NovelToon NovelToon
Adara'S Daily

Adara'S Daily

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Dosen / Cinta Seiring Waktu / Keluarga / Persahabatan / Romansa
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Alunara Jingga

Tentang keseharian seorang gadis biasa dan teman-temannya. Tentang luka.
Tentang penantian panjang, asa dan rahasia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alunara Jingga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

After Storms

Keputusan kami untuk pindah sementara ke Jepang sudah bulat. Aku sadar diri, selama masih berkutat dengan semua kenangan menyakitkan di sini, aku akan kembali ke fase awal dulu. Mulai mempertanyakan takdir dan keadilan Tuhan. Aku ingin sembuh, dan upayaku adalah mencari tempat untuk menyembuhkan lukaku.

Alasan lain kepindahan kami adalah untuk menghindari ayah yang selalu datang mencariku untuk berdamai. Aku tahu, mungkin aku adalah anak durhaka yang tak tahu terimakasih karena tak ingin bertemu dengan orangtuaku. Tapi aku harus apa? Saat aku mengharapkan damai, beliau malah datang dengan membawa amunisi perang.

Kasus kecelakaan kemarin sudah selesai, tinggal menunggu sidang putusan saja. Bunda Nadia sudah misuh karena Mas Dwi belum juga mengajakku berangkat.

"Masmu lelet kali, Ay. Padahal tinggal berangkat, nunggu apa lagi, sih?" keluhnya.

"Sabar, Bun. Kemarin sih bilangnya masih nunggu konfirmasi dari pihak kampus."

"Ck, lama. Kalo emang ga ada konfirmasi atau ga dikasi, tinggal resign, kaya orang susah aja si Firdaus. Nggak jadi dosen juga uangnya banyak. Astaghfirullah, kan, ampun Ya Allaah, bukan maksud sombong atau takabur."

"Aamiin, eh, astaghfirullah. Nah, Aya yang bingung, Bun, mau istighfar atau mengamini. Bunda ikut, yuk!" ajakku.

"Ee alah, ayahmu mana mau ditinggal. Mau ramean pindah ke sana? Si Tria yang bakal misuh, udah, kalian aja. Kalian di sana jangan mikirin apa yang bikin stres, kalian happy aja. Biar di sini Bunda yang urus. Baby K pasti bakal senang kalo liit Bundanya juga senang. Ga usah pulang kalo ga penting, males Bunda ketemu sama Pak Reza, tuh. Maaf ya, Ay, tapi beneran lho," curhatnya.

"Iya, Bun, Aya paham. Mau sampai kapan beliau tutup mata sama kelakuan anak istrinya. Aya sebel juga sama diri sendiri, kok belum juga terbiasa, masih ngarep beliau bakal ngerti perasaan Aya. Emang ga boleh berharap sama manusia," sahutku.

"Tapi kalo Aya mau apa-apa, ga usah ragu bilang ke anak tengah Bunda, ya? Dia emang rada gak peka, kalo ga ngomong, ga bakal tahu apa yang Aya mau," pesan mertua keceku.

Aku mengangguk dan melanjutkan obrolan kami, hingga Mas Dwi datang dan berkata kami akan berangkat lusa, dan mengecek kembali barang yang memang sudah ter-packing sejak seminggu yang lalu. Dengan tekad yang kuat, aku harus memulai semua dari awal, ku langkahkan kaki menapaki masa depan.

...------...

"Bunda, lihat deh, adek bayinya cantik, ya? Bibirnya lucu, mungkin dedenya laper kali, ya? Ayo, Bun, kasi mamam." Seorang anak laki-laki berumur 5 tahun menarik ujung jilbabku.

"Bayi nggak mam nasi, Nak, cukup ASI. Lambungnya belum kuat, di kasi susu aja. Suster bentar lagi masuk. Bang Tiar mana?" tanyaku padanya.

"Tadi sama Bang Di, Bun. Abi mau tetemu adek baby," jawab duplikat Mas Dwi itu dengan jawaban khas bocah 5 tahunnya.

