Ketika makhluk misterius yang disebut "Ruo" mulai memburu dan mencuri indera manusia, ketakutan melanda dunia. Ruo, sosok tanpa emosi dan kekuatan yang tampak tak terbatas menjadikan setiap manusia sebagai target, memburu mereka yang tak mampu menekan rasa takut atau sedih.
Di tengah kehancuran dan ketidakberdayaan, muncul Wira, seorang pria muda yang berhasil selamat dari serangan pertama para monster. Dipenuhi tekad untuk menghancurkan makhluk-makhluk itu, Wira membangun kepercayaan orang-orang di sekitarnya, menawarkan seberkas cahaya di tengah malam yang mencekam.
Di antara reruntuhan harapan, Wira memimpin, melindungi, dan menginspirasi orang-orang yang mulai melihatnya sebagai sosok harapan yang akan melindungi kemanusiaan. Namun, setiap langkahnya menguji batas kekuatan dan kemanusiaannya sendiri. Mampukah Wira mempertahankan harapan yang ia ciptakan di dunia yang hampir tanpa cahaya?
Masuki kisah perjuangan penuh pengorbanan, di mana harapan baru menyala di tengah kegelapan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerhana_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21: Light Under the Sea
Keesokan paginya, sesuai rencana, Wira dan timnya mulai menjalankan tugas mereka masing-masing untuk membantu orang-orang di Camp Arcadia. Pak Ronald telah membagi penghuni camp sesuai kondisi fisik dan potensi mereka, mengikuti saran Wira. Suasana camp terlihat lebih sibuk dan penuh semangat dibandingkan hari sebelumnya.
Flora memimpin kelompok wanita dan beberapa remaja dalam pelatihan memasak serta pengelolaan makanan. Ia mengajari cara menjatah makanan agar cukup untuk semua, teknik mengawetkan bahan makanan, hingga cara sederhana membudidayakan tanaman seperti kacang-kacangan.
Di sisi lain, Nora memperkenalkan ilmu herbal. Ia mengajarkan cara mengenali tanaman obat, mengolahnya menjadi ramuan sederhana, serta cara penggunaannya untuk mengobati luka atau penyakit ringan.
Rizki sibuk dengan kelompok pria yang memiliki keterampilan teknis. Ia menunjukkan cara membuat busur dan anak panah, memproduksi jebakan untuk hewan, serta memanfaatkan bahan di sekitar untuk menciptakan alat-alat sederhana yang berguna.
Bima mengajar kelompok pria dewasa teknik bertahan hidup. Ia melatih mereka berburu, bertarung jarak dekat, hingga cara melatih fisik agar lebih tangguh dalam menghadapi bahaya.
Sementara itu, Wira memilih untuk memantau dari tempat tinggi di pinggir camp. Pandangannya menyapu seluruh area, mengamati teman-temannya yang bekerja keras bersama para penghuni camp.
Pak Ronald mendekat dari belakang, berdiri di samping Wira. “Terima kasih, Tuan Wira. Dengan ini, kesejahteraan kami akan meningkat,” katanya dengan nada penuh syukur.
Wira tersenyum kecil, menatap pria tua itu. “Sama-sama, Pak. Tapi saya tidak melakukan apa-apa. Yang bekerja keras adalah teman-teman saya.”
Pak Ronald tertawa pelan. “Hahaha... Anda terlalu merendah, Tuan Wira. Anda punya kekuatan yang paling mahal di dunia ini.”
Wira mengangkat alis, penasaran. “Kekuatan apa itu, Pak?”
Pak Ronald menatap Wira dengan pandangan bijak. “Kekuatan untuk meyakinkan orang. Untuk membuat mereka percaya pada Anda.”
Wira terkekeh ringan. “Hahaha... Anda terlalu memuji saya, Pak.”
