"Assalamualaikum, boleh nggak Alice masuk ke hati Om dokter?" Alice Rain menyengir.
Penari ice skating menyukai dokter yang juga dipanggil dengan sebutan Ustadz. Fakhri Ramadhan harus selalu menghela napas saat berdiri bersisian dengan gadis tengil itu.
Rupanya, menikahi seorang ustadz, dosen, sekaligus dokter yang sangat tampan tidak sama gambarannya dengan apa yang Alice bayangkan sebelumnya.
Happy reading 💋
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pasha Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua duanya
Untuk saat ini, Fachry masih bisa maklum, sebab Alice belum terbiasa, maka langkah awal yang dilakukannya hanya dengan mengupgrade sedikit pakaian Alice menjadi lebih tertutup lagi.
Tahap ini proses. Karena banyak di luar sana yang tiba- tiba hijrah dengan sekeras- kerasnya merubah diri, lalu tak berapa lama kemudian mereka kembali melepas hijabnya dengan alasan yang dibuat cukup logis.
Biarkan Alice mengalir seperti apa adanya, biarkan Alice yang memilih untuk berhijab tanpa adanya paksaan seseorang, selain takut pada hisab Tuhannya, selain takut terlalu banyak menyakiti penciptanya.
Sementara ini Fachry ingin Alice belajar shalat lima waktu, mempelajari huruf hijaiyah, mengikuti kajian setiap hari setelah shalat subuh, sebelum mereka masuk kuliah, jika itu bisa terlaksana dengan baik, Masha Allah.
"Terima kasih, Dokter Fachry mau datang ke sini, Dani pasti cepat sembuh."
Siang, Alice menatap dari luar pagar rumah pasien suaminya. Beberapa waktu yang lalu, seorang perempuan dengan pakaian yang cukup tertutup tergopoh- gopoh menyatroni suaminya.
Wanita itu meminta Fachry memeriksa anak lelaki yang masih enam tahunan. Ada yang janggal, ada yang berbeda, ada yang membuat Alice memiliki feeling tak bagus pada wanita itu.
Yaitu ketika wanita itu berpura- pura terjatuh di depan Fachry, Alice berpikir itu seperti gerakan yang dibuat- buat karena ingin mendapatkan perhatian lebih dari suami tampannya.
Dahaman seseorang membuat bahu Alice tersentak kaget. "Hati hati, dijadikan istri ustadz biasanya dipoligami loh."
Alice menoleh, ada beberapa orang di sisinya, satu perempuan dan tiga lelaki. Entah mereka tahu dari mana tentang Alice istri Fachry, mungkin sudah geger di kampung ini.
Pria muda menyeletuk. "Dari pada sama ustadz Fachry. Mending sama saya, Cah ayu!"
"Lice..." Fachry mengalihkan atensi Alice, dan gadis itu segera ngeluyur setelah melihat suaminya keluar dari pagar rumah pasiennya.
"Ngapain di sini?" Fachry sengaja mengejar, mensejajarkan langkah kakinya dengan gadis yang cemberut.
"Alice cuma mau tahu ajah, kalo cewek yang namanya Nita siapanya Om Dokus!" Alice jutek, ia kesal dengan modus ibu dari pasien Fachry barusan, terlalu kentara.
"Cuma temen sekolah dulu."
"Janda kan?" tukas Alice, ia mendengar itu dari beberapa warga yang sebelumnya sudah mencoba meracuni pikirannya.
"Hmm." Lihat, Fachry mengangguk mengiyakannya bahwa Nita itu janda muda yang ditinggal mati suaminya. "Kenapa?"
"Nggak apa- apa!" Ah, cemburu itu tidak enak rasanya. Entahlah, sejauh ini Fachry tak bisa mengatakan aku sayang kamu, tapi pada wanita janda itu Fachry terlihat begitu peduli.
"Masuk," ajak Fachry.
Sampai di rumah, Alice justru tak mau masuk ke dalam, padahal sedari tadi terus menguntit di belakang tubuhnya. "Masuk, Alice."
"Alice mau di luar ajah." Alice bosan, panas, tak ada AC, hanya ada kipas yang sudah berbunyi pletak pletek ketika dinyalakan.
Dalam kondisi cemburu begini, pasti rumah mertuanya yang panas akan lebih panas lagi nantinya. "Alice mau di sini, ngeliatin orang."
Fachry baru menghela napas, tiba tiba muncul kembali wanita yang barusan saja menjadi alasan Alice cemburu. Nita berlari lagi, tergopoh- gopoh menyusul Fachry.
"Fachry, tolongin Dani lagi bisa kan?" Nita hanya menyebut nama karena dahulu mereka cukup dekat, bahkan satu kelas.
"Kenapa lagi memangnya?" Fachry rasa, Dani sudah lebih baik saat dia tinggal. Lalu kenapa tiba- tiba Nita mengulaskan kecemasan.
"Kejang!" Nita sempat melirik ke arah Alice yang lekas berkacak pinggang. Alice mau menunjukkan bahwa dirinya tak suka pada Nita, walau percuma karena Fachry dokter.