Aku punya 2 anak lelaki segera setelah pindah ke negeri matahari terbit ini. Yang pertama berumur 7 tahun, dan bungsuku ini berumur 5 tahun. Selama di Tokyo, aku berinteraksi dengan WNI yang ternyata rekan sesama dosen Mas Dwi, dan juga sahabat dekat Rindu, Zea. Ah, seperti namanya, aku merindu.

Saat ini aku tengah menjenguk Zea yang baru saja melahirkan putrinya. Abiyyu sejak kemarin memang selalu mengoceh tentang adik perempuan yang sejak masih dalam perut ingin ditemuinya. Sayangnya, saat ini kondisi Zea sedang tidak stabil setelah mengalami kecelakaan akibat keteledoran pihak minimarket. Zea yang tengah hamil 8 bulan terpleset air yang entah kenapa menggenang di sana.

Karena kondisi itu, tim dokter melakukan penyelamatan cepat. Bayinya harus dilahirkan, sebelum Zea ditindak lanjuti. Pembedahan otak harus dilakukan, mengingat kepalanya terbentur cukup keras mengenai rak besi. Beruntung, ibu dan anak ini berhasil diselamatkan. Ziandra masih terbang di belahan bumi selatan sana saat ini terjadi, dan sekarang ia belum juga sampai. Tak terbayang bagaimana paniknya ia saat tahu nanti.

"Dirga sudah makan siang, Nak?" tanyaku pada putra sulung Zea dan Zian ini.

"Ntar aja, Bunda. Didi belum laper, nunggu bibu keluar. Dedek laper gak ya?"

"Makan dulu, sayang, sementara bibu selesai. Siapa tahu abis makan yayahnya dateng," bujukku.

"Dirga belum makan? Ayo makannya sama Bang Kaito, biar kuat jagain adek." Haruka, tetangga sekaligus rekan kerja Zea datang. "Belum beres juga, Mbak?" tanyanya.

"Belum, semoga ga ada kendala di dalam sana. Zian udah tahu? Ah iya, keluarganya gimana?" Aku tak tahu bagaimana memberitahu keluarganya, karena memang ponselnya tak tahu di mana.

"Mungkin sudah, atau mungkin juga belum, karena tadi Bang Zian sedang bertugas. 20 menit lagi udah landing, Bang Kenzi sudah nunggu di bandara. Tadi saya sudah telpon Bang Dhanis, katanya mau ke sini pake penerbangan tercepat."

Aku mengangguk, berharap semua akan baik-baik saja. Benar saja, begitu datang, Zian sudah tak tahu harus bagaimana, beruntung ada Dirga yang masih menjadi ambang sadarnya. Aku membawa anak-anak pulang saat Zea sudah dibawa menuju ruang perawatan khusus.

"Gimana kondisi Zea, Love?" tanya Mas Dwi saat kami hendak istirahat.

"Tadi sih stabil, Mas. Kasihan bayinya, belum dapet ASI, beruntung semua terkendali. Kita jadi mau balik, Yang?"

"Alhamdulillah kalo emang gitu. Jadi, kontrak Mas juga udah habis di sini. Tapi sepertinya bakal susah, si Abi ga mau pisah sama baby-nya."

"Atuhlah, jadi PR lagi ini." Aku menepuk kepalaku, bungsuku ini memang sangat menantikan bayi perempuan Zea itu.

Mas Dwi terkikik, Abi menginginkan adik perempuan, dengan alasan abangnya selalu mengajaknya berkelahi. Tapi Mas Dwi tak mengizinkanku hamil lagi, karena menurut dokter agak beresiko karena umurku yang tak muda lagi. Jadilah Zea yang selalu diikutinya, karena tahu calon bayinya adalah perempuan.

Bunda Nadia juga berkata sudah cukup, karena jumlah cucu laki-laki dan perempuannya seimbang, sama-sama berjumlah 4. Sejak beberapa minggu yang lalu, Mas Dwi memang pernah mengutarakan untuk kembali ke Indonesia. Aku setuju saja, biar anak-anak tumbuh di sana saja, agar kakek dan neneknya tak perlu datang jauh-jauh.