Pak Ronald menepuk bahunya pelan. “Itu kekuatan sejati, Tuan Wira. Saya tidak tahu apa yang akan Anda lakukan dengan kekuatan itu. Tapi saya yakin, pria seperti Anda akan menggunakannya untuk melindungi, bukan? Hahaha...”
Tiba-tiba, Silvana muncul, menyilangkan tangannya sambil bersandar di pintu pagar dekat mereka. “Tuan Wira, sepertinya kau satu-satunya yang bersantai, ya?” katanya dengan nada menggoda.
Pak Ronald menoleh, menegurnya dengan lembut. “Silvana, jangan berkata seperti itu. Dia tamu kita.”
Silvana tersenyum, mendekati mereka. “Baiklah, baiklah. Tapi aku penasaran, kau punya teman-teman yang luar biasa. Jadi, apa kehebatanmu, Tuan Alain Delon?”
Wira tertawa kecil mendengar julukan itu. “Aku? Tidak ada. Aku tidak punya keahlian apa-apa.”
Silvana mengangkat alis, terlihat skeptis. “Serius?”
Wira menghela napas sambil tersenyum kecil. “Silvana, bisakah kau temani aku jalan-jalan ke pemakaman yang kau tunjuk kemarin?”
Pak Ronald mengangguk setuju. “Antarlah Tuan Wira, Sil.”
Silvana hanya mengangguk tanpa berkata banyak, lalu mulai berjalan di depan, memandu Wira ke pemakaman.
Malam telah tiba, dan camp Arcadia dipenuhi dengan suasana sukacita. Seluruh penduduk berkumpul di tengah camp untuk memberikan penghormatan kepada Wira dan timnya. Pak Ronald berdiri di tengah lingkaran, dikelilingi oleh obor yang menerangi malam. Ia mengangkat tangannya, dan suara gemuruh obrolan mulai mereda.
“Terima kasih kepada Wira dan kawan-kawannya,” kata Pak Ronald dengan nada tulus. “Mereka datang dan dengan kemampuan mereka, membantu kita di masa-masa sulit ini. Semoga Tuhan memberkati kalian selalu, mempermudah perjalanan kalian, dan menjaga kalian dari segala mara bahaya. Sekarang, semuanya, mari kita ucapkan terima kasih bersama-sama!”
“Terima kasih!” teriak semua penduduk serentak, suaranya menggema di seluruh camp.
Pak Ronald tersenyum lebar. “Baiklah, mari kita mulai acaranya!”
Perayaan dimulai dengan nyanyian tradisional dan tarian sederhana dari beberapa anak muda di camp. Penduduk lainnya mengisi piring-piring dengan daging hasil buruan hari itu. Aroma daging yang dibakar memenuhi udara, menggugah selera siapa saja yang hadir.
Wira, yang duduk di samping Ronald, mengerutkan kening. Ia mendekatkan tubuhnya sedikit ke arah pria tua itu. “Hei, ini berlebihan. Kami hanya mengajari kalian sedikit, tapi kalian malah menggunakan daging yang harusnya kalian simpan.”
Pak Ronald tertawa kecil, menepuk pundak Wira. “Hahaha, jangan khawatir. Berkat kalian, kami yakin bisa mendapatkan lebih banyak di masa depan.”
Wira menghela napas panjang, menyerah pada optimisme Ronald. Ia memperhatikan tarian di depannya dengan santai, ketika tiba-tiba Silvana muncul dari sisi kanannya.
“Ayo, Wira! Menari bersama kami!” katanya dengan nada penuh semangat.
Wira langsung memasang wajah malas. “Tidak usah. Aku terlalu jago untuk menari. Nanti aku mencuri panggung kalian.”
Silvana malah tertawa keras, lalu tanpa basa-basi menarik tangannya. “Baguslah! Kalau begitu, ayo!”
“Hei, tunggu—!” Wira berusaha memberontak, tetapi Silvana lebih kuat dari yang ia duga. Ia terpaksa berdiri di tengah lingkaran. Gerakannya kaku, dan beberapa orang yang menonton tertawa kecil, termasuk Flora dan Nora.
