Mati-matian Balqis Lalita Wiguna membela lelaki yang dia sayangi, ternyata hanya menimbulkan luka yang begitu dalam. Di mana bukan dia yang bersanding di pelaminan, melainkan wanita lain yang tidak dia kenal.
Dia kira cinta pertamanya akan mengajarkan banyak hal. Nyatanya, hanya meninggalkan luka dan sulit untuk disembuhkan.
Akankah ada seseorang yang berhasil menjadi obat penawar dari luka tak kasat mata yang Balqis derita? Dan bisa membuatnya kembali merasakan cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Kegamangan
Aqis beranjak dari tempat itu dan mengejar Faza. Rio menghela napas begitu kasar dan memperhatikan perempuan yang dia sayangi berbincang dengan Faza.
"Za, sorry. Jangan diambil hati ucapan--"
"Kenapa gua harus sakit hati? Bukannya apa yang diucapkan oleh pria itu benar?"
"Za--"
"Siapa lelaki itu, Qis? Apa dia yang buat lu kayak gini?"
Aqis terdiam, dia tak menjawab sepatah katapun. Faza pun geram dan mulai meninggikan suaranya.
"JAWAB GUA, QIS!"
Rio segera bangkit dari duduknya karena mata semua orang sudah tertuju pada Aqis dan Faza. Rio menatap tajam wajah Faza.
"Lelaki yang memang sayang sungguhan sama perempuan tidak akan membentak perempuan itu sekesal apapun dia."
Rio menggenggam tangan Aqis dan membawanya pergi dari sana. Faza pun mematung melihat Aqis semakin menjauh darinya.
Di dalam mobil tak ada obrolan apapun antara Aqis dan Rio. Bergelut dengan pikiran mereka masing-masing. Tak terasa mobil sudah berhenti tak jauh dari Barad kafe. Sengaja Rio menghentikan mobilnya di sana.
"Pilihlah lelaki yang mampu meratukan, menjaga dan juga melindungi. Bukan lelaki yang menjatuhkan harga diri seorang perempuan di depan umum."
Aqis yang sudah hendak keluar dari mobil terdiam. Perlahan, dia menoleh ke arah Rio yang juga tengah menatapnya.
"Mulut gua emang kasar, tapi gua gak pernah berbicara kasar sama wanita yang gua sayang."
Mata Aqis mulai memerah. Air matanya mulai menganak. Aqis berhambur memeluk Rio hingga membuat tubuh Rio menegang seketika. Rio dapat merasakan jikalau hati Aqis begitu sedih mendapat bentakan dari sahabatnya.
.
Langkah Aqis terhenti ketika Faza kembali menunggunya di depan kafe. Kini, wajah Faza penuh dengan penyesalan.
"Qis, gua minta maaf. Gua--"
"Persahabatan akan rusak ketika ada sebuah rasa yang salah di dalamnya." Aqis memotong ucapan Faza dengan raut datar.
"Tanpa lu minta maaf, gua udah maafin kok. Juga gua udah menganggap persahabatan kita sudah rusak."
"Jadi, anggap aja kita bagai dua orang asing yang tak pernah saling kenal."
Aqis meninggalkan Faza begitu saja. Rasa sedih dan kecewa masih bersarang. Selama hidupnya, dia tidak pernah dibentak oleh lelaki manapun termasuk ayah dan ketiga kakaknya di depan umum. Sedih dan malunya bukan main.
Faza tak tinggal diam. Dia mengejar Aqis dan berhasil mencekal tangan Aqis hingga langkah Aqis pun ikut terhenti. Aqis melihat ke arah tangannya yang Faza cekal. Sorot lampu mobil membuat dua manusia itu kesilauan. Aqis melihat ke arah mobil yang berhenti tak jauh dari mereka.
Seorang lelaki keluar dari mobil dan itu membuat Aqis segera menghempaskan tangan Faza. Sayanganya, Faza semakin erat menggenggam tangan Aqis.
"Lepas, Za!"
"Enggak," balas Faza.
Aqis tidak ingin Rio bersikap kasar kepada Faza. Dia tahu bagaimana ganasnya Rio.
"Lu pilih gua apa dia?" Faza menunjuk Rio dan dibalas senyum tipis oleh Rio.
Aqis terdiam untuk sesaat. Lalu, dia menatap Faza dengan penuh keyakinan.
"Maaf, Za," sesal Aqis.
Tangannya meraih tangan Rio dan itu membuat Rio menatap dalam wajah Aqis. Rio pun menggenggam tangan Aqis dan menarik tangan Faza yang ada di lengan Aqis.
"Udah tau jawabannya kan?"
Faza terdiam mendengar kalimat yang keluar dari bibir Rio. Faza melihat Rio menggenggam tangan Aqis dengan begitu erat dan membawa Aqis menjauh darinya. Faza membeku ketika melihat perlakuan Rio kepada Aqis. Di mana Rio terlihat begitu melindungi Aqis. Mobil pun melaju dan melewati Faza yang masih berdiri di sana.
