🥈JUARA 2 YAAW S2 2024 🏆
Perceraian, selalu meninggalkan goresan luka, itulah yang Hilda rasakan ketika Aldy memilih mengakhiri bahtera mereka, dengan alasan tak pernah ada cinta di hatinya, dan demi sang wanita dari masa lalunya yang kini berstatus janda.
Kini, setelah 7 tahun berpisah, Aldy kembali di pertemukan dengan mantan istrinya, dalam sebuah tragedi kecelakaan.
Lantas, apakah hati Aldy akan goyah ketika kini Hilda sudah berbahagia dengan keluarga baru nya?
Dan, apakah Aldy akan merelakan begitu saja, darah dagingnya memanggil pria lain dengan sebutan "Ayah"?
Atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#13
#13
7 tahun kemudian.
Hilda menatap bayangan dirinya di sebuah cermin setinggi tubuh orang dewasa.
Gamis berwarna pastel, lengkap dengan hijab syar'i dengan warna senada menutupi kepala dan sebagian tubuhnya. Hilda memantapkan diri menutupi tubuhnya setelah menikah dengan Irfan, bukan karena paksaan Irfan atau Bu Ratih, melainkan demi menjalankan perintah Allah, yang belum sempat ia tunaikan setelah masa Aqil Baligh nya.
Banyak hal berlalu setelah tujuh tahun berlalu, termasuk kini Hilda telah kembali menyandang status sebagai istri, bukan istri dari Aqsa Rifaldy, melainkan istri dari Irfan Khalid El-Amin.
Bukan hal mudah bagi Hilda ketika memantapkan hati untuk kembali menerima pinangan. Terlebih pinangan itu datang dari Bu Ratih untuk Irfan putra satu-satunya, banyak hal yang ia pikirkan, termasuk diantaranya, statusnya yang sudah menjanda dengan seorang anak, sementara Irfan, belum pernah menikah. Tapi ketika Irfan sendiri mengatakan bahwa ia tak mempermasalahkan status janda nya, serta ia pun memang teramat menyayangi Ammar seperti putra kandungnya, maka dengan segenap kepasrahan Hilda mulai memperbanyak sholat istikharah serta sholat malam, Agar Allah menuntunnya pada keputusan paling tepat.
Alhamdulillah, setelah satu bulan lamanya memasrahkan segala sesuatunya pada sang pemilik alam semesta, Hilda pun memantapkan hati menerima pinangan Bu Ratih. Tak ada pesta mewah pada pernikahan kedua Hilda, karena Irfan pun tak suka hal-hal yang bersifat hura-hura, hanya pesta kecil yang mengundang para warga sekitar, serta beberapa kerabat Bu Ratih, tak lupa keluarga Almarhum Ayah Irfan, yang ada di kota Solo.
Kini kehidupan Hilda dan Irfan semakin lengkap, dengan kehadiran putra kedua mereka, Azam Rifqi El-Amin. Irfan benar-benar membuktikan perkataan nya, ia sama sekali tak pernah mengungkit status Hilda atau bahkan membedakan kasih sayangnya terhadap Ammar dan Azam. Keduanya ia sayangi dengan sepenuh hati, bahkan ia tak pernah absen melewatkan quality time bersama kedua putranya tersebut. Termasuk saat ini, Irfan bersama dengan Ammar dan Azam tengah pergi memancing, menuruti hobi kedua jagoan kecilnya.
Tak ada kata yang pantas Hilda ucapkan selain rasa syukur dan syukur setiap harinya. Karena Allah menghadirkan sosok suami yang sholeh dan sabar tiada batas, teduh pandangan, serta santun sikap dan perilakunya, dan yang terpenting Irfan sangat memuliakan Ibunya. Itulah yang membuat Hilda yakin bahwa Irfan adalah pria terbaik yang Allah kirimkan kepadanya.
“Bunda… Bunda… Bunda…” Suara riang sahut menyahut membuyarkan lamunan Hilda, siapa lagi jika bukan suara kedua putranya, Ammar dan Azam.
Hilda berbalik menuju pintu, guna menyambut kedua buah hatinya.
Tak lama kemudian kedua bocah lelaki tersebut pun berlari ke pelukan sang Bunda. “Bunda… tadi dapat ikan besar.” Lapor Azam.
“Oh iya?” Jawab Hilda antusias.
“Iya Bunda, Ayah bilang namanya ikan Gurame, nanti di bakar ya Bunda…” Kali ini si sulung yang mengusulkan olahan ikan.
“Boleh… sudah di kasihkan mbak Retno untuk di bersihkan ikannya?”
“Sudah Bunda…”
“Bagus, sekarang mandi dulu, bau amis ini… udah kayak bau ikan…” Gurau Hilda sembari menggelitik kedua bocah tersebut.
“Mau mandi sama Ayah?” Irfan yang baru saja masuk, bermaksud menawarkan jasa, namun terdiam kala melihat kedua bola mata sang istri melotot tajam.
Akhirnya ia hanya diam sembari mengulum senyuman. “Kalau mandi sama Ayah, mungkin nanti malam baru selesai.” Tuduh Hilda apa adanya.
“Baik Bunda, kami patuh pada perintah anda.” Gumam Irfan dengan suara pelan.
“Ya sudah, kalian ke kamar mandi dulu, Bunda mau menyiapkan pakaian Ayah.”
Ammar dan Azam segera berlari ke kamar masing-masing, sementara Hilda menyiapkan pakaian dan celana rumahan untuk sang suami.