Di sisi lain, Farah memperhatikan seorang wanita yang tampak kesulitan mengiris daging. Dengan ragu, ia berjalan mendekat. “Kak... boleh aku bantu?”
Wanita itu menoleh dan tersenyum lembut. “Ah, terima kasih, tapi tidak perlu, nona kecil. Kau bisa terluka.”
Farah menggeleng kecil. “Tidak apa-apa, Kak. Aku sudah terbiasa.”
Akhirnya, wanita itu mengizinkan Farah duduk di sebelahnya. Farah mengambil pisau dan mulai mengiris daging dengan hati-hati. Namun, ketika suara ledakan dari api unggun terdengar, Farah terkejut. Pisau di tangannya tergelincir, melukai jari telunjuknya.
“Ah...” gumam Farah pelan, menatap darah yang mulai mengalir dari lukanya.
Wanita itu segera mendekat. “Apa kau tidak apa-apa?!” tanyanya dengan nada cemas, mencoba meraih tangan Farah.
Namun, yang dilihatnya membuat matanya melebar. Luka di jari Farah perlahan mulai menutup dengan sendirinya, meninggalkan kulit yang mulus seolah tidak pernah terluka.
“K-kau...” Wanita itu terkejut, melangkah mundur. Ia lalu berteriak dengan keras, “AWAS! ADA RUO!”
Suasana perayaan langsung berubah. Keramaian berubah menjadi kepanikan. Para penduduk camp segera berlari menjauh dari Farah, beberapa dari mereka memegang senjata seadanya.
Farah sendiri kebingungan, matanya mulai basah. “Aku... aku tidak tahu... Apa yang terjadi padaku?”
Seorang pria yang bertugas menjaga keamanan segera mengarahkan senjatanya. “Semua orang! Bidik dia!”
Pak Rama berlari ke depan, melindungi putrinya. “Tunggu! Jangan tembak!”
Nora juga maju, berdiri di depan Farah. “Dia bukan Ruo! Jangan tembak dia!”
Diikuti oleh Bima, Rizki, Flora, dan bahkan Meyrin yang ketakutan namun tetap berdiri di belakang Nora. Namun, Wira yang terakhir maju, berdiri paling depan dengan tubuh tegap, menghadapi semua senjata yang diarahkan.
“Jangan tembak gadis itu!” perintah Wira dengan nada tegas.
Pak Ronald dan Silvana mendekat dengan ekspresi bingung dan cemas. Pak Ronald menatap Wira curiga. “Tuan Wira... Siapakah kalian sebenarnya?”
Wira menoleh ke penjaga bersenjata, mendecak kecil. “Hei, kau. Itu senapan tanpa peluru, kan? Tidak usah menggertak.”
Penjaga itu mengarahkan senjatanya ke langit dan menarik pelatuk. “DOR!” Suara tembakan memecah keheningan.
“30 peluru cukup, kan?” katanya dingin.
Wira terdiam, wajahnya kini serius. Suasana camp berubah sepenuhnya. Tidak ada lagi tawa atau nyanyian—hanya ketegangan yang mencekam.
Seorang penduduk camp berteriak, “Lalu kenapa kalian membawa Ruo ke sini?”
Nora berteriak balik, “Dia bukan Ruo! Dia manusia!”
Penduduk itu melawan. “Lalu kenapa lukanya bisa sembuh sendiri?! Itu tidak masuk akal!”
Pak Ronald, yang kini terlihat lebih waspada, menatap Wira dengan tajam. “Tuan Wira, demi keamanan camp kami, saya tidak bisa membiarkan kalian bebas berkeliaran.”
Pak Ronald memberi isyarat kepada penjaga-penjaga camp. “Masukkan mereka ke tahanan bawah tanah. Pastikan mereka tidak keluar.”
