Terlahir dari orang tua yang membenci dirinya sejak kecil, Embun Sanubari tumbuh menjadi laki-laki yang pendiam. Di balik sifat lembut dan wajah tampannya, tersimpan begitu banyak rasa sakit di hatinya.
Ia tak pernah bisa mengambil pilihannya sendiri sepanjang hidup lantaran belenggu sang ayah. Hingga saat ia memasuki usia dewasa, sang ayah menjodohkannya dengan gadis yang tak pernah ia temui sebelumnya.
Ia tak akan pernah menyangka bahwa Rembulan Saraswati Sanasesa, istrinya yang angkuh dan misterius itu akan memberikan begitu banyak kejutan di sepanjang hidupnya. Embun Sanubari yang sebelumnya menjalani hidup layaknya boneka, mulai merasakan gelenyar perasaan aneh yang dinamakan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dzataasabrn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Friendzone Detected
Hari ini merupakan hari yang paling ditunggu-tunggu oleh seluruh siswa kelas 12 SMA Budi Luhur, lantaran pada akhirnya mereka bisa melangsungkan sesi pemotretan untuk album kenangan yang nantinya akan dibagikan tepat di hari wisuda mereka. Persiapan demi persiapan yang telah direncanakan dengan matang oleh masing-masing kelas sejak beberapa bulan belakangan pun mulai menampakkan hasilnya. Terlihat jelas dari betapa unik, menarik, serta meriahnya konsep yang diusung oleh masing-masing kelas.
Di antara seluruh siswa yang sibuk berkutat dengan segala hingar bingar dan euforia kelulusan, Sanu ialah salah satunya. Meski sama excited-nya dengan yang lain, sosok siswa laki-laki pendiam, kaku, dan sopan itu terlihat sangat santai dan tak terlalu ambil pusing dengan segala persiapan yang seharusnya ia lakukan untuk menyambut kelulusan. Alih-alih sibuk berdandan atau merapikan diri layaknya teman-temannya yang lain, Sanu hanya duduk menyendiri seraya membaca sebuah buku tipis berisi kumpulan puisi.
Dari kejauhan, datang sosok gadis cantik berwajah campuran Indonesia-Timur Tengah yang tak lain ialah Layla, salah satu siswi populer di SMA Budi Luhur yang juga sekaligus sahabat baik Sanu. Meski masih terpisah jarak puluhan meter, Sanu seakan mampu merasakan kehadiran Layla. Hal ini terlihat jelas dari bagaimana Sanu mengalihkan perhatiannya yang semula terpusat pada buku yang ia pegang, kini dengan cepat berganti pada Layla. Sanu mengulum senyum simpul usai menyadari bahwa sosok itu memang benar tengah berjalan ke arahnya.
"Udah aku duga kamu pasti mojok sambil baca. Kenapa kaya ngga semangat gitu sih kamu? Sebentar lagi kan kita udah mau lulus," Layla merampas buku yang ada di genggaman Sanu, lantas membuangnya asal. Menyadari aksi Layla membuat Sanu terlonjak kaget, buru-buru ia ambil bukunya yang tergeletak di tanah. Tangannya sibuk mengibas-ngibaskan pasir serta debu yang menempel di sampul buku tersebut.
"Lay, jangan buang-buang buku kaya gitu, ini kan ilmu. Lagian aku juga bingung harus ngapain." Sanu melirik Layla sekilas. Wajah kalem serta lembut yang nampak dari sahabatnya itu memang berbanding terbalik dengan sikapnya yang terkadang grusak-grusuk dan juga frontal.
"Bodo amat. Jangan mentang-mentang kamu udah ganteng, lainnya dandan kamu malah santuy di sini. Ini lagi, baju apaan sih, kelas kamu pake konsep apa kok pake baju kayak gini?" Layla menelisik model baju Sanu yang terlihat sangat aneh. Bajunya nampak penuh noda, selain itu celana yang dikenakannya pun sobek-sobek.
"Konsep gembel," Sanu menunduk, turut mengamati kostumnya. Meski terlihat tidak banyak persiapan, nyatanya Sanu semalaman berusaha mengotori bajunya dengan oli serta pasir sehingga ia bisa memperoleh kesan 'gembel' yang sesungguhnya.
"Ang ang ang! Pantesan daritadi aku liat ada yang pake baju pengemis, gembel, bahkan pengamen juga ada." Layla tertawa pelan usai mengamati siswa-siswi di sekelilingnya. Ternyata memang benar semua siswa yang ada di sekeliling kelas Sanu sedang berlomba-lomba mengotori pakaian dan membolongi baju untuk memperkuat kesan 'gembel' mereka.