Ujung mata Rio melirik ke arah Aqis yang sedari tadi terdiam. Dia pun tak membuka suara sama sekali. Mobil sudah berhenti di depan kosan. Aqis tak langsung turun. Dia menatap ke arah Rio yang sedang menatap lurus ke depan.
"Makasih, sudah selalu ada untuk Aqis."
Perlahan Rio menoleh ke arah Aqis. Wajah sendu dapat Rio lihat.
"Gua bukan lelaki penuh bualan. Ketika gua udah bicara pasti akan komit dengan ucapan gua."
Aqis melihat keseriusan di wajah Rio. Dia juga merasakan jikalau Rio adalah lelaki yang selalu menepati perkataannya. Senyum pun terukir di wajah Aqis. Namun, Aqis merasa ada yang kurang. Di mana Rio tidak mengucapkan love you seperti biasanya. Juga, mobil yang dibawa Rio langsung pergi dari kosan. Biasanya Rio akan memastikan keselamatan Aqis sampai wanita yang dia cintai masuk ke dalam kosan.
.
Pagi hari setelah mandi biasanya pesan dari Rio sudah masuk. Namun, tak ada pesan dari siapapun. Wajah kecewa terlihat jelas. Kebiasaan memberikan kabar membuat Aqis terus menunggu. Sampai dia tiba di kafe pun tak ada pesan dari Rio.
Kerja pun tak fokus karena pikiran Aqis berkelana ke sana ke mari. Dia merasakan sebuah kekosongan. Sampai malam tiba pun Rio tak memberi kabar.
"Ke mana Kak Iyo?"
Aqis pulang dengan wajah yang sendu. Untung saja Faza tak mengikutinya. Jadi, dia bisa pulang dengan aman.
Tangan Aqis masih ragu untuk menghubungi Rio. Sedari tadi jarinya maju mundur untuk menekan gagang telpon di kontak bernama Kak Iyo.
"Masa gua harus telpon duluan?" gumamnya galau.
Sudah tiga hari ini Rio seperti menghilang ditelan bumi. Aqis semakin merasakan kehilangan. Ponselnya sepi karena tidak ada yang memberi kabar.
Aqis masih dilanda keraguan. Dia ingin tahu kabar Rio, tapi dia malu menghubungi Rio lebih dulu. Biasanya duda itu yang lebih dulu menghubunginya.
"Arrghh!!"
Aqis mengerang kesal. Dia begitu frustasi karena dilanda kegamangan. Setelah dua jam bergelut dengan otak dan hatinya, Aqis memberanikan diri ingin menghubungi Rio.
"Kak Iyo udah tidur?"
Pertama adalah pesan. Dia ingin melihat Rio akan merespon pesannya atau tidak. Sudah lima menit, pesan yang Aqis kirim hanya ceklis dua tanpa berubah biru.
"Sabar, Qis. Mungkin dia lagi sibuk."
Aqis bicara kepada dirinya sendiri. Memberikan kekuatan kepada dirinya agar tak mudah menyerah. Setengah jam berlalu, ceklis dua tetap tak berubah warna. Aqis hanya menghela napas kasar.
Akhirnya, Aqis memutusakan untuk menelepon Rio. Dadanya berdebar tak karuhan. Sudah tersambung, tapi tak jua dijawab. Wajah Aqis terlihat begitu penuh harap. Tubuhnya mulai lemas ketika panggilannya tak dijawab.
"Kak Iyo ke mana? Apa Kak Iyo marah sama Aqis?" Bermonolog dengan wajah penuh kesedihan.
Jari Aqis dengan lincahnya kembali menari-nari di atas layar ponsel. Dia kembali mengirimkan pesan kepada Rio dan masih berharap Rio membalasnya. Sayangnya, pesan itu tak ada balasan.
Untuk kedua kalinya Aqis mencoba untuk menghubungi Rio. Dia merapalkan doa di dalam hati supaya Rio mau menjawab panggilannya. Mata Aqis melebar ketika panggilannya dijawab untuk kali ini.
"Gua di depan kamar kosan lu."
Aqis terkejut mendengarnya dan segera menuju pintu dengan ponsel yang masih menempel di telinga. Pintu segera Aqis buka dan pria yang dia rindukan sudah ada di depannya dengan ponsel yang menempel di telinga juga. Mereka saling tatap untuk beberapa saat.
"Kenapa? Kangen?"
...***To Be Continue***...
Boleh minta komennya? Biar up lagi nanti
lnjut lgi thor
semangat
pasti Agha sengaja nidurin tuan d kamar pengantin🤭
mereka yg menjDi dalNg ny
saat terdesak d ke susahan kembali ingin berbuat ulah...