Wira dan timnya hanya bisa pasrah saat mereka digiring ke ruang tahanan. Silvana menatap Wira dan timnya dengan ekspresi penuh kekhawatiran, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa.
Kini, Wira dan timnya dikurung, suasana penuh ketegangan menyelimuti hati mereka.
Ruangan bawah tanah itu dingin dan pengap, dengan aroma lembab yang menusuk hidung. Dinding-dindingnya terbuat dari batu kasar, sebagian sudah berlumut, sementara jeruji besi tua membatasi Wira dan timnya dari kebebasan. Empat penjaga bersenjata berdiri berjaga di dekat pintu keluar, mata mereka waspada, meskipun beberapa terlihat gelisah. Di sudut ruangan, Farah duduk menangis pelan, sementara Meyrin memeluknya erat, berusaha menghibur meski dirinya sendiri gemetar ketakutan.
Wira duduk di lantai, punggungnya bersandar pada jeruji. Matanya tajam, tetapi bibirnya menggigit jari, tanda bahwa pikirannya sedang berpacu. Bima duduk tak jauh darinya, wajahnya serius, seolah menunggu instruksi.
"Jadi, apa rencana kita?" bisik Bima pelan, hanya cukup keras untuk didengar Wira.
Wira menghela napas panjang sebelum menjawab dengan suara rendah, "Cepat atau lambat, Ruo akan datang."
Bima menatap Wira, bingung sekaligus cemas. "Kenapa kau yakin, Wira?"
"Kejadian tadi pasti memicu ketakutan di seluruh camp. Ruo merasakan ketakutan, ingat? Ketakutan adalah undangan bagi mereka. Jika kita tetap di sini, kita akan mati terkepung. Dan lebih buruk lagi..." Wira berhenti, pandangannya melayang ke Farah yang masih menangis. "Mereka akan mengubah semua orang di camp ini."
Bima mengepalkan tinjunya, wajahnya tegang. "Sial, ini gawat."
Wira menatap penjaga di luar jeruji dan mencoba pendekatan lain. Ia berdiri, menatap salah satu penjaga sambil berkata, "Hei, aku perlu kencing. Biarkan aku keluar."
Penjaga itu bahkan tidak menoleh. "Kencinglah di situ. Aku tidak peduli."
Wira mengumpat dalam hati, menggigit jarinya lebih keras. Ia kembali duduk, jelas frustrasi. "Bodoh. Aku membuat kesalahan besar tadi. Aku terlalu panik."
Beberapa jam berlalu. Suasana semakin tegang. Rizki, yang biasanya tenang, kini tidak bisa menyembunyikan rasa gelisahnya. "Sampai kapan kita akan ditahan seperti ini?"
Langkah berat mendekat dari arah tangga. Semua orang menoleh. Dari kegelapan, Pak Ronald muncul, diiringi dua penjaga tambahan. Ia berhenti di depan jeruji, memandangi mereka dengan tatapan dingin.
"Siapa kalian sebenarnya?" tanya Ronald, suaranya berat dan penuh curiga.
Wira melangkah maju, berdiri di depan jeruji. "Kami jujur, Pak Ronald. Kami hanya survivor yang ingin menuju Kota Cakra."
"Kalau begitu, kenapa kalian membawa Ruo?" Ronald memotong dengan nada tajam, matanya menusuk Wira.
Nora, yang sejak tadi duduk diam, berdiri. Suaranya bergetar tetapi penuh keyakinan. "Dia bukan Ruo, Pak Ronald. Dia manusia! Lihatlah, apakah Ruo bisa menangis seperti itu?"
Ronald tidak bergeming. "Kalau begitu, jelaskan kenapa dia bisa beregenerasi seperti Ruo?"
Ruangan itu terasa semakin dingin. Hening yang mencekam menyelimuti mereka semua. Nora membuka mulut, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Ia terdiam, tak tahu harus menjawab apa.
