Terpaksa menikah karena persoalan resleting yang tersangkut pada rambut seorang gadis bernama Laras ketika Polisi Intel itu sedang melaksanakan tugas mengejar pengedar narkoba. Polisi Intel itu menyembunyikan identitasnya dari sang Istri, ia mengaku sebagai seorang Ojol. Karena gagal menyelesaikan tugasnya. Aliando Putra Perdana hendak dipindah tugaskan ke Papua.
Tanpa Ali sadari, ia sengaja dikirim ke sana oleh sang Ayah demi menghindari fitnah kejam dari oknum polisi yang menyalahgunakan kekuasan. Ada mafia dalam institusi kepolisian. Ternyata, kasus narkoba berhubungan erat dengan perdagangan manusia yang dilakukan oleh oknum polisi di tempat Aliando bertugas.
Ingat! Bukan cerita komedi, bukan pula dark romance. Selamat menikmati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pilips, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebenaran Dari Masa Lalu
Pagi menyapa dan Ali tidak tidur sama sekali. Laras bangun dengan mata belekan. Sementara Bella dan Baskara tertidur di satu ranjang yang sama.
Dini hari, ketika Bella bangun untuk memeriksa keadaan calon suaminya, tangannya di tarik lembut oleh Baskara dan meminta perempuan itu untuk berbaring di sisinya.
Tirai kamar menjadi pembatas antara ranjang dan sofa. Sehingga, ketika Laras mendorong tirai tersebut, ia menjadi iri melihat pemandangan manis yang tersedia di depan mata belekannya.
“Uh, Laras juga mau,” ujarnya kemudian segera bangun beringsut turun dari sofa dan mencari keberadaan Aliando.
Saat Laras membuka pintu, ia melihat suaminya terduduk merenung. Pasti kerena insiden semalam.
Ketika Laras mendekat dan duduk di samping suaminya. Matanya sontak melebar mendapati perut sang Suami terbalut kain kasa lagi.
Entah sudah berapa kali perut suaminya menjadi sasaran benda tajam. Ingin sekali Laras memasang baju anti sayatan dan juga peluru untuk membungkus tubuh suaminya.
“Mas Al?! Ini kenapa lagi?” beo Laras panik.
“Eh?” lamunan Ali terhenti dan ia sedang berhutang penjelasan pada istri kecilnya. “Tidak apa, ‘kok, hanya hal biasa.”
“Biasa apanya sih, Mas?!” Laras cepat-cepat menuju meja perawat dan meminta salah satu petugas mengikuti dirinya.
“Tolong, ya,” ujar Laras pada perawat yang dia bawa.
“Aku gak apa-apa, sayang. Beneran.”
“Gak! Pokoknya, Mas Al harus periksa lagi.” Mulut Laras mencebik dan perintahnya tidak dapat diganggu gugat lagi.
Kini, Ali dan Laras beserta dua orang perawat sedang mengobati luka Aliando. Karena Ali hanya mendapatkan pertolongan pertama, lukanya pun kelihatan benyek dan perlu untuk segera dijahit.
“Kok, bapak gak bilang semalam kalau bapak luka?” tanya perawat dengan wajah ramah namun khawatir.
“Saya gak apa-apa, sus.”
“Gak apa-apa, gimana? Itu lukanya sedikit menganga, loh!” sergah Laras dengan alis mengeriting sempurna.
Ali menghela napas. Saat itu juga, ia meraih tangan mungil istrinya. “Makasih, yaaa, udah perduli sama Mas.”
Ke dua perawat tersebut saling pandang. Merasa iri melihat keromantisan pasutri tersebut. Benar kata orang, ketika kamu iri sama orang lain, ada seseorang lain pun yang akan iri padamu. Dalam artian, iri bukan tanda benci, melainkan iri karena dia ingin seperti itu juga. Maka dari itu, gak usah iri, hehe.
“Ekhm,” deham perawat tersebut, “misi, Pak Al …, lukanya mau saya jahit, Anda bisa berbaring sebentar?”
“Oh, tentu.”
Mengapa Aliando berusaha untuk tidak diobati, karena ia takut jarum suntik!
Ketika perawat tersebut mulai mengarahkan ujung jarumnya mendekat ke perut Ali, polisi intel itu menutup matanya rapat. Ujung kain sprei diremasnya.
Laras yang melihat ketakutan suaminya segera memegang lengan kekar tersebut kemudian berbisik ke telingan sang Suami. “Itu cuma jarum suntik, Mas. Saat kamu suntik aku beberapa malam yang lalu, aku tahan, ‘kok, hehe.”
Mata Ali segera terbuka, ia menoleh pada istrinya. “Wuih, nakal kamu, yaaa,” senyumnya mengembang.
Tanpa pria itu sadari, jarum suntik sudah masuk ke dalam daging dan aliran darahnya. Syukurlah, perhatiannya teralihkan.
Perawat pun mulai menjahit perlahan luka kecil Aliando yang menganga. Laras selalu setia di sampingnya untuk menemani.
Karena Ali melihat bekas belek istrinya yang begitu banyak, dengan santai polisi intel tersebut megusap lembut belek di mata istrinya. “Gak cuci muka aja tetep cantik.” Puji Aliando sambil terus membersihkan belek.
Lagi-lagi, perawat tersebut merasa iri, suami macam mana yang mau membersihkan kotoran mata istrinya? Ini mah, cinta mati namanya.
“Hehe, hidung Laras gatel, Mas. Bersihin juga, dong.”
