~Jingga melambangkan keindahan dan kesempurnaan tanpa celah ~
Cerita ini mengisahkan tentang kehidupan cinta Jingga. Seorang yang rela menjadi pengantin pengganti untuk majikannya, yang menghilang saat acara sakral. Ia memasuki gerbang pernikahan tanpa membawa cinta ataupun berharap di cintai.
Jingga menerima pernikahan ini, tanpa di beri kesempatan untuk memberikan jawaban, atas penolakan atau penerimaannya.
Beberapa saat setelah pernikahan, Jingga sudah di hadapkan dengan sikap kasar dan dingin suaminya, yang secara terang-terangan menolak kehadirannya.
"Jangan harap kamu bisa bahagia, akan aku pastikan kamu menderita sepanjang mejalani pernikahan ini"~ Fajar.
Akankah Jingga nan indah, mampu menjemput dinginnya sang Fajar? layaknya ombak yang berguling, menari-nari menjemput pasir putih di tepi pantai.
Temukan jawabannya hanya di kisah Jingga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rengganis Fitriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sulit Di Mengrti
Sesuai dengan yang di katakan Oma, beberapa saat kemudian satu tim arsitek sudah sampai di kediaman mereka. Mereka beranggotakan tiga orang, dengan dua di antaranya laki-laki dan satu perempuan.
Oma membawa ketiga arsitek tersebut untuk melihat kondisi taman yang akan di renof. Rupanya di sana sudah ada Jingga, Fajar berikut Pak Angga dan Bu Nadin.
“Jingga, saya tidak mau tahu, lusa taman di sini harus selesai proses pembuatannya!”. Ucap Oma yang turut hadir berbicara dengan ketiga arsitek tersebut.
”Baik Nyonya Oma”. Ia menunduk sebagai rasa hormat pada Omanya.
“Sepertinya akan menarik jika kamu mengerjakannya dengan Fajar”. Ia tersenyum, bersamaan dengan wajah yang mendongak menatap ke atas.
“Jika lusa kamu tidak bisa menyelesaikan pembuatan taman ini, kamu dan Fajar akan mendapat hukuman dari saya!”. Tukasnya kembali dengan melihat Jingga dan Fajar secara bergantian.
Mata Fajar membelalak sempurna, mendengar rangkain kalimat yang di katakan Omanya.
“Oma, bagaimana bisa Fajar juga harus terlibat dalam hal ini. Fajar sibuk Oma, masih banyak pekerjaan yang harus Fajar selesaikan. Fajar tidak bisa meninggalkan begitu saja”. Fajar menatap iba pada Omanya, berharap dapat lepas dari permintaan konyol ini.
“Angga, apa benar yang di katakan anakmu?”.
“Fajar adalah anak pemilik perusahaan Ma, jadi dia bisa mengambil ijin semau yang ia minta. Bahkan jika Fajar meminta izin untuk berbulan madu dalam waktu yang lama, dengan senang hati aku akan mengizinkannya”. Jawab Pak Angga dengan tersenyum.
“Sepertinya saya berubah pikiran. Saya ingin melihat kreativitas kalian berdua bagaimana. Saya rasa tidak perlu menggunakan jasa arsitek. Kalian berdua harus bisa melakukannya sendiri”. Tangan Oma menunjuk wajah Fajar dan Jingga secara bergantian.
“Nyonya Oma, lantas bagiamana dengan para arsitek yang sudah datang ke mari?”. Jingga berkata pelan, dengan menunduk tak berani menatap Omanya.
“Tenang saya akan tetap membayar kalian, bahkan akan memberikan bonus tanpa harus bekerja. Saya ingin melihat mahakarya cucu saya”. Oma menatap pada ketiga arsitek yang ada di depannya. Alih-alih menjawab pertanyaan Jingga, Oma lebih memilih untuk menjawab secara langsung pada yang bersangkutan.
“Silahkan kalian pulang saja, nanti urusan pembayaran biar asisten pribadi saya yang melakukannya”. Titahnya kembali pada ketiga arsitek tersebut, tentu saja di sambut dengan senyum yang merekah pada wajah mereka. Mereka tidak harus repot-repot bekerja namun tetap menadapat gaji.
Hal ini berbanding terbalik dengan Fajar, ia mendengus kesal akan permintaan Omanya. Bagaimana bisa seorang Fajar, harus bergelut mengurus taman-taman bunga. Mana di kasih waktu cuma dua hari pula, di kira Bandung Bondowoso geramnya dalam hati.
“Fajar! Oma, tidak suka penolakan dalam alasan apapun, Oma tahu kamu sedang kesal, jadi laksanakan saja semua perintah Oma, dan tunggu satu lagi, tidak ada yang boleh membantu mereka berdua!”. Tukasnya dengan meninggalkan anak dan cucunya di taman samping rumah.
Fajar semakin menggerutu kesal, sementara Bu Nadin dan Pak Angga menahan tawa sekuat tenaga dan lekas berlalu meninggalkan mereka.