“Galak amat si Ibu Negara.” Bisik Irfan sembari melingkarkan lengannya di pinggang Hilda.
“Galak demi kebaikan.” Jawab Hilda.
“Aku kan hanya ingin mengajari mereka menjadi lelaki sejati.” Irfan kembali protes.
“Ya dan mereka juga harus tahu, bahwa menjadi mandiri, juga sikap seorang pria sejati.” Lagi-lagi Hilda menjawab dengan tegas.
Irfan melempar senyuman, dan dari pantulan cermin, Hilda melihat ada cinta dalam tatapan suaminya. “Kami para pria bisa apa tanpa seorang wanita, terima kasih sudah menjadi wanita hebat dalam kehidupan kami.”
“Aku pun tak bisa menjadi sempurna tanpa kehadiranmu, Mas. Terima kasih telah menerimaku yang apa adanya ini.” Balas Hilda.
Setelah mencium sekilas pipi sang Istri, Irfan pun pergi ke kamar mandi.
.
.
2 jam kemudian, keluarga kecil itu sudah berkumpul di meja makan, lengkap dengan kehadiran Bu Ratih.
Selalu ada canda tawa disana, riuh cerita Ammar dan Azam mengenai hari mereka di sekolah. Terutama si kecil Azam yang baru 2 bulan ini di bangku Taman Kanak-Kanak.
“Oh iya, kemarin adek gambar beruang, tapi kata Bu Guru, beruangnya terlalu kecil.” keluh Azam.
“Oh ya udah, besok-besok gambar beruang yang besar.” Timpal sang Eyang.
“Gak bisa Yang, kan Mas Ammar baru ngajarin gambar beruang kecil.” Keluh Azam,
“Iya… nanti Mas ajarin bikin beruang besar.” jawab Ammar.
“Bener ya, Mas?” Azam memastikan.
Ammar mengangguk, seperti halnya Ayah kandungnya, Ammar memiliki bakat alami menuangkan imajinasi dalam sebuah gambar. Hanya saja Aldy tak menekuni bakat alaminya tersebut, ia justru menempuh pendidikan di bidang ekonomi dan terakhir yang Hilda tahu, Aldy bekerja di sebuah Bank, dengan jabatan Manager Keuangan.
“Waaahh … kapan-kapan boleh dong Ayah sama Bunda di lukis?”
“Nanti lah… pasti aku buat lukisan indah untuk Ayah sama Bunda.” Janji Ammar.
“Eyang?”
“Eyang juga, bertiga yah sama Ayah Bunda.”
“Janji loh, Eyang tunggu pokoknya.”
Ammar mengangguk sembari mengacungkan jempolnya, karena mulutnya penuh mengunyah ikan bakar buatan sang Bunda.
Irfan tersenyum bangga menatap putra sambungnya tersebut, diusapnya kepala dan rambut Ammar sebagai tanda bahwa ia sangat bangga karena berhasil mendidik dan menyayangi Ammar hingga saat ini, hingga akhir hayatnya nanti.
Kita tinggalkan sejenak keluarga kecil Hilda dan Irfan.
Nun jauh di Jakarta, di sebuah rumah mewah tempat tinggal keluarga besar Aldy.
Yah … kini Aldy kembali tinggal di rumah besar milik orang tuanya. Beberapa tahun yang lalu, Bank tempat Aldy bekerja mengalami krisis, sehingga semua karyawan dirumahkan.
Dalam kondisi terjepit, rumah masih cicilan, kehilangan pekerjaan, serta bayi dalam kandungan Widya dalam posisi melintang, hingga diperlukan tindakan operasi. Maka keputusan terbaik adalah kembali ke rumah kedua orangtuanya.
Srek… srek… srek…
Aldy menarik resleting kopernya, ia harus pergi mengunjungi cabang anak perusahaan di Yogyakarta. Dan seperti biasa pula, Widya akan sensitif begitu mendengar kota Yogyakarta disebut-sebut.
Widya meletakkan beberapa pernak-pernik pekerjaan, serta beberapa dokumen yang akan Aldy bawa ke Yogyakarta.
Wajahnya muram, tanpa senyuman, padahal biasanya ia cerewet dan selalu tersenyum di depan suaminya. Karena 7 tahun ini selepas kelahiran putri pertama mereka, Aldy berubah menjadi suami yang penuh perhatian serta Ayah yang penyayang bagi Revalina.
“Bagaimana bisa aku melangkah pergi, jika wajahmu muram begini?”
“Mas pastinya tahu kenapa wajahku muram.”
Aldy mendudukkan dirinya di sisi Widya. Digenggamnya tangan mulus sang istri, “7 tahun sudah berlalu Wie… apa kamu masih belum bisa mempercayai ku? Sudah ku berikan cintaku padamu dan anak kita, bahkan aku mengingkari sumpah ku untuk -tak kembali ke rumah orang tuaku- semua demi kamu dan anak kita, agar kalian tetap bisa hidup nyaman dengan segala fasilitas. Apakah itu masih kurang?”
Air mata Widya berlinang, yah… semua yang Aldy katakan benar adanya, ia tak meragukan semua yang sudah Aldy berikan untuknya juga Revalina. Tapi hatinya masih terasa getir, ketika menyadari bahwa Aldy masih mengirimkan sejumlah nominal untuk Hilda setiap bulannya, dan kini mulai ketar-ketir karena rencananya Aldy akan berada di Yogyakarta selama dua minggu.
andai..andai.. dan andai sj otakmu skrg