NovelToon NovelToon
Jodoh Untuk Kakak

Jodoh Untuk Kakak

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Cintamanis / Cinta Seiring Waktu / Teman lama bertemu kembali
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: veraya

Ketika adik-adiknya sudah memiliki jodoh masing-masing, Ara masih diam tanpa progres. Beberapa calon sudah di depan mata, namun Ara masih trauma dengan masa lalu. Kehadiran beberapa orang dalam hidupnya membuat Ara harus memilih. Teman lama atau teman baru? Adik-adik dan keluarganya atau jalan yang dia pilih sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veraya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 21: Undangan

     Risty berdiri di pinggir jendela kaca kamar hotelnya. Dari ketinggian ini, dia bisa menikmati pemandangan malam sambil menyesap segelas anggur. Bibir merahnya mengecap rasa pahit dan manis dari pinggir gelas kacanya.

     Seorang pria setengah baya berbaju kerah tinggi dan bercelana longgar warna gelap mengetuk pintu kamarnya.

     "Non..."

     Risty membukakan pintu untuk pria itu.

     "Masuk, Pak."

     Pria itu masuk perlahan lalu menutup pintu.

     "Gimana kabar Pak Kun?"

     "Saya sehat. Non Risty bagaimana?"

     Risty hanya mengangguk tanpa menjawab.

     "Saya tahu usaha Ayah bisa maju pesat dan lancar terus karena bantuan Pak Kun. Saya juga ingin meminta bantuan Bapak lagi."

     "Tentang siapa lagi, Non?"

     "Aji Saka Pratama."

     Raut wajah Pak Kun mengernyit dan terdiam sejenak.

     "Lalu bagaimana dengan suami Anda?"

     "Saya sudah ajukan perceraian dengannya."

     Pak Kun kembali menunduk.

     Risty meletakkan gelasnya di meja lalu mengambil amplop panjang berwarna coklat dari dalam tasnya.

     "Ini separuhnya. Jika Pak Kun berhasil, saya bayar separuhnya lagi."

     Pak Kun menerima amplop itu tanpa berkata apa-apa.

     "Bisa, Pak?"

     "Boleh saya bertanya?"

     "Silahkan."

     "Kenapa Non Risty ingin kembali pada Mas Saka?"

     "Saya nggak ngira Pak Kun bisa nanya gitu. Tapi nggak papa lah saya jawab. Saya memang pernah benci sama dia karena tidak mau sejalan dengan saya. Saya mencoba melupakannya tapi tidak bisa, bahkan ketika saya sudah menikah dengan orang lain. Nggak tahu kenapa...Saka buat saya itu seperti...boneka? Boneka yang selalu menemani saya tidur, bisa diajak main, tapi dia kosong. Saya ingin buang tapi sayang. Jadi...saya pengen pungut lagi, pengen saya isi lagi, saya ajak main lagi..."

     Pak Kun mengangkat kepalanya demi melihat wajah Risty. Dia mencari apakah wajah itu benar-benar masih punya perasaan atau sekedar obsesi.

...* * * * *...

     Ara melirik jam tangannya sekali lagi. Dia datang terlalu awal dari jam janjian. Sesekali Ara menyeruput teh lecinya sambil memandang sekeliling.

     Di seberang sana, sekolahnya semasa SMA masih berdiri dengan kokoh meskipun banyak warna cat yang diperbarui. Warung makan ini tidak seberapa besar jika dibandingkan dengan kafe-kafe di tengah kota. Tapi suasana rumahan dan menunya yang serasa buatan ibu membuat banyak orang kangen dan kembali ke sini.

Sebuah taksi biru berhenti di parkiran samping warung makan. Penumpangnya turun dengan memakai kacamata hitam, knee length boots, mini skirt, dan jaket kulit.

     Begitu dia masuk, dia langsung bisa mengenali Ara. Dia melepas kacamatanya lalu berteriak girang.

     "Araaa...!!"

     Dia menyalami Ara sambil tertawa riang.

     "Kamu nggak berubah ya. Apa kabar?"

     Ara melongo melihat sosok wanita cantik berambut pendek di hadapannya. Dia mengaku Risty tapi bayangan Ara tentang Risty semasa SMA jauh berbeda dengan yang sekarang.

     Risty SMA adalah gadis yang sederhana, pendiam, dan...polos. Risty yang sekarang modis, riang, dan...wadadidaw?

     "Kalau ketemu kamu di jalan, aku nggak bakalan kenal loh. Ini kamu beneran Risty? Risty Bola Basket?"

     "Bola basket?"

     "Ya. Cowok-cowok memanggilmu gitu dulu. Kamu nggak tahu?"

     "Enggak. Aku kan nggak ikut ekskul basket. Kamu yang ikut."

     "Aku juga heran kenapa mereka nyebut kamu gitu. Ah, sudahlah. Lupakan saja. Kamu mau makan dulu baru kita ngobrol? Menu di sini masih sama kayak dulu loh. Hebat banget, selama belasan tahun rasanya nggak berubah. Konsisten itu susah. Salut."

     "Beneran?"

     "Ayo coba."

     Ara menggandeng tangan Risty menuju etalase prasmanan dengan belasan macam sayur dan lauk. Ketika mereka mengambil piring dan sendok, terlihat seorang pria memandang Risty dengan tatapan mencurigakan.

     Ara yang tahu gelagat tidak baik dari pria itu menggeser posisi berdiri Risty dengan dirinya. Ara melotot pada pria itu dengan tatapan menusuk tanpa senjata. Pria itu pergi sambil bersungut-sungut.

     "Aku aja yang bayar."

     Ara mengeluarkan selembar uang biru kepada kasir ketika mereka selesai mengambil makanan.