Ronald menghela napas berat. "Cukup. Aku sudah mendengar cukup banyak." Ia berbalik, bersiap pergi.
"Siapa peduli?" Wira berbicara tiba-tiba, suaranya rendah tetapi cukup keras untuk menghentikan langkah Ronald.
Ronald menoleh, alisnya berkerut. "Apa?"
Wira melangkah lebih dekat ke jeruji, menatap Ronald dengan sorot mata yang tajam. "Siapa peduli dia manusia atau monster? Gadis itu adalah orangku. Mau bagaimanapun keadaannya, aku akan melindunginya."
Ronald mendekat kembali, tatapannya dingin. "Dan kau pikir aku tidak berusaha melindungi orang-orangku, Tuan Wira? Kau pikir aku bisa membahayakan mereka hanya karena belas kasihan?"
Wira mendengus, tetapi wajahnya tetap serius. "Menentukan siapa yang monster hanya dari kemampuan regenerasinya adalah kekonyolan, Pak Ronald. Kau sudah hidup lebih lama dariku. Kau pasti sudah bertemu banyak monster sebelum Ruo datang, bukan?"
Kata-kata Wira membuat Ronald terdiam. Tatapannya berubah, kini lebih ragu daripada dingin.
Wira melanjutkan, suaranya lebih tegas. "Pak Ronald, dengarkan aku baik-baik. Ketakutan karena kejadian tadi akan menarik perhatian Ruo. Lokasi camp ini sudah tidak aman. Aku bisa membantu melindungi kalian, tetapi aku tidak bisa melakukannya dari balik jeruji."
Ronald menatap Wira lama. Akhirnya, ia menghela napas panjang. "Kau minta aku mempercayaimu, tetapi aku tidak punya alasan untuk itu."
Ronald berbalik tanpa mengatakan apa-apa lagi, meninggalkan ruangan dengan langkah berat.
Wira memukul jeruji dengan frustrasi. "Sial!"
Nora mendekati Wira, meletakkan tangan di pundaknya. "Wira... kita akan menemukan cara. Aku yakin kau bisa."
Wira menatap Nora, tetapi tidak menjawab. Dalam hatinya, ia tahu mereka harus keluar sebelum semuanya terlambat.
Di sudut ruangan, Farah yang kini terdiam tiba-tiba mengangkat kepala. Ia menatap Wira, matanya masih berlinang air mata tetapi kini ada secercah harapan di dalamnya
Malam yang tenang mendadak berubah menjadi penuh dengan suara teriakan dan langkah-langkah berat yang mengguncang tanah. Camp Arcadia yang seharusnya menjadi tempat perlindungan, kini seakan menjadi saksi dari kehancuran yang mengintai setiap sudutnya. Teriakan-teriakan itu semakin mendekat, dan suasana semakin mencekam. Orang-orang berlarian ke sana kemari, ketakutan, tidak tahu apa yang harus dilakukan.
“Tiga penjaga, cepat ke sini! Ada serangan Ruo!” suara teriakan menggema di sekitar camp.
Wira yang mendengar itu segera berdiri, matanya menajamkan fokus. Pikirannya berpacu, mencari strategi terbaik untuk bertahan. Ia memandang Farah yang terisak di sudut ruangan, wajahnya penuh kecemasan dan ketakutan. Wira tahu apa yang harus dilakukan. Di dalam kepalanya, ia berpikir cepat, Jika dia bisa beregenerasi seperti Ruo, maka... Wira mendekat ke Farah dengan langkah cepat.
“Farah, kita butuh kau sekarang! Kita harus keluar dari sini, jika tidak semua orang, termasuk ayahmu, akan mati!” ujar Wira, suaranya rendah namun penuh urgensi.
Farah menatapnya, matanya basah oleh air mata. “T-tapi... bagaimana caranya, Kak Wira? Semua ini salahku...” suara Farah gemetar.