Sanu tersenyum tipis saat melihat sahabatnya itu tertawa. Kedua matanya sibuk memperhatikan gerak-gerik Layla serta ekspresinya yang menawan. Detak jantung yang semula normal kini berangsur meningkat hanya dengan melihat Layla tertawa riang.
Benar, Sanu ialah satu di antara segelintir orang yang jatuh hati pada sahabatnya sendiri. Bagi orang pendiam yang tak memiliki terlalu banyak teman seperti Sanu, Layla adalah warna indah yang selalu memberikan corak baru pada kanvasnya yang kusam. Sanu menyukai segala hal tentang Layla. Hatinya terasa aman dan tentram tiap kali mendengar suara gadis tersebut meski bukan dengannya Layla berbicara. Bagi Sanu, tidak ada hal menarik di hidupnya selain eksistensi Layla dan segala hal yang menyertainya.
"Eh, giliran kelas aku yang foto sekarang. Aku ke sana dulu ya, nanti kalo aku selesai duluan aku tunggu di tempat biasa. Kalo kamu duluan, jemput ke kelas aku ya? Hehe." Layla tersenyum simpul usai memastikan Sanu mengangguk, menyanggupi permintaannya.
Sanu mengamati punggung Layla dari tempatnya berdiri. Sesekali gadis tersebut nampak berhenti untuk sekedar saling bersapa dengan kawan-kawannya. Tanpa sadar Sanu kembali tersenyum, matanya tak sedikitpun terlepas dari Layla hingga sosoknya sempurna menghilang di balik belokan yang ada di sebelah gedung perpustakaan.
Usai dirinya benar-benar tak bisa lagi melihat Layla, Sanu membuang muka lantaran tak ingin berdiam di sana terlalu lamam Ia pun memutuskan untuk bergabung dengan rekan-rekannya yang lain. Ia menelisik ke segala penjuru, mencoba menemukan teman sebangkunya yang biasanya paling aktif dan berisik di antara yang lain. "Oy!" sebuah pukulan ringan mendarat di punggung Sanu, mengejutkannya hingga nyaris tersedak ludah sendiri.
Sanu menoleh, dilihatnya sosok yang sejak tadi ia cari. "Kok lo masih cakep sih. Lihat nih gue, udah mirip gembel betulan. Awwwww tidak!" Roni menjerit dengan suara melengkingnya, membuat teman-teman sekelas mereka yang tengah sibuk dengan segala persiapan melihat ke arahnya dengan ekspresi heran.
Sanu hanya tersenyum kecil, ia mengakui ucapan Roni memang benar adanya.
"Btw, kenapa baju lo ketat banget sih elah otot lo itu kan jadi terpampang. Gue gak rela ya!" mendengar ucapan Roni membuat Sanu menunduk untuk mengamati bajunya. Ucapan Roni ternyata ada benarnya, otot perut serta lengannya tercetak sempurna meski tidak terlalu jelas. Pantas saja ia terus merasa diamati sejak awal menginjakkan kaki di pelataran kelasnya.
"Gak ada baju lain." Sanu meraih tasnya untuk mengeluarkan jaket yang tadi sempat ia kenakan selama perjalanan ke sekolah.
"Tapi apa lo emang yakin gak mau cari gandengan sebelum promnight atau wisuda nanti? Lumayan buat bayar-bayarin lo, buat gandengan, atau cuma sekedar ngasih lo bucket flower. Lagian gue lihat loker lo udah penuh lagi tuh sama surat cinta," Roni menarik diri untuk duduk di sebuah kursi kayu yang terletak tidak jauh dari posisi mereka berdiri.
Sanu memasukkan bukunya ke dalam tas seraya mengikuti Roni untuk duduk di kursi kayu tersebut. "Gue baca kok surat-suratnya, tapi bukan berarti gue bisa seenak hati memanfaatkan rasa suka mereka untuk kepentingan pribadi gue. Mereka berhak jalan sama orang yang beneran suka sama mereka."
Roni melirik Sanu kemudian menghela napas, tidak habis pikir dengan kawannya ini. Sudah puluhan orang yang menyuratinya atau bahkan memberi hadiah, tidak sedikit pula gadis cantik yang terang-terangan suka padanya, namun Sanu sama sekali tidak tergerak dan tetap bersikap tenang menanggapi gadis-gadis tersebut dengan diam.
