Ini bukan kisah istri yang terus-terusan disakiti, tetapi kisah tentang cinta terlambat seorang suami kepada istrinya.
Ini bukan kisah suami yang kejam dan pelakor penuh intrik di luar nalar kemanusiaan, tetapi kisah dilema tiga anak manusia.
Hangga telah memiliki Nata, kekasih pujaan hati yang sangat dicintainya. Namun, keadaan membuat Hangga harus menerima Harum sebagai istri pilihan ibundanya.
Hati, cinta dan dunia Hangga hanyalah untuk Nata, meskipun telah ada Harum di sisinya. Hingga kemudian, di usia 3 minggu pernikahannya, atas izin Harum, Hangga juga menikahi Nata.
Perlakuan tidak adil Hangga pada Harum membuat Harum berpikir untuk mundur sebagai istri pertama yang tidak dicintai. Saat itulah, Hangga baru menyadari bahwa ada benih-benih cinta yang mulai tumbuh kepada Harum.
Bagaimana jadinya jika Hangga justru mencintai Harum saat ia telah memutuskan untuk mendua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeni Eka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Hangga memutar laju mobilnya menuju kedai untuk menjemput Nata. Padahal rencananya hari ini ia ingin pulang sore ke rumah. Ia tidak mau Harum merasa curiga dan kecewa lalu melaporkan kepada kedua orangtuanya bahwa ia selalu pulang larut malam.
Seminggu ini, sejak Nata mulai bekerja di salah satu Bank swasta di Tangerang, praktis waktu Hangga banyak dihabiskan bersama Nata. Tidak pernah pulang ke rumah kurang dari jam sembilan malam setiap harinya dikarenakan sibuk menemani Nata mencari kontrakan yang cocok.
Namun sampai saat ini mereka belum menemukan kontrakan yang sesuai kriteria Nata. Kekasih Hangga itu memang pemilih untuk urusan tempat tinggal.
“Jemput aku, sekarang!” titah Nata di ujung telepon.
Hangga ingin menolak sebab banyak sekali yang dikhawatirkannya, tetapi ia tak kuasa membuat Nata kecewa untuk kedua kali.
Sebelumnya, ia telah menolak untuk menemani Nata makan di kedai milik orangtuanya tersebut. Jadi, tidak mungkin ia menolak permintaan Nata untuk menjemputnya.
“Oke, Sayang. Tapi, tunggu di depan. Aku enggak turun,” jawab Hangga akhirnya.
Roda empat yang dikendarai Hangga hampir sampai di depan kedai saat dirinya menyaksikan kedua perempuan cantik yang ia kenal tengah mengobrol akrab di tepi jalan depan kedai.
Kening Hangga mengerut melihat pemandangan tersebut. “Harum dan Nata, apa mereka saling kenal?” batinnya gelisah.
Melihat kedua wanita itu, Hangga lekas mengubah laju mobilnya yang semula di bahu kiri jalan menjadi ke bahu kanan jalan. Membatalkan niatnya untuk berhenti di depan kedai dan memutuskan untuk berhenti beberapa meter di depannya.
Beruntung kepadatan kendaraan dapat menyamarkan pergerakan mobil yang dikendarai Hangga. Sehingga kedua perempuan cantik itu tidak menyadari kehadiran mobil Hangga yang sempat melewati kedai.
“Sayang, aku sudah sampai,” ujar Hangga melalui telepon setelah ia menepikan mobilnya di depan sebuah pom bensin.
“Di mana?”
“Jalan sedikit ya, Yang. Di depan pom bensin. Tadi padat banget, jadi enggak bisa berhenti di depan kedai,” kilah Hangga.
Nata memutus panggilan telepon tanpa menjawab ucapan Hangga.
“Halo, Yang. Halo, Nat. Ya, malah diputus teleponnya.” Hangga mendesah kecewa.
Pasti Nata marah, pikirnya.
Hangga turun dari mobil. Lalu dari jarak yang sangat jauh itu, ia memperhatikan Nata dan Harum yang masih mengobrol.
“Tidak mungkin Harum dan Nata berteman. Harum belum sebulan berada di kota ini dan juga baru dua hari kembali bekerja. Nata pun sama, baru beberapa hari bekerja di Tangerang. Jadi, tidak mungkin jika keduanya saling mengenal,” gumamnya dalam hati.
Hangga mengambil ponsel yang ditinggalkan di dalam mobil lalu kembali menelepon Nata.
“Halo, Yang.”
“Iya, aku ke sana sekarang,” sahut Nata di ujung telepon.
Tidak menunggu lama, kekasih Hangga itu datang menghampirinya dengan wajah cemberut. Hangga lekas membukakan pintu mobil untuk Nata. Perempuan cantik itu masuk dan duduk manis di dalam mobil tanpa bersuara. Ia tengah kesal dengan Hangga.
