"Aku memang lebih muda darimu, Elea," bisik Darren dengan suara rendah, nyaris berdesir di telinganya. Napas hangatnya menggelitik kulit Elea, membuat tubuhnya tanpa sadar bergetar. "Tapi, aku tetaplah seorang pria normal," lanjutnya, suaranya penuh keyakinan, meninggalkan ketegangan yang menggantung di antara mereka.
***
Darren Alaric Everleigh, pewaris tunggal sebuah perusahaan besar, memutuskan untuk menjalani kehidupan yang berbeda. Menyamar sebagai karyawan biasa, ia masuk ke perusahaan milik keluarganya tanpa seorang pun tahu siapa dirinya sebenarnya. Namun, hidupnya berubah saat ia ditempatkan sebagai asisten Elea Victoria Whitmore.
Elea adalah seorang wanita pekerja keras yang diam-diam menyimpan mimpi besar. Namun, mimpi itu selalu dihancurkan oleh suaminya, Adrian, seorang pria yang tidak pernah mendukungnya. Di tengah tekanan pekerjaan dan pernikahan yang dingin, Elea menemukan kenyamanan dalam kehadiran Darren—seorang asisten muda yang penuh perhatian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jealousy in The Air
Pagi di Birmingham dimulai dengan suasana sibuk di lobi hotel. Elea, dengan setelan blazer rapi dan rambutnya diikat rapi, sudah siap untuk menghadapi hari kedua di proyek ini. Darren, di sisi lain, muncul dengan senyum lebar dan pakaian yang terlihat kasual namun tetap profesional.
"Selamat pagi, bos!" sapa Darren ceria, mengabaikan tatapan tajam Elea. "Tidur nyenyak tadi malam?"
Elea memandangnya sekilas, lalu melangkah menuju pintu keluar hotel. "Kita akan terlambat jika kau terus bercanda seperti ini," katanya dingin, meskipun ia tahu Darren hanya mencoba membuat suasana lebih ringan.
Di dalam mobil yang membawa mereka ke lokasi klien, Darren duduk di samping Elea. Tim lain berbicara dengan antusias tentang strategi hari ini, tetapi Darren hanya diam, sesekali melirik Elea yang sibuk dengan dokumennya.
"Kau tahu," katanya tiba-tiba, membuat Elea menoleh. "Aku suka ketika kau serius seperti ini. Itu membuatku merasa seperti berada di dekat seseorang yang tahu segalanya."
Elea menghela napas. "Darren, fokuslah pada pekerjaanmu. Aku tidak butuh pujian kosong."
"Tapi itu bukan pujian kosong," balas Darren, suaranya lebih lembut. "Aku benar-benar serius."
Untuk pertama kalinya, Elea merasakan sesuatu yang tulus dalam kata-kata Darren. Ia tidak tahu harus berkata apa, jadi ia memilih untuk kembali melihat dokumennya, membiarkan kata-kata Darren menggantung begitu saja.
***
Hari itu berjalan dengan baik. Elea memimpin timnya dengan tegas, memastikan setiap detail proyek diselesaikan dengan sempurna. Darren, meskipun sering terlihat santai, sebenarnya sangat membantu, bahkan membuat beberapa saran yang cukup cerdas selama rapat.
Namun, saat sore menjelang, Elea mulai merasa lelah. Ia duduk di ruang istirahat, memijat pelipisnya sambil menunggu tim menyelesaikan beberapa dokumen.
Darren datang, membawa dua cangkir kopi. "Kau terlihat seperti seseorang yang butuh ini," katanya sambil menyerahkan satu cangkir.
Elea menerima kopi itu tanpa banyak bicara, tetapi ada sesuatu dalam matanya yang terlihat lebih lembut. "Terima kasih," katanya pelan.
Darren duduk di sampingnya, memandangnya dengan senyum kecil. "Kau tahu, Elea, aku benar-benar kagum padamu. Kau tidak hanya pintar dan kuat, tetapi juga sangat peduli pada orang-orang di sekitarmu."
Elea menatapnya, bingung dengan nada serius Darren. "Darren, apa yang sebenarnya kau inginkan?"
