Dengan kebesaran hati seorang wanita muda bernama ( Azalea 26 tahun ) yang rela menggantikan posisi adik nya sebagai pengantin di hari itu.
Ternyata kebaikan hati Azalea di balas kebencian oleh pengantin lelaki (Arta 32 tahun ) yang sudah sah menjadi suami nya itu.
Sampai di titik itu, dimana Arta sadar bahwa Azalea lah yang terbaik. Tapi apakah Azalea masih mau bersatu dengan Arta ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wanita Biasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10.
"SHERIN ! " ucap kecilnya.
Arta tidak merespon panggilan itu, ia merasa malas walaupun hanya sekedar mengangkat sambungan telpon saja.
Malam pun hampir datang, demam yang di rasakan oleh Arta sudah mulai hilang menyisakan rasa linu saja di tubuhnya. Sementara Lea masih merasa panas dingin di tubuhnya.
"Mau kemana ? " Tanya Arta tanpa menoleh ke arah Lea.
"Pindah ke Sofa. " Jawab Lea dengan gerakan perlahan.
"Sudah diam saja di sana ! " Perintah Arta.
"Tidak, aku di sofa Saja. Lagian tempat tidur ini tidak nyaman untuk ku. " Lea berkilah agar Arta marah dan membiarkannya tidur di sofa.
Arta menyunggingkan senyuman smirk nya. " Oh ya ? Bukan kah kamu semalam tidur nyenyak di atas tempat tidur itu ? "
Seketika Lea syok, wajahnya yang tadinya pucat mencari merah padam. " Emm ... I-itu kan .... "
"Sudahlah, jangan so munafik. " Imbuh Arta.
Lea merasa malu, sehingga dia membaringkan kembali tubuhnya lalu membelakangi Arta yang sedang duduk di kursi sudut kamar itu.
"Terserah. " Jawab Lea singkat.
Malam tiba, Arta yang merasa kaku karna harus tidur di kasur yang sama membuatnya berpikir sejenak. Jika ia harus tidur di sofa pasti dia tidak akan bisa tidur nyenyak. Saat itu Arta pun tidak berpikir panjang ia langsung berjalan menuju kasur empuk miliknya. Berbaring membelakangi Lea yang sudah tertidur.
Di tengah malam, Lea mengigau menangis sesenggukan entah kejadian apa yang ada di dalam mimpinya saat itu. Arta kaget dan segera melihat keadaan Lea, Lea yang membalikan badannya dan langsung memeluk Arta.
"Ibu ... " Panggil Lea.
Arta tak menolak saat itu. linangan air mata terlihat di sudut mata Lea. Kesedihan apa yang menimpa dalam mimpinya itu.
Arta menetralisir kan suhu tubuhnya, "Tenanglah jantung ku, tenang jangan berdetak tak karuan seperti ini. Aku capek. " batin Arta.
Arta membiarkan Lea memeluk tubuhnya. Ia rela di jadikan guling malam itu oleh Lea. Saat pagi tiba Arta langsung menjauh dari Lea.
Saat Arta di dalam kamar mandi, Lea terbangun. Ia tahu jika Arta hari itu akan pergi ke kantor, Lea langsung mempersiapkan pakaian kantor Arta.
Arta mengehentikan langkahnya kala melihat Lea sedang mempersiapkan pakaiannya, sampai Lea kaget karna ponselnya berdering.
"Hallo Pak ? "
"Oh ya selamat pagi jug, emm .. Baiklah saya akan segera ke kantor. " Jawab Lea langsung menaruh ponselnya kembali.
Lea duduk sejenak, dan memijat keningnya. Rasa pusing dan lemas masih dapat ia rasakan, namun di kantor sedang membutuhkan tenaganya sekali.
Arta sudah tak canggung lagi keluar dengan keadaan telanjang dada, karna Lea selalu menghindar dan berusaha tak melihatnya.
Tidak ada tegur sapa saat itu, Arta keluar kamar mandi dan Lea hendak masuk ke dalam kamar mandi.
Sampai kedua nya pun sudah siap pergi ke kantornya masing-masing.
"Kamu yakin mau kerja ? " Tanya ketus Arta.
"Emm ... " Jawaban Lea singkat.
"Jangan memaksakan diri, " imbuh Arta.
Lea berjalan mendekati Arta, dan berdiri di hadapannya. Sambil membenarkan lipatan dasi di leher Arta. " Senangnya suami ku sekarang jadi perhatian. " goda Lea, tanpa ada maksud apapun.
Arta langsung menjadikan tangan Lea, bukan karna ia enggan di sentuh Lea melainkan dia tidak mau Lea melihat ke kegugupannya.
"Jangan percaya diri berlebihan, saya tidak mau di repot kan nantinya. " Alibi Arta sambil berjalan ke arah nakas untuk mengambil jam tangan mahal yang akan ia kenakan di hari itu.
Lea tersenyum,
Arta terus mencari keberadaan jam tangannya, padahal jam tangan itu sudah ia bawa sebelumnya dan ia taruh di meja rias. Karna ia gugup ia lupa akan hal itu.
Lea berjalan ke arah Arta, meraih tangan Arta perlahan memakaikan jam tangan itu di tangan kanan Arta, " Mas sudah mengambilnya tadi apa Mas lupa ? " ucap Lea
Arta memperhatikan wajah sederhana Lea, di balik ketegasan Arta ada sebuah hati yang sedang berteriak teriak di dalamnya.
"Aku pamit duluan Mas, maaf aku tidak menyiapkan makanan untuk mu. Mungkin bibi sudah menyiapkannya. Aku sarapan di kantor saja karna sudah telat. " Ucap Lea sambil mencium tangan kanan Arta.
Lea tidak bisa mengelak dari keadaannya yang sekarang, meskipun pernikahan itu hanya sebuah perjanjian tapi tetap Arta adalah suaminya.
Arta hanya terdiam, tingkah Arta yang biasanya menolak kini lebih membiarkan Lea melakukan hal yang dia inginkan. Sampai ia tidak sadar jika Lea kini sudah berjalan ke arah pintu keluar kamar.
"Wajahnya masih pucat. " Gumam Arta menghawatirkan Lea.
"Bu, apa tidak sarapan dulu ? " Teriak kecil pembantu rumah tangga rumahnya.
Lea malah mengambil kotak bekal, di kira kotak bekal itu untuk dirinya. Padahal itu buat Arta. " Bi tolong kasih bekal buah buahan ini pada Tuan Arta ya. "
"Emm ... Saya tidak sarapan di sini, di kantor saja bi. Saya sudah telat. " jawab Lea.
"Mau saya antar ? " Ucapan itu tiba-tiba terdengar dari arah belakang.
Ada Atala yang sudah siap juga untuk pergi.
Lea tersenyum, " Tidak usah. Saya bisa membawa mobil sendiri. "
"Tapi kamu masih pucat, yakin tidak akan ada apa-apa ? " Ujar Atala.
"Yakin Ko. " Jawab Lea yang sudah menganggap Atala sebagai kerabatnya sendiri.
Arta memperhatikan Lea dan Atala dari atas. " Ternyata sikap manisnya itu ia tunjukan pula pada laki-laki lain, dasar wanita gampangan. " gumam kecil Arta karna kesal.