Calling...
Fajar memanggil Reza asisten pribadinya.
“Fajar, Oma sudah katakan kerjakan berdua, tanpa bantuan orang lain!”. Sarkas Oma ketika kakinya melangkah.
Aaaarrrgggg.
Fajar frustasi, ia menendang-nendang kursi yang ada di sebelahnya. Sementara Jingga, ia bingung harus berbuat apa. Ia memilih untuk menuju ke tengah taman mengamati beberapa tanaman di sana dan berfikir akan melakukan apa.
.
.
.
.
Hari Pertama.
Kini Fajar dan Jingga masih berada di taman belakang rumah besar Pak Angga. Fajar memang seorang yang pandai dalam berbisnis tapi urusan pertanaman dan bunga-bunga ia buta. Sepenuhnya ia tak tahu harus memulai dari mana.
Fajar lebih memilih untuk duduk di gazebo taman, membaringkan tubuhnya dan berteduh dari teriknya sinar matahari. Sementara Jingga, ia mulai menata dan memilah-milah beberapa tanaman yang masih bisa di gunakan dan harus di ganti.
Tangan mungilnya cukup lihai saling beradu, memisahkan vas-vas yang masih layak pakai dan harus di ganti. Ia juga mencatat kebutuhan apa saja yang harus di beli untuk mempercantik taman tersebut.
Beberapa saat kemudian ia datang menghampiri Fajar, dengan membawa secarik kertas dan memberikannya pada Fajar.
“Tuan, ini beberapa barang yang harus di beli”. Tangannya terulur menyerahkan daftar barang dan tanaman yang hendak di beli.
“Hanya ini saja?”, jawabnya ketika melihat hanya beberapa list barang yang tertera dalam kertas tersebut.
“Jika Tuan Fajar, memiliki konsep lainnya silahkan”. Serunya mencoba untuk berdiskusi dengan suaminya.
Hemmmm.
Jingga, menggeleng-gelengkan kepalanya, ia tak tahu maksud “Hem”, yang di katakan Fajar.
“Kapan belinya barang-barang ini?”. Tanya Fajar dengan malas.
“Ya sekarang Tuan Fajar, apa kita harus menunggu ayam berkokok terlebih dahulu baru beli?, yang ada taman ini tidak bisa jadi. Kita tidak punya seribu demit yang membantu”. Jawabnya dengan kesal.
Hanya ada satu demit yang membantu, itu pun malas-malasan rintih Jingga dalam hati. (demit sebutan lain dari mahkluk halus yang mengerikan dan menyebalkan).
“Ayo”. Fajar menyambar jaket yang ia gunakan sebagai alas kepalanya.
“Kemana? Tanya Jingga, dengan polosnya.
“Beli ini semua bodoh, kamu mau dapat hukuman dari Oma, kalau aku sih ogah. Tau kalau kamu”. Jawabnya dengan meninggalkan Jingga.
“Tuan tunggu....”. Ia berlari mengejar suaminya menuju mobil.
.
.
.
Pasar Kembang Surabaya.
Kini pasangan suami istri tersebut sudah berada di pasar kembang, mereka hendak membeli beberapa perlengkapan untuk membuat taman. Sepanjang perjalanan Fajar mengumpat kesal dengan semua ini.
“Tuan pertama kita membeli vas-vas bunga dulu”.
“Hem”. Jawab Fajar. Jingga memilih untuk diam dan berjalan lebih dulu dari pada berjalan dengan pohon pisang di sebelahnya.
“Kenapa kita tidak belanja di mall saja?”, satu kalimat yang kemudian membuka keheningan di antara mereka berdua.
“Tuan, akan lebih mudah ketika membeli di sini, selain itu harganya jauh lebih murah kita bisa menawar untuk mendapat harga yang paling cocok. Pilihannya juga banyak”.
“Kamu kira uangku tak cukup untuk membayar, hingga harus cari yang paling murah heh? Bahkan untuk membeli mall yang ada di sana pun aku sanggup”. Ucap Fajar kesal, dengan satu tangan yang menunjuk Mall yang berada di sebelah jalan.
“Tidak Tuan, tidak seperti itu”.
Kini mereka berdua melanjutkan langkahnya, dengan Fajar yang mengekor di belakang tubuh Jingga. Sedikit banyak ia juga tertegun dengan jawaban Jingga, jika ia masih memikirkan soal harga sebelum membeli sesuatu, tentu itu pikiran yang sangat baik sekali apa lagi ketika menjalankan bisnis.
Sampailah mereka di salah satu penjual vas bunga, terdapat banyak pilihan warna dan model di sana.
“Pak permisi saya mau vas yang model seperti ini, kira-kira berapa harganya?”, tanya Jingga pada salah satu penjual.
“Tidak, saya mau yang ini saja”, sela Fajar.
“Jadi mau yang ini apa ini?”. Tanya penjual menatap bingung.