Gisel mendapatkan ide gila dari keluarganya, yaitu untuk memb*nuh Evan—suaminya. Karena dengan begitu, dia akan terbebas dari ikatan pernikahannya.
Mereka bahkan bersedia untuk ikut serta membantu Gisel, dengan berbagai cara.
Apakah Gisel mampu menjalankan rencana tersebut? Yuk, ikuti kisahnya sekarang juga!
Jangan lupa follow Author di NT dan di Instaagram @rossy_dildara, ya! Biar nggak ketinggalan info terbaru. Sarangheo ❣️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rossy Dildara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 35
"Sebaiknya kamu masuk ke kamar sekarang, Nak. Mandilah dengan air hangat untuk merilekskan tubuhmu, setelah itu ajak Gisel untuk makan malam bersama," Umi Mas berpesan lembut, kemudian menambahkan, "Kamu juga nanti ikut makan, satu atau dua suap aja, buat menghargai Gisel yang udah masak. Takutnya dia malah sedih, kalau makanan yang dia masak capek-capek nggak kamu makan."
"Eh, memangnya Gisel sendiri belum makan, Umi?" tanya Evan penuh keingintahuan.
"Belum," Umi Mae mengangguk pelan. "Dia sengaja menunggu kamu untuk makan bersama."
"Bagaimana dengan Umi sendiri? Sudah makan?" Evan menawarkan.
"Umi sudah makan setelah sholat Isya, Nak. Kalian saja yang makan berdua, nanti Umi akan menghangatkan lauknya," Umi Mae tersenyum lembut.
"Baiklah." Evan mengangguk patuh. "Terima kasih, Umi."
"Sama-sama, Nak."
Umi Mae kemudian kembali ke dapur, sementara Evan memasuki kamar.
Di dalam kamar, Gisel terlihat sedang berbaring dengan punggung menghadap, sambil sibuk dengan ponselnya. Wajahnya terlihat murung saat Evan memperhatikannya.
"Kita nanti makan bareng ya, Sayang. Tapi tunggu aku selesai mandi dulu," ucap Evan sambil duduk di sofa, melepaskan jas dan sepatunya.
Gisel langsung berbalik dan dan duduk setelah mendengar ucapan Evan, wajahnya penuh kebingungan.
"Bukannya tadi Abang bilang sudah makan?" tanya Gisel.
"Iya, tapi aku mau makan lagi," jawab Evan sambil tersenyum lembut.
"Nggak perlu dipaksa kalau sudah kenyang, Bang. Nanti malah sakit perut," ujar Gisel dengan ekspresi cemberut.
Dia tidak ingin, Evan memakan masakannya karena terpaksa. Karena Gisel saja membuatnya dengan hati yang gembira, tanpa ada paksaan sedikitpun.
Apalagi, Gisel sempat mendengar ucapan Umi Mae yang dengan terang-terangan meminta Evan untuk memakan masakan Gisel. Padahal, mungkin akan jauh lebih enak didengar jika Evannya yang lebih dulu berinisiatif ingin makan lagi.
"Enggak dipaksa kok." Evan mengelak, lalu menyentuh perutnya. "Lumayan laper juga aku, Yang. Kan makan dari Magrib. Ya udah, tunggu aku selesai mandi dulu, ya?" Evan berdiri, Gisel pun ikut berdiri.
"Bener, ya, nggak dipaksa?" kata Gisel mencoba memastikan, Evan mengangguk dan senyum manis pun terukir di wajah Gisel. "Kalau gitu aku tunggu Abang deh."
"Iya, Sayang." Evan mendekati Gisel, mencium pipi kanannya sambil mengelus rambutnya. Setelah itu, dia masuk ke kamar mandi dan menutup pintu.
Ceklek~
"Akhirnya dapat." Evan membuka telapak tangannya yang sempat mengepal, melihat ada beberapa helai rambut Gisel yang rontok. Mungkin itu sudah cukup untuk dijadikan syarat, segera dia menyimpannya di dalam dompet.
"Kalau hari sialnya Gisel, hari apa dong, ya??" Evan terdiam sebentar, mencoba mengingat-ingat peristiwa yang pernah Gisel alami yang merasa dirinya menjadi sangat sial.
Beberapa saat, Evan pun berkata, "Kayaknya pakai hari pas aku perkosa dia aja deh, ya? Pasti saat itu Gisel merasa sial."
