Nikah itu bukan penyelamat hidup, tapi pergantian fase. Dari yang semula melajang menjadi berpasangan. Bukan pula sebagai ajang pelarian agar terbebas dari masalah, justru dengan menikah trouble yang dihadapi akan semakin kompleks lagi.
Tujuan pernikahan itu harus jelas dan terarah, agar menjalaninya terasa mudah. Jangan sampai menikah hanya karena desakan orang tua, dikejar usia, atau bahkan ingin dicukupi finansialnya.
Ibadah sepanjang masa, itulah pernikahan. Diharapkan bisa sekali seumur hidup, tidak karam di pengadilan, dan berakhir indah di surga impian. Terdengar sederhana memang, tapi pada prakteknya tidak semudah yang diucapkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon idrianiiin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23-Kehabisan Rasa Sabar
Selepas makan bersama, aku dan Bang Fariz lebih dulu pamit untuk ke kamar. Tapi langkah kami tertahan saat mendengar penuturan Mbak Rumi.
"Bisa bicara sebentar, Kak Fariz?"
Sebelum menjawab, Bang Fariz meminta persetujuanku terlebih dahulu, tidak secara langsung hanya sebatas isyarat mata. Aku pun mengangguk kecil mempersilakan.
"Bertiga gak papa, kan?" tanya Bang Fariz sembari melirik ke arahku.
Mbak Rumi mengangguk tanpa kata. Tapi, aku protes dengan cara mencubit pinggangnya. Aku tidak ingin kembali ikut campur dengan masalah Bang Fariz, bikin pusing.
"Abang gak mau kamu salah paham, temani Abang sebentar," bisiknya membuat hatiku seketika menghangat.
"Ada apa?" tanya Bang Fariz langsung pada intinya.
Mbak Rumi terdiam beberapa saat. Dia meletakkan sebuah amplop di atas meja lalu berkata, "Itu amanah dari Papa."
"Ya." Jawab Bang Fariz begitu singkat lalu memasukkan benda tersebut ke dalam saku celana.
Hening kembali menyelimuti kami. Rasa canggung benar-benar sangat kentara sekali.
"Kak Fariz."
Bang Fariz hanya melirik sekilas ke arah Mbak Rumi lalu kembali menatap ke arahku. Tangannya sedari tadi menggenggam erat tanganku.
"Maaf untuk kesalahan aku di masa lalu. Maafin aku, Kak Fariz," lirihnya.
"Gak usah dibahas lagi, anggap itu gak pernah terjadi. Lagi pula status kita sekarang saudara satu ayah," sahut Bang Fariz semakin melemah di akhir katanya.
"Aku sama Mama akan pergi secepatnya dari sini. Maaf membuat Kak Fariz nggak nyaman."
Bang Fariz menghela napas singkat. "Saya tidak memiliki hak apa pun terhadap rumah ini. Yang meminta kalian tinggal di sini pun ibu saya, lagi pula saya hanya bermalam hari ini saja. Gak usah terlalu berlebihan, saya sudah memaafkan."
Aku cukup terkejut saat Bang Fariz mengatasnamakan dirinya sebagai 'saya'. Cukup formal jika digunakan dalam ranah keluarga.
"Ada lagi?"
Mbak Rumi menggeleng pelan. "Makasih banyak, Kak Fariz."
Kami pun bangkit dari duduk, aku mengintil ke mana pun langkah Bang Fariz, sampai akhirnya kami berada di dalam kamar.
"Abang baik-baik aja, kan?"
Mendapati Bang Fariz termenung di atas pembaringan, membuatku cemas sekaligus penasaran.
Bang Fariz tersenyum tipis. "Nggak papa."
"Mulut sama mimik wajah gak sinkron. Kenapa?"
"Abang gak bisa nginep di sini. Kita harus pulang sekarang," katanya.
Aku terkejut bukan kepalang. "Tiba-tiba banget sih, Bang. Gak enak sama Mama."
"Abang gak bisa tinggal satu atap sama Arum, kilatan masa lalu membuat trauma Abang muncul."
Aku memutar bola mata malas. "Kebawa perasaan. Masih belum move on. Ish, Mbak Rumi sekarang adik kandung Abang. Jangan macem-macem deh."
Bang Fariz berdecak. "Bukan itu maksud Abang. Kamu yang jangan mikir macem-macem. Cemburu, kan?"
Aku menggeleng cepat. "Nggak. Kepedean banget!"
"Mulut sama hati gak sinkron. Kelihatan banget muka kamu kalau lagi cemburu."
Cemburu pada adik ipar terdengar sangat tidak wajar. Tapi, aku pun tak bisa melupakan fakta, bahwa di antara Bang Fariz dan Mbak Rumi pernah menjalin hubungan. Status mereka mantan. Dua tahun pula, sedangkan bersamaku masih hitungan bulan, mau jalan satu tahun.
"Trauma gimana maksud Abang?" sahutku mengalihkan pembicaraan.