"Mas kayanya udahan aja deh jadi dosennya, Love. Fokus ke usaha aja, lumayan lama dititip di Neesha, anaknya udah ribut nyuruh buat kelola sendiri. Durhaka emang si tiga," keluhnya.

"Ckck, durhaka gimana? Kamunya yang keenakan, Mas. Minta tolong apaan, sampe 8 tahun. Panteslah kalo dia berubah jadi reog. Aku jadi inget sama Nirmala, Mas. Semoga dia ditempatkan bersama orang-orang pilihan-Nya ya. Sayang banget, anak secerdas itu harus ngalamin hal yang berliku. Derajatnya pasti tinggi di hadapan Allaah."

"Doain yang terbaik aja, Sayang. Semua yang dia lakuin ga sia-sia, bahkan jadi amal jariyah untuknya. Mas iri, kita siapin bekal apa, Love? Ayo bikin bekal juga," ajaknya, aku terkekeh, bikin bekal, berasa mau piknik.

"Besok dipikirin, Yang. Sekarang istirahat dulu, besok biar bisa selesai satu-satu urusan kita. Sekalian ngebujukin Abi biar mau pindah ke Indonesia."

"Iya, Love. Sini." Ia menarik lenganku untuk masuk ke pelukannya, hal yang selalu dilakukan sejak hari pertama pernikahan kami.

...-----...

"Baby, jangan lari-larian! Ntar kalo jatuh, kakimu berdarah, sakit, lho," bujuk Abi pada Hanami, yang saat ini sudah berusia 4 tahun.

"Ck, anak lu, Ra. Posesif sedari dini," celetuk Amri.

"Definisi menjaga jodoh sedari piyik," sambung Ojik.

"Manalah manggilnya 'baby', please, bikin jiwa penggoda gue terbangkitkan." Ian menimpali.

"Ya Allah, udah tua masih bertingkah. Inget umur, eiyy. Anak-anak udah besar ya, kalian ga berniat jodohin anak-anak?" tanya Ryan.

"Agak geli juga kalo gue besanan sama kalian. Tapi di sisi lain, kayanya itu lebih baik, karena memang sudah tahu keadaan masing-masing, jadi cara nanggepinnya juga udah ada," sahut Amri.

"Terserah anak-anak, jangan dipaksain. Kalo jodoh, Alhamdulillah, nggak jodoh juga ga masalah. Yang penting pendapat mereka, mereka semua sudah akrab karena dari kecil sudah bareng, kalau ada perasaan yang berkembang, tinggal dibimbing," ucap Mas Dwi, aku mengendikkan bahu, dan kembali fokus pada rumpiku bersama para istri.

Hanami Ziandra, nama bocah kecil yang selalu ingin ditemui Abi itu. Bayi kecil yang pernah menjadi kekhawatiran semua orang itu kini tumbuh dengan baik. Sesekali, ia akan datang berkunjung, menengok kakek neneknya. Terkadang, Abi yang akan datang saat libur sekolah. Si boncel, ah, maksudku, Zea, sudah baik-baik saja, dan ia berencana untuk pulang ke Indonesia juga, hanya saja, ia akan tinggal di Bogor untuk mengajar.

Hubunganku dengan ayah juga sudah bisa dianggap baik sejak eksekusi Hana dan Gina beberapa tahun yang lalu. Kini, aku akan menikmati waktuku dengan keluarga kecil ini. Menanti cerita apa yang terukir hari ini, esok dan seterusnya. Berharap diberi kesempatan untuk membersamai anak-anak dalam setiap momen penting hidup mereka. Ya, inilah keseharianku, seorang ibu anak 2, dan seorang istri yang bernama Adara Eka Mentari.

...-----...

......FIN......

1
Anjan
gitu dong, ngaku!
Anjan
Slice of life nya dapat banget, humornya juga dapet. Semangat, Kakak author!
Anjan
enteng kali si jule
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!