menikahinya.
"Ai, apa aku terlihat sangat menyedihkan?"
Airi benci sekali dengan pertanyaan itu. Bagaimana tidak, air matanya akan langsung meleleh setiap mendengar ketidak berdayaan White. Dan rasa bersalahnya akan makin besar.
"Apa abang mau aku bacakan dongeng agar segera tidur?" Airi mengalihkan topik pembicaraan.
"Kau pikir aku bayi?" sahut White yang langsung disambut tawa oleh Airi.
"Jangan salah, aku aja sampai gede masih sering dibacain dongeng sama ibuku."
"Ck, pasti bohong."
"Hahaha, kok tahu sih?"
"Menyebalkan."
"Astaga, aku rindu sekali kata itu. Rasanya Abang sudah sangat lama tak mengatakan itu padaku."
White berdecak sebal karena ledekan Airi.
"Aku ceritaan tengang Snow White ya?"
"Terserah," White tak peduli lagi. Saat ini yang paling penting dia ingin segera tidur.
Airi mengambil ponsel lalu mencari cerita Snow White lalu membacanya dengan intonasi seperti seorang ibu yang sedang bercerita.
Saat nafas White sudah mulai teratur, Airi berhenti bercerita, karena itu artinya, White sudah tidur.
"Ai, janji bakal selalu jagain Abang dan ada untuk Abang." White mengecup kening White lama. "Mimpi indah Bang."