"Dulu Abang tuh bodoh banget, sampai Arum tahu pin ATM Abang, jumlah tabungan di bank. Semua kemauan Arum, Abang turuti, gak bisa nolak sama sekali. Royal banget pokoknya."
Kupukuli wajahnya dengan guling beberapa kali. "Abang jahat banget sama aku. Status aku istri, bukan pacar. Tapi aku gak tahu pin ATM Abang, aku juga gak tahu jumlah tabungan Abang, bahkan untuk gaji yang Abang terima pun aku gak tahu. Bang Fariz jahat!"
"Tenang dulu, Abang belum selesai cerita," pintanya lalu melempar asal guling yang kujadikan sebagai senjata.
Aku bersidekap dada dan memalingkan wajah. "Nggak usah diterusin. Panas hati aku!"
Tanpa tahu malu Bang Fariz malah memeluk pinggangku dan meletakan dagunya di bahu. Aku menepis tangannya, tapi tak sedikit pun membuahkan hasil.
"Jangan ngambek dong. Abang gak maksud apa-apa, kok," ucapnya begitu enteng.
"Dulu Abang terlalu gampang percaya sama orang, mindset Abang terlalu positif dan menganggap semua orang baik. Saking percayanya, Abang gak pernah berpikiran buruk, padahal saat itu tabungan Abang dikuras habis sama Arum. Tapi bodohnya Abang masih aja ngelanjutin hubungan gak sehat itu. Sadarnya setelah harta benda Abang habis tak tersisa."
Aku sama sekali tak bernapsu untuk menimpali. Kepalang malas, dan ingin segera menyudahi obrolan tak berfaedah ini.
"Kamu tahu gak? Dulu Abang sampai jual motor, jual barang-barang yang Abang punya, cuma buat modalin Arum. Padahal waktu itu finansial Mama belum stabil seperti sekarang. Bodohnya, Abang malah menjual kendaraan yang sudah Mama beli dengan susah payah. Gaji hasil kerja paruh waktu juga jadi jatah wajib Arum."
"Gak tahu dan gak mau tahu!" ketusku.
Bang Fariz semakin mengeratkan pelukannya. "Abang cerita ini supaya kamu tahu, dan gak salah paham di kemudian hari. Apalagi sekarang Arum ada di sekitar kita, dia adik Abang."
"Aku istri Abang, tapi peranku sangat kalah jauh dari mantan pacar Abang. Dia bisa bertindak seleluasa itu, sedangkan aku? Untuk perkara nominal gaji aja, aku gak tahu. Nafkah yang Abang berikan juga sebatas gopean, logam." Dengan sekuat tenaga aku menjauhkan diri dari Bang Fariz, dan berjalan menuju balkon kamar.
Aku butuh udara segar, hatiku benar-benar panas terbakar.
"Abang gak pernah tahu, gimana sakit hatinya aku saat direndahkan tetangga hanya karena aku selalu belanja dengan uang receh. Abang gak pernah tahu, gimana malunya aku saat dengan entengnya Abang bayar makanan dengan uang logam. Abang itu gak pernah peduliin perasaan aku!"
Napasku naik turun, bahkan kini mataku pun sudah berair karena saking emosinya. Aku benar-benar sudah lepas kendali.
"Aku gak pernah minta barang-barang mahal, aku gak pernah minta jalan-jalan ke luar, bahkan untuk sekadar nonton dan keliling mall aja. Gak pernah. Tindakan yang seharusnya Abang lakukan untuk aku, malah Abang praktekkan sama mantan pacar Abang. Aku merasa gak dihargai sebagai istri."
Keluar sudah uneg-uneg yang selama ini kutahan. Aku selalu bersembunyi di balik kata sabar, padahal pada nyatanya aku tak sekuat itu. Aku selalu mencoba untuk memahami Bang Fariz, aku selalu berusaha untuk mengerti akan kondisinya. Tapi, saat Bang Fariz membeberkan kelakuannya di masa lalu, aku rasa sabarku sudah berada di ambang batas.
Bang Fariz hanya diam. Dia menatapku penuh rasa sesal, tapi dengan angkuhnya aku segera memalingkan wajah dan membelakangi Bang Fariz.
"Aku gak menuntut Abang untuk menjadi sosok di masa lalu. Tapi, setidaknya perlakukan aku layaknya seorang istri. Aku juga mau tahu rasanya dinafkahi dengan normal, sesekali makan di luar, dan menghabiskan waktu bersama. Sebagaimana pasangan normal pada umumnya."
Di luar dugaan Bang Fariz merengkuhku dari belakang. "Abang gak akan menyangkal untuk membela diri, karena Abang sadar kalau tindakan Abang sudah sangat keterlaluan. Maafin Abang, Kirania. Maaf ...."
Aku melepaskan rengkuhannya. "Aku perlu waktu sendiri untuk menenangkan diri," kataku lantas kembali memasuki kamar.