*
Ting!
Ting!
Langkah kaki Gisel yang hendak keluar kamar seketika terhenti, saat mendengar suara notifikasi chat masuk dari sofa tempat Evan duduk sebelumnya, dengan jasnya masih tergeletak di sana. Gisel yakin ponsel itu berada di dalam saku jas.
"Siapa yang chat Bang Evan malam-malam begini? Apa mungkin Pak Yahya?" tebak Gisel pelan.
Rasa penasaran tiba-tiba menyelimuti Gisel, membuatnya memutuskan untuk mengurungkan niatnya keluar kamar dan malah duduk di sofa untuk mengambil ponsel tersebut.
Setelah berhasil mengambilnya, Gisel langsung memencet tombol tengah layar untuk menyalakan ponsel.
Dan ternyata benar dugaannya tadi, ada sebuah chat masuk dari Mbah Yahya. Dua chat dan Gisel bisa membacanya meskipun ponsel itu terkunci.
[Kalau udah dapat, telepon aku dulu. Jangan langsung ke rumah, takutnya aku udah keburu tidur.]
[Nanti sekalian belikan aku rujak jambu kristal juga, ya, Van.]
"Apa-apaan ini?!" Gisel tampak terkejut membaca isi chat tersebut. Kedua matanya membulat sempurna. "Jadi Bang Evan berniat ke rumah Pak Yahya, meskipun baru tadi dia pulang? Dan apa yang dimaksud sudah dapat? Dapat apa??"
Gisel merenung sejenak, mencoba berpikir sampai akhirnya sebuah asumsi negatif muncul dalam benaknya.
"Apa jangan-jangan ko*ndom, ya??" Untuk kesekian kalinya, Gisel berpikir yang tidak-tidak tentang hubungan di antara Mbah Yahya dan Evan. "Kenapa juga Pak Yahya sampai minta dibelikan rujak segala? Nggak mungkin juga 'kan, dia ngidam?? Lagipula Bang Evan nggak mungkin hamil, kan dia laki-laki."
*
*
Meskipun begitu banyak pertanyaan yang menghantui pikiran Gisel, tapi dia memutuskan untuk tidak bertanya kepada Evan karena meragukan apakah suaminya akan jujur.
Gisel memilih untuk menyimpan semua itu sendiri, hingga keduanya kini duduk bersama di meja makan.
Evan terlihat sangat menikmati hidangan, meskipun sebelumnya mengatakan sudah makan.
"Bagaimana, Bang, apa masakanku enak?" tanya Gisel dengan senang melihat cara Evan menikmati makanannya.
"Sangat enak, Sayang. Benar-benar enak," jawab Evan sambil mengangguk.
"Dari skala 1 hingga 100, seberapa enak menurut Abang?" tanya Gisel.
"100," jawab Evan tegas.
"Nggak usah bohong," Gisel terlihat tidak yakin.
"Benar, Sayang," jawab Evan sambil mengangguk dengan tulus.
Gisel langsung tersenyum senang dengan hati yang berbunga-bunga.
"Kalau dibandingkan masakan Umi, lebih enak siapa, Bang?" tanya Gisel yang masih belum puas dengan pertanyaannya.
"Sebelas dua belas, Sayang."
"Sebelasnya siapa? Dua belasnya siapa?"
"Berhubung Umi adalah perempuan yang pertama kali aku makan masakannya, jadi Umi sebelas. Kamu dua belas." Evan mencari aman dengan jawabannya.
"Oke ...." Gisel mengangguk, jawaban Evan dapat dia terima dan sama sekali tak menyakiti hatinya.
"Semoga aja kamu nggak kapok masakin aku ya, Yang?" ucap Evan penuh harap yang tampak jelas pada kedua bola matanya.
"Mana mungkin aku kapok. Ya kecuali kalau nggak dimakan, baru aku kapok," balas Gisel sambil merengut.
"Aku janji, Yang." Tangan Evan terulur di atas meja, lalu menyentuh punggung tangan Gisel dengan lembut. "Setiap kali kamu masak ... aku akan memakannya. Kamu nggak perlu khawatir."
"Bener ya, Bang, meskipun posisi Abang udah kenyang sekali pun?" tantang Gisel.
"Ya kalau udah kenyang sih enggak." Evan menggeleng sambil tertawa.
