Rafael Graziano Frederick, seorang dokter spesialis bedah, tak menyangka bahwa ia bisa kembali bertemu dengan seorang gadis yang dulu selalu menempel dan menginginkan perhatiannya.
Namun, pertemuannya kali ini sangatlah berbeda karena gadis manja itu telah berubah mandiri, bahkan tak membutuhkan perhatiannya lagi.
Mirelle Kyler, gadis manja yang sejak kecil selalu ingin berada di dekat Rafael, kini telah berubah menjadi gadis mandiri yang luar biasa. Ia tergabung dalam pasukan khusus dan menjadi seorang sniper.
Pertemuan keduanya dalam sebuah medan pertempuran guna misi perdamaian, membuat Rafael terus mencoba mendekati gadis yang bahkan tak mempedulikan keselamatan dirinya lagi. Akankah Mirelle kembali meminta perhatian dari Rafael?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PimCherry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TERAPI SELESAI
Mirelle sangat menikmati waktu kebersamaannya dengan Xin dan Yasa. Xin bahkan mengenalkannya pada Dash, suami Xin.
“Kapan kita bisa bertemu lagi, Elle? Aku sangat senang saat bersama denganmu,” ucap Xin.
“Aku tak tahu, Kak.”
“Kamu pergi ke mana, Elle? Kamu tahu tidak kalau Rafael selalu saja mencari Marco untuk mengetahui keberadaanmu,” ucap Yasa.
“Yas!” Xin berdecak karena ia tak ingin Yasa membicarakan tentang Rafael. Ia tak ingin Mirelle merasa tak nyaman dan tak enak hati.
“Tak apa, Kak. Aku sudah bertemu dengannya,” ucap Mirelle yang justru membuat Xin dan Yasa menatap tak percaya.
“Kamu sudah bertemu Rafael?” tanya Yasa sekali lagi untuk meyakinkan dan Mirelle kembali menganggukkan kepalanya.
Kini di dalam kepala Xin dan Yasa, mulai berputar kemungkinan kemungkinan apa yang terjadi. Selain itu, Rafael tak mengatakan apapun pada mereka tentang pertemuannya dengan Mirelle.
“Apa jangan jangan saat itu?” Yasa teringat saat Marco mencarinya dan menanyakan keberadaan Rafael.
Setelah itu tak ada lagi pembicaraan tentang Rafael karena Marco telah datang kembali ke Kediaman Frederick untuk menjemput Mirelle.
“Elle, kamu sudah selesai?” tanya Marco.
“Sudah, Kak.”
“Mar, duduklah dulu! Kita makan malam bersama,” ajak Xin.
“Tidak perlu, Kak Xin. Bukan menolak, tapi Dad dan Mom sudah menunggu kami pulang untuk makan malam bersama,” ucap Marco.
“Ah sayang sekali, padahal ini adalah permintaan anakku,” ucap Xin.
“Maaf ya, Kak. Lain waktu aku akan datang lagi, titip salamku untuk Declan,” ucap Mirelle.
Mirelle sempat bermain dengan Declan, putra pertama Xin dengan Dash. Declan dengan begitu cepat dekat dengan Mirelle, sama seperti dekat dengan Yasa, padahal ia tak mudah dekat dengan siapa pun selain keluarganya.
“Kamu berjanji?” tanya Xin.
“Aku berjanji, Kak,” Mirelle memeluk Xin. Sejak dulu ia sudah menganggap Xin dan juga Reyn sebagai kakaknya, apalagi hubungan keluarga mereka sangat dekat.
Setelah itu, Mirelle juga berpamitan dengan Yasa, “Aku pulang dulu, Kak.”
“Aku bayar hutangku nanti saja ya, Elle. Aku ingin kamu selalu menjadi debt collector bagiku. Cari aku, kejar aku, kalau perlu berhentikan aku di tengah jalan dan tagihlah hutang hutangku,” ucap Yasa yang seketika malah membuat Mirelle tertawa, begitu pula Xin dan juga Marco.
“Aku pamit dulu ya, Kak. Sampaikam salamku pada Uncle Ethan dan Aunty Queen, juga untuk Kak Reyn,” ucap Mirelle.
“Aku akan sampaikan salammu pada mereka, tapi ingat untuk datang kembali ke sini,” ucap Xin.
Mirelle tersenyum kemudian pamit dari sana. Xin dan Yasa hanya bisa menatap kepergian mobil yang membawa Mirelle dan Marco.
“Ia berubah, Yas. Mirelle berubah, ia tak seperti Elle yang dulu,” ucap Xin.
“Aku kira hanya aku saja yang merasakannya. Tapi aku tak sabar bertemu dengan Rafael. Banyak sekali yang ingin kutanyakan padanya.”
“Aku juga ingin bertemu dengan adik kulkasku itu. Hanya saja aku tak tahu di mana dia sekarang,” ucap Xin.
“Dia sedang berada di markas tentara, Kak.”