Di kalangan anak laki-laki, Sanu memang cukup terkenal, meski memiliki postur tubuh yang tinggi dan proporsional, tidak jarang ia dianggap banci oleh sesama lelaki lantaran kulitnya yang putih serta tatapan sayu yang dimilikinya. Terlebih lagi, Sanu selalu bergaul dengan Roni yang dianggap sebagai banci oleh rekan-rekannya karena posturnya yang lenjeh serta sikapnya yang nyablak dan feminin. Selain itu, Sanu banyak dikenal di kalangan siswi perempuan karena fisiknya yang dianggap mirip dengan idola Korea sehingga banyak yang tertarik pada Sanu karena parasnya tersebut.
Sejujurnya kulit putih Sanu bukan sepenuhnya hal baik sebab hal ini terjadi lantaran Sanu menderita fotosensitivitas yang menyebabkan dirinya tidak bisa berlama-lama terpapar sinar matahari. Namun, kini Sanu patut bersyukur sebab penyakitnya ini entah kenapa sudah tidak separah dulu. Akhir-akhir ini ia mulai bisa mengikuti upacara dan tidak perlu takut muncul ruam dan gatal meski ia telah lama berada di bawah sengatan matahari. Meski begitu, ia tetap berhati-hati dengan selalu memakai tabir surya kemanapun ia pergi untuk melindunginya dari sinar uv. Bagaimanapun juga, ia harus berhati-hati sebab kemungkinan terburuk bisa terjadi kapan saja.
Tidak banyak orang yang mengetahui fakta tersebut bahkan Roni dan Layla sekalipun. Mereka hanya tahu jika Sanu memang seringkali menghindari matahari dan kerap mengenakan jaket serta masker jika cuaca terlalu panas.
Selain kulitnya, hal lain yang membuat Sanu disukai banyak gadis adalah postur tubuh dan sifatnya yang sopan. Meski tak terlalu menyukai olahraga, Sanu rutin melakukan fitness di rumahnya agar tetap bugar. Hal ini membuat tubuh tingginya nampak proporsional dan ideal. Oleh karena itu melihat Sanu mengenakan pakaian ketat membuat banyak perempuan terkejut bahkan salah tingkah sebab bentuk tubuh Sanu yang selama ini tersamarkan oleh seragam yang kebesaran itu pun tercetak jelas saat dirinya hanya memakai kaos.
Usai berbincang-bincang selama beberapa waktu dengan Roni, tibalah giliran kelas mereka untuk melakukan sesi pemotretan. Seluruh siswa nampak bersenang-senang dan gembira. Tak terkecuali Sanu yang beberapa kali ikut tertawa bersama teman-temannya. Meski tak banyak yang ia lakukan semasa SMA, Sanu merasa sama sedihnya dengan yang lain. Ia pun sama bencinya mendengar kata perpisahan. Tiga tahun mereka yang selama ini terajut bersama-sama akan segera berakhir. Ia akan segera berpisah dengan teman-temannya di sekolah menengah atas, berpisah dengan buku-buku tebal yang selalu menemaninya di perpustakaan, berpisah dengan Roni yang tak pernah absen mengganggunya, juga dengan Layla yang selalu mencerahkan harinya.
---
"Permisi. Maaf, Layla-nya ada?" Sanu menunduk segan menatap dua orang teman sekelas Layla yang tengah asik berfoto ria di depan kelas.
Menyadari siapa yang mengajaknya berbicara membuat dua gadis tersebut mematung sepersekian detik kemudian berlari terbirit-birit ke dalam kelas mereka. "Laaaayyyyyyyy! Dicari Sanu di depann!"
"Buseeetttt, gue diajakin ngomong barusan. Gilak-gilak gue di tatap anjrit!"
"Gila gue malu banget! Muka gue buluk banget ga ya tadi?"
Sanu menghela napas kemudian berdiri mensejajari pintu kelas Layla. Ia menepi dan bersandar tepat di balik pintu, menunggu Layla keluar dari dalam kelasnya.
Ia menatap kosong lantai keramik di bawahnya sembari melamunkan beberapa bulan ke depan saat ia dan Layla sudah tidak berada di sekolah yang sama lagi. Saat ia mungkin tak bisa lagi menjemput Layla di kelasnya serta mengobrol di ayunan belakang rumah Layla seperti biasanya. Sanu merasa hatinya di remas saat membayangkan Layla berada jauh darinya namun berada di tempat yang sama dengan-
"Nu..."