"Aku ke sana," ucap Fachry. Lalu menatap istri kecilnya. "Lice, masuk, kunci pintunya."
Alice berpaling. Kali ini Alice tak mau mengikuti Fachry yang ngeluyur pergi, dia akan susul saja ibu mertuanya di kebun, kemarin Alice diajak Widya ke kebunnya, makanya dia tahu ke mana arah kakinya berjalan.
Namun, belum keluar dari pagar, Widya sudah pulang membawa banyak sayuran. Alice masuk kembali karena Widya mengajaknya untuk makan siang.
Sejauh ini, Widya baik, tidak seperti mertua yang dilabeli mertua jahat. Widya juga sabar mengajari Alice menghapal doa- doa, salah satunya doa saat ingin bercinta.
Alice si putri Sky Rain, hanya dalam waktu singkat otak geniusnya mampu menyerap segala sesuatu yang Widya ajarkan padanya.
Malam ini, Alice bahkan sudah pandai membaca doa qunut. "Pinter mantu Ibu, Masha Allah!" puji Widya.
Ibu dan mantu duduk di sofa ruang tamu sederhana, mereka saling bercengkrama dengan romantis sampai- sampai Fachry sendiri merasa tak penting lagi.
Lihat saja, tak ada yang menyambut kedatangannya. Padahal Fachry baru pulang lagi setelah siang tadi harus ke rumah Dani.
"Ehm!"
Widya menoleh, lalu meraih buku tuntunan shalat dari tangan Alice. "Sekarang minta Fachry yang ajarin gerakan shalatnya ya, Alis!"
"Elish Ibu, bukan alis!" Alice protes. Widya tertawa geli melihat ekspresi menantunya.
"Sudah sana masuk," titah Widya. "Nanti jangan lupa baca doa sebelum ehm ehm."
"Okoh doh. Nonto Olos mo..."
"Ngomong opo, Lis?" Widya tertawa, sedari siang pun Widya tak pernah bisa menahan tawa jika Alice sudah bersuara.
"Ngomong jowo!"
"Ya nggak semuanya juga kamu sebut dengan vokal O!" Widya terkikik. Sampai, Fachry saja tak tahan untuk mengeluarkan senyum samarnya.
"Toros gomono?" Alice juga geli sendiri.
"Ngomong biasa wae, Lis." Widya lalu membereskan buku- buku yang barusan dipakai untuk pesantren kilat menantunya.
Widya tak mau mengganggu, sekarang waktunya Alice bersama Fachry. Makanya Widya masuk ke dalam kamarnya sendiri.
Fachry mengikuti langkah kaki Alice, masuk ke dalam kamar dan gadis itu duduk di sisi ranjang, lalu menjatuhkan punggungnya di atas permukaan bantal.
"Hoaaam. Alice capek, ngantuk banget!"
Alice juga mendengus. "Kangen Babi," lirihnya sendu, tampak bibirnya manyun.
"Kita masih seminggu lagi di sini." Fachry menyeletuk, Alice lalu menoleh penasaran, setengah hari baru pulang, Alice ingin tahu apa saja yang dilakukan suaminya.
"Gimana anak jandanya?"
"Sudah lebih baik." Dani memang sempat membaik siang tadi, tapi setelah Fachry tinggal, penyakitnya kumat lagi sampai- sampai perlu perawatan secara intensif.
Makanya siang tadi juga Fachry membawanya ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Itulah kenapa Fachry bisa pulang ke rumah lagi sesudah isya.
Alice mendengus, entahlah, rasanya masih tak suka dengan tingkah Nita. "Masa anaknya alergi setiap kali ada Om Dokter?" gumamnya.
"Dani tidak seperti mu yang modus, Alice."
Alice terkekeh menyebalkan, memutar bola matanya malas, bahkan mengolah giginya menjadi mirip kelinci.
Lucu sekali dokter ini, dulu dia bolak balik tak dihiraukan, dan ternyata pria ini sudah mengetahui jika sakit yang dideritanya selama ini hanya modus.
"Anak kecil mungkin enggak, tapi bisa saja kan ibunya yang lagi modus, terus kasih anaknya sesuatu yang bikin alergi."
"Jangan suuzon!" Fachry menegur dengan suara yang keras. Hal yang cukup sensitif dan membuat Alice tak ingin lagi menimpalinya.
"Itu tangannya kenapa?" Fachry memindai bintik kemerahan di lengan Alice. Agaknya, ruam serius, bukan gigitan nyamuk.
"Bukan apa apa!" Alice menepis tangan Fachry yang menarik lengannya. Bahkan, untuk sekedar disentuh saja Alice enggan.
"Ini ruam." Fachry menatap wajah Alice, di mana bintik merah juga memenuhi area dagu, leher, bahkan tulang selangka. "Kamu alergi?"
"Bukan," sergah Alice. "Ini modusnya Alice biar bisa disentuh sama Om Dokter!"