Wira memegang kedua pundak Farah dengan lembut namun tegas. “Tidak, ini bukan salahmu. Kau masih bisa melindungi kita. Kita akan keluar, dan kita akan melawan bersama.”
“Tapi... bagaimana? Aku tidak punya kekuatan. Aku hanya seorang gadis kecil...” Farah menggigit bibirnya, cemas.
Wira melihat sekeliling. Situasinya semakin genting. “Kau harus melakukannya, Farah. Itu gembok di sana, kau harus menghancurkannya. Tarik sekuat tenaga. Jika kita tidak keluar sekarang, semua orang akan mati.”
“Tapi ini besi! Aku tidak akan bisa!” Farah berkata, ketakutan.
Wira menggenggam tangan Farah dan menatapnya dengan penuh keyakinan. “Kau bisa. Kalau tidak, ayahmu akan mati, Farah. Ini bukan pilihan. Ini keharusan!!”
Farah melihat Wira, mendalami matanya yang penuh harapan. Tanpa berkata lagi, ia bergegas menuju gembok besar yang mengunci pintu. Dengan tangan gemetar, Farah menggenggam gembok itu, menariknya dengan seluruh kekuatannya. Wira dan Pak Rama memberikan dorongan, menunggu dengan tegang.
“TRANGG!!” Suara keras terdengar, gembok itu hancur berantakan.
Pintu penjara terbuka. Wira segera menendang pintu itu, dan Bima langsung melumpuhkan salah satu penjaga dengan pukulan cepat. “Ayo keluar!” teriak Wira, memberi perintah dengan tegas.
Mereka semua berlari keluar, dan apa yang mereka lihat adalah kehancuran. Camp yang tadi sepi, kini penuh dengan kekacauan. Orang-orang berlarian, terjebak dalam ketakutan yang melanda seluruh camp. Api unggun yang tadinya menyala terang kini tampak redup, dengan bayangan-bayangan mengerikan yang berlarian.
Wira segera memberi instruksi. “Bima, ambil granatnya! Yang lain, ikuti aku! Tetap bersama dan cari Pak Ronald!”
Mereka semua berlari, memecah kerumunan, mencari jalan keluar. Namun, apa yang mereka lihat di depan membuat mereka terhenti. Seekor Ruo berdiri tegak di dekat api unggun, matanya merah menyala. Tubuh logamnya berkilauan, tak terpengaruh oleh tembakan apapun yang diarahkan padanya. Beberapa orang dengan senapan menembakinya, namun peluru mereka hanya memantul seperti kerikil.
Pak Ronald dan Silvana terlihat di sisi lain camp, mencoba menenangkan orang-orang yang ketakutan. Wira segera menghampiri mereka, wajahnya serius dan penuh tekad.
“Pak Ronald!” teriak Wira.
Ronald menoleh, wajahnya cemas. “Kalian?”
Wira segera berbicara, memberi instruksi dengan tegas. “Pak, kumpulkan semua orang ke satu tempat! Jangan biarkan mereka terpencar. Kalau mereka terpisah, situasi ini akan semakin buruk.”
Ronald terdiam, tampaknya bingung. Namun, Wira tidak memberi ruang untuk ragu. “Sekarang aku ada di sini. Artinya, aku adalah orangmu, dan kau adalah orangku. Mari kita lindungi mereka bersama-sama!”
Ronald akhirnya mengangguk, dan segera memberi perintah kepada semua orang untuk berlari ke arah gerbang belakang, yang mengarah ke timur.
“Semua ke arah timur!” teriak Ronald.
Mereka berlari menuju gerbang timur, namun Ruo itu masih mengejar mereka, mendekat dengan langkah berat dan mengancam. Wira tahu ini adalah kesempatan terakhir mereka.
“Lemparkan semua yang kalian punya!” teriak Wira. “Semua barang, semua yang ada, lemparkan ke arah Ruo untuk memperlambat gerakannya!”