“What?!!” Xin tak percaya saat mendengarnya, “Bukankah ia baru pulang dari misi perlawanan terhadap pemberontak waktu itu?”
“Ya, aku juga tak tahu apa yang ada di dalam pikirannya.”
“Apa ia begitu putus asa hingga mulai tak menyayangi nyawanya? Bukankah bekerja bersama ketentaraan itu berarti kita harus siap berkorban?” tanya Xin.
“Aku juga tak tahu, Kak. Kita baru bisa bertanya padanya saat ia kembali nanti.”
Xin hanya bisa menghela nafas sambil mengelus perutnya yang baru sedikit membuncit.
*****
“Ini terapi terakhirku sebelum aku kembali ke markas tentara, Kak,” ucap Mirelle.
“Hmm.”
“Mengapa wajah kakak seperti itu?”
“Tak apa, aku hanya mengkhawatirkanmu, Elle,” jawab Marco.
“Aku menyukai pekerjaanku saat ini, Kak.”
“Aku tahu, Elle,” setelah itu, tak ada pembicaraan di dalam mobil antara Marco dan Mirelle.
Hari ini adalah terapi terakhir sebelum Mirelle menyelesaikan tahap pemulihannya. Catherine sudah menunggunya, bahkan mengosongkan jadwalnya untuk hari ini.
“Halo, Kak!” sapa Mirelle.
“Halo, Elle. Senang melihatmu tersenyum.”
“Aku senang karena kondisiku sangat jauh lebih baik dan ini semua karena bantuanmu.”
“Kalau begitu ayo kita mulai terapi terakhirmu,” ucap Catherine sambil mengajak Mirelle ke dalam ruangan khusus, “Kamu mau ikut, Mar?”
“Ya, bolehkah?” tanya Marco.
“Tentu saja boleh, masuklah,” jawab Catherine, “duduklah di sana.”
Catherine memulai sesi terapi bersama Mirelle. Mirelle terlihat begitu nyaman menjalani sesi terapi terakhirnya bersama Catherine. Keduanya berbicara dan tertawa bersama, dan semua itu tak lepas dari tatapan Marco.
“Lain kali jangan terlalu bersemangat lagi atau kamu akan kembali membuat dirimu terluka,” ucap Catherine.
“Aku mengerti. Aku akan menjaga diriku, Kak.”
“Baiklah, aku akan menjadi pendukungmu, Elle! Semangattt pembela negara!!” Ucapan Catherine kembali membuat Mirelle tertawa dan itu membuat Marco semakin penasaran.
Hampir dua jam Mirelle melakukan sesi terapinya sebelum akhirnya ia duduk dan menegak habis satu botol air mineral.
“Kita sudah selesai, kamu bisa kembali melakukan aktivitasmu, Elle,” ucap Catherine.
“Terima kasih, Kak.”
“Tunggu kakak di mobil, Elle. Ini kuncinya. Ada yang perlu kakak bicarakan sebentar dengan Catherine,” ucap Marco.
“Baiklah. Bye, Kak!” Mirelle pamit kemudian berlalu menuju mobil Marco. Sementara Marco masih berdiri diam di dalam ruang terapi bersama dengan Catherine.
“Mar, adikmu sudah pulih seperti sedia kala. Terima kasih sudah membawanya ke tempatku, aku sangat menyukainya,” lanjut Catherine.
“Thank you, Cath. Hmm … sebagai ucapan terima kasih, maukah makan malam bersamaku?” tanya Marco.
“Kamu tak perlu mengucapkan terima kasih padaku, Mar. Bukankah kamu sudah membayar biaya terapinya?”
“Ya, tapi izinkan aku menambahnya dengan sebuah makan malam.”
Catherine menatap Marco kemudian tersenyum, lalu menggelengkan kepalanya, “terima kasih atas ajakanmu, Mar, tapi maafkan aku, aku tak bisa.”
“Apa kamu masih marah padaku?” tanya Marco.
“Tidak, Mar. Aku tak marah padamu.”
“Kalau kamu tak marah padaku, seharusnya kamu menerima ajakanku, Cath. Bukankah masalah itu sudah beberapa tahun berlalu?”
“Maafkan aku, Mar. Sungguh aku tak marah padamu, tapi aku tak bisa menerima ajakan makan malam bersamamu karena aku sudah memiliki kekasih. Ia pasti akan marah jika aku makan malam bersama pria lain,” jawab Catherine.
“Kamu bohong! Bukankah kamu mengatakan pada Elle bahwa kamu tak akan menikah? Lalu mengapa sekarang kamu memiliki kekasih? Sejak dulu kamu selalu sama, masih saja suka berbohong. Katakan saja kalau kamu memang marah dan belum memaafkanku, tak perlu sampai berbohong! Aku pergi dan terima kasih sudah membantu adikku,” Marco pun pergi dari klinik terapi milik Catherine, sementara Catherine hanya bisa menghela nafasnya pelan.
“Begini lebih baik,” batin Catherine.
🧡🧡🧡