"Lho, kok gitu, sih?" Gisel mendengkus, tampak tidak senang dengan tanggapan suaminya.
"Ya 'kan kamu sendiri yang bilang tadi, kalau udah kenyang jangan dipaksa. Nanti sakit perut." Evan mengulang ucapan Gisel tadi, mengingatkannya demi tak membuat Gisel marah.
"Pokoknya mulai hari ini sampai seterusnya ... Abang setiap malam harus makan malam di rumah. Nanti aku akan masak setiap sore, Bang."
"Kayaknya kalau makan malam nunggu pulang bisa lama, Yang." Evan terlihat ragu. Mengingat dirinya memiliki riwayat penyakit asam lambung. "Kan kamu tau sendiri, aku ini punya penyakit asam lambung. Jadi nggak boleh telat makan, Yang."
Gisel tampak terdiam sebentar, mencoba mencari jalan keluar. "Eemmm ... kalau begitu, Abang bisa makan dua kali. Habis Magrib dan di rumah. Tapi makan malam pertamanya nggak usah terlalu kenyang, biar masih ada nafsu buat makan lagi bareng sama aku."
Evan tersenyum senang, melihat Gisel yang begitu pengertian. Dia mengangguk. "Tapi, Yang. Kamu sendiri memangnya kuat, ya ... makan nunggu aku pulang? Bisa-bisa kamu kena magh."
"Aku juga akan makan malam dua kali, Bang. Pertama dengan Umi, kedua dengan Abang. Bagaimana?"
"Ide yang bagus." Evan mengangguk setujui.
Mereka pun melanjutkan makan hingga selesai, kemudian masuk lagi ke dalam kamar.
Setelah selesai makan, mereka berdua kembali ke dalam kamar.
"Yang ... aku pergi keluar sebentar, ya?" ucap Evan sambil mengenakan hoodie yang diambilnya dari lemari. Dia kemudian mengambil ponsel dari kantong celananya dan mencoba menelepon Mbah Yahya. "Nanti kunci pintu rumah, dan tidur duluan aja, nggak usah nunggu aku pulang, ya?"
"Mau ke mana memangnya, Bang?" tanya Gisel pura-pura tidak mengetahui maksudnya. Dia mendekati Evan dan memeluknya dari belakang. Dengan penuh tekad, Gisel membatin dalam hati. 'Nggak akan aku biarkan Abang pergi. Enak saja mau menemui Pak Yahya, nggak boleh!'
"Pak Yahya meminta aku untuk membelikan rujak jambu kristal, Yang. Katanya dia kepengen," jawab Evan sambil menatap layar, menunggu panggilannya diangkat.
"Kenapa nggak membeli sendiri saja sih, Bang?" tanya Gisel dengan ekspresi kesal. "Dia 'kan masih punya tangan dan kaki."
"Aku 'kan asistennya, Yang. Terserah dia kalau memang mau nyuruh aku."
"Kalau begitu, biar aku yang memesannya secara online." Gisel melepaskan pelukannya dari perut Evan, kemudian bergegas menuju nakas untuk mengambil ponselnya. "Jadi Abang nggak usah capek-capek membelikannya dan nggak usah keluar juga."
"Enggak perlu, Yang. Aku beli sendiri aja," tolak Evan dengan gelengan kepala. Dia pun berjalan membuka pintu keluar kamar sambil menempelkan ponselnya ke pipi kanan, tampaknya Mbah Yahya sudah berhasil mengangkat panggilannya.
"Baaang!!" Melihat itu, Gisel langsung berlari menyusul dan berteriak memanggil suaminya. Tak akan dia biarkan Evan pergi begitu saja, apalagi untuk menemui Mbah Yahya.
...Siap menghalangi ya, Sel 🤣🤣...
jadikan ini sebuah pelajaran berharga didalam kehidupan bang evan, ternyata berumah tangga itu butuh ketulusan hati, cinta dan kepercayaan, jika didasari dengan kebohongan apalagi sampai ingin melenyapkan itu sudah keterlaluan
buat kak Rossy semangat 💪, jujur aku suka ceritanya kak, seru buatku, malah selalu nunggu up tiap hari
alurnya itu unik dan bikin penasaran cuman pas up pendek banget thor🥲
sabar bang Evan masih ada Risma yang setia menunggu
jangan cepat ditamatin 😭