Orang-orang dengan panik mulai melemparkan batu, kayu, dan obor ke arah Ruo. Namun, itu semua tidak berpengaruh. Ruo itu masih terus mendekat.
Mereka sampai di ujung gerbang timur, dan tak ada lagi jalan keluar. Hanya ada dinding pohon dan hutan di sekeliling mereka. Ruo itu melambat, dan kini berdiri di hadapan mereka, matanya menyala merah. Semua orang terdiam, hanya terdengar isakan dan doa dari mereka yang tak tahu apa yang harus dilakukan.
Wira maju ke depan, berdiri tegak di hadapan Ruo, matanya penuh tekad. Suaranya menggema dengan penuh keberanian, “APAKAH KALIAN MENYERAH?! APAKAH KALIAN HANYA AKAN PASRAH?! KEKUATAN ADA PADA KEBERANIAN! TEGAKKAN KEPALA KALIAN, BUKA MATA KALIAN, DAN SAKSIKANLAH KEKUATAN KEYAKINAN! SEKARANG, BIMA!!”
Bima, yang bersembunyi di belakang Ruo, melemparkan granat kriogenik yang meledak tepat di punggung Ruo. “CRESSS!!”
Ruo itu membeku dalam sekejap. Wira melangkah maju, memungut batu besar dan mulai memukul kepala Ruo hingga hancur. “BUK! BUK! BUK! BUK!” setiap pukulan mengguncang tubuh Ruo yang sudah beku.
Orang-orang di sekitar memandang dengan mata terbelalak. Mereka melihat dengan takjub pada Wira yang berdiri di atas tubuh Ruo yang hancur. Sorakan kegembiraan meledak dari kerumunan. Ronald dan Silvana menatap Wira dengan harapan yang baru, seolah pria itu adalah pahlawan yang mereka tunggu-tunggu.
Namun, kebahagiaan itu hanya sejenak. Tiba-tiba, di tengah kegembiraan, sebuah teriakan terdengar.
Pak Rama, yang terpisah dari kerumunan, terangkat ke udara. Lehernya dicekik oleh tangan logam yang kuat, tubuhnya tergantung di udara dengan satu tangan.
Wira terkejut. “SEMUANYA MENJAUH!” ia teriak, tetapi matanya sudah terfokus pada Pak Rama yang tergantung di udara. Tanpa berpikir panjang, Wira meraih granat kriogenik terakhirnya, bersiap melemparkannya. Tapi, ia berhenti, matanya terbelalak. “Jika aku melempar, ini akan mengenai Pak Rama! Sialan!”
Sebelum Wira bisa bergerak lebih jauh, seorang sosok muncul di antara mereka. Farah.
Dengan tangan kanannya yang telah berubah menjadi logam, ia melompat dan memukul Ruo itu hingga terlempar jauh. Farah berdiri di atas tubuh Ruo dengan mata menyala, tangan kanannya terangkat tinggi.
“Farah!” Wira terkejut melihatnya.
Farah menatapnya dengan penuh tekad. “Akan kulindungi ayahku!”
Farah dan Ruo itu terlibat dalam pertarungan sengit. Mereka saling bertukar pukulan yang begitu keras hingga tanah di sekitar mereka bergetar, mereka saling melukai dan saling beregenerasi. Farah, meski baru pertama kali menghadapinya, melawan dengan semua kekuatannya. Namun, luka-luka yang ia terima mulai memperlambat regenerasinya.
“Farah!” Wira teriak. “Hancurkan kepalanya! Itu satu-satunya cara untuk mengalahkannya!”
dengan teriakan penuh amarah, Farah mencabut kepala Ruo itu dengan satu gerakan kuat. Suara krak keras terdengar ketika kepala Ruo terlepas dari tubuhnya, dan tubuh yang keras itu langsung jatuh ke tanah dengan gemuruh.