     "Minumnya nanti dianterin ya." kata mbak Kasir.

     "Makasih, Mbak."

     "Kok udah dibayar sih? Aku jadi nggak enak sama kamu." Risty tersenyum samar.

     "Nggak masalah. Aku pesenin kamu es jeruk nipis kayak dulu. Gimana?"

     "Sip. Kamu masih inget aja." Risty mengacungkan jempolnya.

     "Panas ya." Risty membuka jaket kulitnya setelah kembali duduk di bangku.

     Terpampanglah kaos ketat tanpa lengan berwarna putih yang sedikit menggantung di atas perut. Pria yang tadi main mata ke arah Risty langsung melotot melihat penampakan aduhai itu. Ara merubah tempat duduk mereka agar pandangan pria itu terhalang punggung Ara.

     "Kenapa pindah?" tanya Risty heran.

     "Nggak papa. Biar nyaman aja ngobrolnya. Maaf kalau kamu merasa nggak nyaman di sini. Panas ya? Padahal kipasnya udah nyala. Aku milih tempat ini karena biar kayak napak tilas gitu."

     Risty hanya tersenyum samar sambil mengelap sendok dan garpunya menggunakan tisu basah.

     "Ra, makasih dulu kamu udah mau jadi temenku. Kalau nggak ada kamu, mungkin aku bakalan terpuruk dan nggak keluar dari zona gelapku."

     "Apaan sih, kok jadi baper. Sesama teman itu harus saling membantu. Lagian cowok-cowok tukang rundung itu kalau nggak dilawan bakalan keterusan. Nggak ada kapoknya."

     "Kamu enak, dulu nggak pernah dijahilin mereka. Karena latar belakang keluargamu dan pribadimu yang menyenangkan."

     "Siapa bilang. Mereka ada juga yang main-main sama aku. Aku sih nggak suka ya ditindas gitu. Makanya aku lawan. Bukan karena keluargaku loh."

     "Kamu pemberani, Ra. Nggak ada yang kamu takutin."

     Sendok Ara menggantung di depan mulut. Kata-kata Risty membangunkan pertanyaan yang selama ini menghuni kepala Ara.

     Kenapa aku masih takut? Kenapa tidak dilawan?

     "Aku takut kecoak sama masa depan. Ha ha ha!"

     Risty tertawa sambil menepuk punggung tangan Ara.

     "Ngapain takut masa depan? Cari cowok yang kaya raya. Kamu nggak akan pusing lagi. Eh, maaf, kamu udah nikah belum?"

     Ara menggeleng sambil menyeruput es teh lecinya. Berharap Risty tidak melanjutkan tema pernikahan karena pasti bikin kerongkongan jadi cepet haus.

     "Nunggu pangeran naik UFO seperti yang kamu gambar dulu?"

     Ara tertawa ngakak. Dia masih menyimpan gambar itu di tumpukan file koleksi gambar-gambarnya. Ara nggak nyangka Risty juga masih ingat hal itu. Meskipun kebersamaan mereka hanya tiga tahun, tapi kenangan-kenangan itu masih membekas.

     "Oh ya..." Risty mengeluarkan selembar undangan berwarna merah dan emas dari dalam tasnya. "...ini ada undangan buat kamu. Aku belum sempat berterima kasih sama kamu dulu karena aku keburu pindah kota. Datang ya."

     Ara menerima undangan yang terkesan mewah itu.

     1st Anniversary R&D Hotel.

     Mata Ara membesar. "Ini hotel punya kamu?"

     Risty mengangguk sambil tersenyum centil.

     "Risty and Daddy. R&D. Sementara masih punya Ayahku, tapi aku ikut ngelola."

     "Waaah...Anda sudah jadi anak sultan ternyata ya. Saya jadi merasa bersalah sudah ngajak kamu makan di warung makan ini. Kamu pasti terbiasa makan di restoran mewah yang menunya cuma seuprit tapi mahal ya?"

     Risty hanya tertawa kecil melihat kepolosan Ara.

     "Ini beneran buat aku?" Ara masih tidak percaya dengan tiket eksklusif yang kini ada di tangannya.

     "Iyaa..." Risty jadi gregetan sendiri dengan Ara. Sudah jelas-jelas dia bilang undangan itu untuk dirinya, masih aja nanya.

     "Kamu baik banget. Makasih, Ris."

     "You're welcome."

     "Kamu sendiri udah nikah, Ris?"

     "Udah. Tapi proses bercerai."

     Ara menghentikan kunyahannya sambil menatap Risty. Ada rasa menyesal mempertanyakan itu padanya. Tapi udah kadung bertanya.

     "Kenapa mau berpisah?"

     "KDRT..."

     Ara memukulkan sendok ke meja. Sama seperti Alan yang kaget dengan adegan ini, Risty pun ingin lempar piring ke Ara.

     "Baguslah kalau kamu sudah mau berpisah dengannya. Kamu harus tinggalin pria itu, dia tidak menghargai kamu sama sekali. Cari yang lebih baik. Pria yang benar-benar mencintaimu tidak akan menyakiti kamu kayak gitu, Ris."

     Risty tersenyum kecut dengan tatapan menerawang. Dia mencucuk rendang sapi dengan garpunya. Dalam tatapannya tersirat sekelumit dendam yang tersembunyi.

1
Sumringah Jelita
paket komplit
veraya: terima kasih atas apresiasinya 🥰🥰 🥰
total 1 replies
ian gomes
Keren abis, thor! Jangan berhenti menulis, ya!
veraya: Terima kasih supportnya, smangat lanjut 🥰🥰
total 1 replies
Shion Fujino
Lanjutkan ceritanya, jangan sampai aku ketinggalan!
veraya: Terima kasih dukungannya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!