“Sini, deket.” Sambil Ali dijahit lukanya, ia meminta satu kapas pada perawat. Kemudian, ia mulai membersihkan tahi hidung Laras dengan seksama. “Ih, banyak, ih …, kamu ingusan, ya, sayang?”
“Uh, engga. Mungkin karena ac di ruangan kak Bass dingin banget.”
Perawat be like ‘astaganaga! Dapat suami seperti Pak Ali di mana, Ya Tuhan?!
***
Baskara dan Ali saling sepakat untuk menyelidiki berdua saja mengenai Prass. Untuk urusan Andra, mereka berniat untuk menjebak pria itu dan menangkpanya dalam keadaan hidup-hidup.
“Jadi, apa rencana lo?” tanya Baskara dengan serius.
“Kita pancing pakai video ini. Karena dia udah tahu kamu, aku yang akan urus Prasetyo biar dia tinggal sama aku disaat kamu menjalankan rencana kita.”
“Oke.”
“Tapi …, kamu beneran baik-baik saja?” Ali menelisik seluruh tubuh Baskara. Ia mau memastikan jika adik angkatnya itu sudah dalam kondisi baik untuk bergerak.
“Oke aja, lah!” Baskara bersikeras untuk menangkap Andra yang telah membuatnya seperti ini. Ia bertekad untuk memukul Andra hingga babak belur ketika ia berhasil mendapatkannya.
Namun, di dalam ruangan kepala polisi bernama Chandra tengah menatap nanar ke arah bangunan tua bekas sel tahanan di masa lalu ketika ia masih berstatus sebagai polisi berpangkat rendah.
Mata keriput itu perlahan tertutup dan ingatannya mulai mengembara jauh ke masa lalu. Ketika itu, saat Pak Edgar tertangkap karena semua bukti sudah terungkap, orang tua berwajah memerah tersebut meminta pada Chandra muda untuk menjadikan cucunya sebagai anak angkatnya.
“Jika kamu benar menghargai saya sebagai atasan. Selamatkan identitas cucu saya.”
Chandra muda tertunduk menitikkan air matanya. Bukan karena ia sedih kehilangan kepala polisi jahat tersebut, melainkan, ia sedih melihat keluarga Pak Edgar ikut menjadi bulan-bulanan semua warga.
Istri, anak, dan cucunya terkena sanksi sosial. Karena cucu laki-laki kesayangan Edgar masih berusia 14 tahun, bocah SMP yang perjalanan hidupnya masih begitu panjang. Edgar yang gila meminta polisi berpangkat rendah tersebut untuk membantunya.
“Tapi dia tidak akan mau ikut bersama saya, Pak!” seru Chandra muda tanpa berani menaikkan kepalanya.
“Bawa dia ke psikolog langganan saya!” Pak Edgar membuang selembar kartu nama.
Ketika Chandra muda memungutnya, ia sudah dipastikan untuk segera membawa cucu kepala polisi tersebut bersamanya.
“Namanya Pradipta. Sekolah di SMP Cakra Buana, kelas 9 A. Cucuku yang paling berprestasi, penurut, dan juga tampan. Ingat, Chandra …, jika kau merawatnya dan menjadikan dia seperti putramu sendiri, aku akan memastikan, di masa depan, kau akan merasakan bagaimana rasanya duduk di singgasana ini.” Edgar menepuk-nepuk kursi empuk berkaki tiga roda tersebut.
Pak Edgar lalu berdiri dan mempersiapkan dirinya untuk keluar dari ruangan. Hari dimana semua kebusukannya terbongkar dengan bukti akurat.
Disaat yang sama ketika Pak Edgar keluar. Chandra muda segera bergerak. Sempat ia menoleh, matanya menangkap sosok polisi sepantaran dirinya, dialah Abraham. Polisi muda yang berhasil membongkar seluruh kejahatan Pak Edgar. Ketika ia melihat bos kurang ajarnya diborgol, Chandra segera pergi dan menuju sekolah cucu kesayangan kepala polisi itu.
Singkat cerita, Pradipta remaja berhasil dibawa pergi dan memori otaknya digantikan dengan entitas baru, sehingga ingatan masa lalunya menghilang. Terbitlah kehidupan baru seorang Pradipta menjadi putra satu-satunya dari Pak Chandra.
“Papi!” Serbu Pradipta remaja memeluk erat pria dewasa yang ia sangka adalah sang Ayah.
Chandra tersenyum getir ketika ia dipeluk oleh cucu bos kepala polisi yang sudah ditangkap. Chandra muda bertekad untuk merawat Pradipta dan menjadikannya berbeda dari Pak Edgar serta keturunannya.
Chandra muda melepaskan pelukan lalu memegang teguh ke dua pundak Pradipta remaja. “Kamu ingat nama kamu, ‘kan?”
“Hmmm.” Angguk Pradipta remaja. “Namaku …, Prasetyo Teguh Panglima.”
Pak Chandra mendengus dan mengeratkan jemarinya meremas ujung meja kerjanya ketika ia kembali pada kenyataannya saat ini.
Napas tersengal, matanya basah dan juga merah. “Darah dingin ternyata sudah menyatu dalam tubuhnya. Sekeras apa pun aku mencoba, hasilnya akan tetap sama.” Pak Chandra tak kuasa lagi menahan air matanya.
Dalam sepi, ia berharap kalau putra angkat yang begitu ia sayangi tidak melakukan hal fatal lebih jauh lagi. Pak Chandra tertunduk dalam, bersandar di sisi meja kerjanya. “Hiks, ya ampun, Prass …, Papi sayang sama kamu, Nak. Tolong hentikan kegilaan ini.”