Keheningan menyelimuti camp sejenak. Semua orang yang semula terperangah menyaksikan pertarungan sengit, kini terdiam, mencerna apa yang baru saja mereka lihat. Farah berdiri di atas tubuh Ruo yang sudah hancur, napasnya berat, dan tangan logamnya masih terangkat, dengan kepala monster itu tergenggam erat di tangan kirinya. Wira, yang sejak awal memantau pertempuran itu, merasa haru sekaligus terkejut. Ia belum pernah melihat Farah bertarung seperti itu, dan untuk pertama kalinya, ia melihatnya sebagai sosok yang jauh lebih kuat daripada yang ia bayangkan.
“Kita menang!” Wira berteriak, suaranya menggema dengan penuh kebanggaan dan semangat. Teriakan itu seperti gelombang yang menyebar ke seluruh camp, memberi energi baru bagi setiap orang yang sebelumnya tenggelam dalam ketakutan dan keputusasaan.
Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu, dari Ronald, Silvana, hingga penduduk lainnya, perlahan-lahan mengangkat kepala mereka. Mereka yang sebelumnya hanya bisa menangis dalam ketakutan kini melihat sebuah pemandangan yang membuat mereka percaya bahwa mungkin, hanya mungkin, mereka bisa bertahan. Di hadapan mereka berdiri Farah, gadis kecil yang baru saja menunjukkan kepada mereka bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari yang mereka kira. Kekutan harapan. Kekutan manusia.
Ronald yang terdiam beberapa saat akhirnya mengangkat suaranya, matanya penuh dengan kepercayaan yang baru. "Kalian... kalian benar-benar pahlawan. Tidak ada yang pernah menunjukkan keberanian seperti itu sebelumnya."
Silvana, yang masih tertegun oleh kejadian itu, mengusap matanya yang penuh air mata. "Farah... kamu benar-benar luar biasa..." kata-katanya terhenti, seperti tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Wira mendekat ke Farah, senyum bangga terlukis di wajahnya. "Kau luar biasa, Farah. Kau baru saja menyelamatkan semua orang di sini."
Farah, meskipun masih kelelahan, tersenyum tipis. "Aku... aku hanya ingin melindungi mereka, Kak Wira. Terima kasih sudah mengajarkan aku untuk berani."
Sekelompok orang di sekitar mereka mulai bersorak, kegembiraan dan rasa terima kasih memenuhi udara. Mereka akhirnya merasa ada harapan. Mereka tahu, meskipun dunia ini penuh dengan kegelapan dan ketakutan, ada cahaya yang bisa mereka raih. Dan cahaya itu datang dari keberanian, dari tekad untuk melindungi yang mereka cintai.
Pak Ronald mendekat, matanya penuh penghargaan dan rasa terima kasih. "Kami berhutang nyawa kepada kalian. Terima kasih... karena kalian telah memberi kami harapan yang kami pikir sudah hilang."
Wira menatap Ronald dengan senyum penuh keyakinan. "Ini bukan hanya kami. Semua orang di sini berjuang. Kalian semua berjuang. Hari ini, kita buktikan bahwa kita bisa mengalahkan ketakutan. Kita bisa bertahan."
Suasana camp yang sebelumnya penuh dengan kecemasan dan tangisan kini berubah menjadi penuh sorak sorai. Mereka semua mulai saling membantu, saling mendukung. Wira dan Farah berdiri bersama, menjadi simbol harapan dan kekuatan yang tak tergoyahkan. Mereka telah mengalahkan Ruo dan membuktikan bahwa meskipun dunia ini hancur, keberanian manusia untuk bertahan hidup, untuk melindungi orang yang mereka cintai, tidak akan pernah padam.
Keberanian Farah menjadi api yang membakar semangat baru, dan Wira, sebagai orang yang selalu berjuang di balik layar, merasa bahwa harapan itu kini lebih nyata daripada sebelumnya. Mereka tidak hanya bertahan untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk setiap orang yang ada di sekitar mereka.