Menyadari kekasihnya tengah merajuk, Hangga memilih mengendarai mobil dalam diam. Roda empat itu bekerja menggilas jalan, mengantarkan dua orang yang saling terdiam menuju tujuannya.
“Maafin aku ya,” ucap Hangga saat mereka telah sampai di depan rumah Melly. Untuk sementara ini, Nata tinggal menumpang di rumah sahabatnya sampai ia menemukan kontrakan yang cocok.
Ucapan Hangga menghentikan Nata yang hendak membuka pintu mobil. Nata menoleh menatap Hangga.
“Turun dulu, yuk! Kita minum teh dulu,” ajak Nata. Rupanya ucapan kata ‘maaf’ dari Hangga membuat hati Nata yang tengah kesal, luluh seketika.
“Oke,” balas Hangga menampilkan senyum manisnya. Hangga tahu betul, bahwa Nata sangat menyukai senyumannya.
Mereka berdua turun dari mobil. Nata mempersilakan Hangga untuk duduk di teras samping rumah Melly, setelahnya perempuan cantik mirip artis Korea itu masuk ke dalam rumah. Sementara Hangga duduk menunggu sembari memainkan game android favoritnya.
Saat tengah seru bermain game di ponsel, ada sebuah notifikasi pesan yang masuk dari nomor yang tidak dikenalnya. Hangga segera membuka pesan itu dari jendela layar.
08xxxxxxxxxx : [Assalamualaikum, Mas. Ini Harum. Mas Hangga apa mau makan malam di rumah?]
Ternyata pesan tersebut dari Harum. Hangga membaca pesan Harum dengan kening mengerut. Tumben sekali istrinya itu mengirim pesan. Sebuah tanya hadir dalam benaknya. Sejak kapan Harum menyimpan nomor ponselnya?
Setelah terdiam beberapa saat, Hangga akhirnya membalas pesan Harum. Balasan yang sangat singkat.
Hangga : [GAK]
“WA dari siapa, Yang?” tanya Nata yang datang membawa dua cangkir teh dalam nampan.
“Eh, bukan. Ini aku lagi main game,” sahut Hangga gugup. Ia segera menghapus room chat-nya dengan Harum tanpa menyimpan nomor istrinya itu terlebih dulu.
“Oh.” Nata meletakkan dua cangkir teh itu di atas meja bulat berwarna putih, lalu duduk menemani Hangga. “Yang, besok libur ‘kan?” tanyanya.
“Besok ‘kan Sabtu, jadi aku libur dong.” Hangga mengangkat cangkir dan menyeruput teh manis hangat buatan kekasihnya. “Kenapa? Kamu mau aku antar pulang?” tanyanya sembari meletakkan kembali cangkir di tempatnya semula.
“Enggak, aku besok enggak pulang. Besok kita cari kontrakan lagi ya. Aku enggak enak kalau kelamaan menumpang di rumah Melly,” ujar Nata.
“Oke. Siap,” sahut Hangga dengan senyum manisnya.
“Ih, kamu jangan senyum-senyum begitu. Teh aku udah manis nih, jangan bikin aku jadi diabetes gara-gara lihat senyum kamu,” gurau Nata yang mendapat balasan sebuah cubitan mesra dari Hangga di pipi mulusnya.
“Yang, kalau sampai minggu depan aku belum dapat kontrakan, gimana kalau aku tinggal di rumah kamu aja,” ujar Nata dengan senyum menggoda.
Hangga bergeming sembari menatap kekasihnya. Hatinya risau bukan main. Seandainya saja bisa, tentu sudah sejak dulu ia menikahi Nata dan membawanya tinggal bersama di rumah miliknya. Akan tetapi, tidak ada yang dapat dilakukannya. Terlebih statusnya kini sebagai suami Harum.
“Bercanda,” sela Nata di tengah gejolak batin Hangga.
Hangga menanggapi dengan tersenyum. Kemudian keduanya saling membisu beberapa jenak. Hangga dan Nata tengah berkelana dengan pikirannya masing-masing.
“Hubungan kita ini terlalu sulit untuk disatukan, tapi terlalu sakit untuk dilepaskan," ujar perempuan cantik itu sembari tersenyum getir dengan tatapan menerawang.
Hangga memandang wajah cantik kekasihnya dengan perasaan tidak karuan. Jauh di lubuk hatinya pun ia merasakan nelangsa. Hangga merasa dirinya pecundang karena tidak ada yang dapat dilakukannya untuk memperjuangkan cinta.
“Aku tidak tahu bagaimana nanti hubungan kita ke depannya. Yang jelas, aku sangat mencintaimu, Nata. Sangat mencintaimu,” lirih Hangga dalam hati sembari menatap sendu kekasih hatinya.
sungguh nikmat kn mas Hangga poligami itu 😈
yg bener nggak sadar diri
perempuan yang merendahkan diri sendiri demi cinta yg akhirnya di telan waktu