"Sanu! Ih, kok malah ngelamun sih. Ayo pulangg!" Layla mengangkat sebelah alisnya memperhatikan Sanu yang baru saja tersentak dari lamunan. Lelaki itu tersenyum kecil sembari mengangguk lemah. Astaga, Layla tidak bisa tidak merasa gemas dengan kelembutan dan keluguan sahabatnya ini.
"Kamu tahu? Tadi di kelas heboh bangett." Layla menarik lengan Sanu, menatapnya dengan penuh semangat.
Sanu tersenyum tipis. "Kenapa?"
Layla menarik napas. "Kan kelas aku tuh tema-nya pet ya. Jadi pada bawa hewann. Ada yang bawa puddle, ada yang bawa kucing, cihuahua, squirrel, nah ada juga yang bawa apatuh namanya yang ada lancip-lancipnya?" Layla mendongak menatap Sanu, menelisik ke dalam ingatannya sebab ia melupakan nama hewan yang menghebohkan seisi kelasnya tadi.
Sanu mengerutkan dahi, "Apa ada lancip-lancipnya? Sapi?" Sanu membantu memberi jawaban.
"Kok malah sapi sih! Mana ada sapi lancip. Bukan, apa sih aduh..." Layla mengusap rambutnya gusar. Jawabannya terasa ada di ujung lidah, namun ia tak dapat menemukan kata yang tepat untuk menggambarkannya.
"Astagaaa! Landak!" Pekik Layla histeris. Sanu tertawa kecil melihat ekspresi Layla. Ia menatap lekat gadis tersebut tanpa sekalipun mengalihkan perhatian. Mendengarkan segala hal yang diucapkan Layla tanpa sedikitpun merasa bosan.
Mereka berjalan beriringan menuju gerbang sekolah dengan masih saling bercerita -lebih tepatnya Layla yang bercerita-. Orang yang tidak mengenal keduanya pasti akan dengan mudah menyimpulkan bahwa mereka adalah pasangan. Dilihat dari segi manapun mereka memang sangat serasi. Sifat yang amat berbeda membuat mereka saling mengisi. Namun apa yang terlihat berbanding terbalik dengan apa yang terjadi. Mereka hanyalah dua sahabat yang tinggal bersebelahan serta tumbuh besar bersama. Tidak ada hal yang tidak diketahui Sanu tentang Layla.
Sanu adalah pendengar setia cerita keseharian Layla yang penuh warna. Ia adalah tisu yang bersedia menyeka air mata kesedihan Layla di hari-hari terberatnya. Ia adalah jaring yang selalu menangkap Layla kapanpun gadis itu terjatuh. Ia adalah samsak tempat Layla melampiaskan seluruh kekesalannya. Ia adalah bahu tempat Layla bersandar tiap kali tak punya pegangan. Ia bisa menjadi apapun untuk Layla. Sedang baginya Layla hanyalah satu, kebahagiaan.
"Rehan!" Layla memekik usai melihat sosok laki-laki bertubuh jangkung yang sedang duduk diam di atas sebuah motor Kawasaki Ninja 250. Menyadari dirinya dipanggil, laki-laki tersebut menoleh kemudian tersenyum lebar seraya menunjukkan tanda hati yang ia bentuk dengan kedua tangannya.
"Sanuu, kamu pulang duluan yaa. Nanti malam jangan lupa ke ayunan, oke?" Layla tersenyum semangat menunggu Sanu menyanggupi permintaannya.
Sanu memasang senyum terbaiknya kemudian mengangguk antusias. Layla mengacak rambut Sanu gemas layaknya melihat seorang anak SD yang baru saja diberi permen oleh ibunya. Tanpa menunggu lebih lama, Layla berlari kecil menghampiri Rehan. Gadis itu lantas duduk di boncengan motor Kawasaki tersebut.
Sebelum motor yang membawanya pergi melaju, Layla melihat Sanu yang masih tersenyum menatap kepergiannya. Layla melambaikan tangan dengan semangat kemudian melaju cepat bersama motor kekasihnya meninggalkan asap putih dari kenalpot motor Rehan.
Sanu menghela napas, tersenyum getir lataran perasaan sedih di hatinya. Layla adalah kebahagiaannya. Namun Layla pula rasa sakitnya. Saat itu, Sanu belum mengerti bahwa perasaan yang kala itu ia pikir hanya dapat ia rasakan pada Layla hanyalah permulaan atas perasaan yang jauh lebih besar pada sosok baru dalam hidupnya kelak.