Darren hanya tersenyum, tetapi kali ini, senyumnya penuh misteri. "Mungkin aku hanya ingin kau tahu bahwa kau tidak harus selalu melakukan segalanya sendiri."
***
Restoran itu memiliki suasana yang elegan namun tidak terlalu formal. Lampu gantung kristal memancarkan cahaya lembut yang menyapu setiap sudut ruangan, sementara musik jazz instrumental dimainkan pelan di latar belakang. Para tamu berbicara dengan suara yang rendah, menciptakan atmosfer eksklusif. Meja-meja diatur rapi dengan taplak putih bersih, dihiasi lilin kecil yang menyala di tengah. Jendela besar di sisi ruangan memperlihatkan gemerlap lampu kota London di malam hari.
Di salah satu sudut, Elea dan timnya sedang duduk bersama seorang klien penting. Oliver Harrington, pria paruh baya dengan senyuman karismatik dan selera humor yang memikat, memimpin diskusi. Oliver adalah CEO dari salah satu perusahaan konstruksi terbesar di London, dan ia jelas tertarik untuk bekerja sama dengan perusahaan Elea. Tetapi Darren, yang duduk tepat di sebelah Elea, dengan cepat menyadari bahwa perhatian Oliver tidak sepenuhnya tertuju pada bisnis.
“Elea, saya harus katakan,” kata Oliver sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi, menyesap anggur merah di tangannya. “Pendekatan Anda terhadap angka dan analisis benar-benar mengesankan. Tidak banyak orang yang bisa membuat sesuatu yang serumit itu terdengar begitu sederhana. Itu bakat, Anda tahu.”
Elea tersenyum sopan, berusaha tetap profesional. "Terima kasih, Mr. Harrington. Saya percaya bahwa bagian dari pekerjaan kami adalah memastikan klien memahami semua aspek, sehingga tidak ada kejutan di kemudian hari."
Oliver tertawa kecil, matanya tak lepas dari Elea. "Sangat tepat. Saya berharap semua orang memiliki dedikasi seperti Anda."
Darren, yang sejak awal sudah merasa gelisah, mengamati interaksi itu dengan tatapan datar. Namun, jari-jarinya mengetuk meja dengan ritme tak sabar, sebuah kebiasaan kecil yang muncul setiap kali ia merasa tidak nyaman. Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, menyela dengan suara tenang namun tegas.
"Elea memang sangat berdedikasi," katanya, nada suaranya terdengar santai, tetapi ada sedikit nada tajam di ujungnya. "Dia selalu memastikan semuanya sempurna. Tapi saya rasa Anda sudah tahu itu dari laporan-laporan yang kami kirimkan sebelumnya, bukan, Mr. Harrington?"
Oliver melirik Darren, tersenyum ramah. "Tentu saja, Darren, bukan? Anda salah satu anggota tim Elea, ya?"
"Betul," Darren menjawab cepat, sedikit menekankan kata tim. "Saya sudah banyak belajar dari Elea. Dia adalah pemimpin yang luar biasa."
Elea melirik Darren sekilas, merasa ada sesuatu yang berbeda dalam nada suaranya, tetapi ia memilih untuk tidak menanggapi. Sebaliknya, ia kembali fokus pada Oliver. "Jadi, Mr. Harrington, bagaimana menurut Anda tentang proposal kami? Ada hal yang ingin Anda tambahkan?"
Namun, sebelum Oliver sempat menjawab, ia menatap Elea dengan pandangan yang sedikit lebih personal. "Tolong, panggil saya Oliver saja. Dan jujur saja, Elea, proposal ini hampir tidak perlu ada revisi. Tetapi saya ingin memastikan bahwa kita memiliki komunikasi yang lebih intens. Anda tahu, mungkin dengan pertemuan lanjutan... secara langsung."
Elea menegang sedikit, tetapi ia tetap mempertahankan senyum profesionalnya. "Tentu saja, Oliver. Kami bisa menjadwalkan pertemuan sesuai kebutuhan Anda."
Sementara itu, Darren bersandar di kursinya, tangannya bersilang di dada. Tatapannya tajam, dan bibirnya sedikit menyunggingkan senyuman sinis. "Sepertinya Oliver sangat terkesan dengan Anda, Elea. Saya rasa kita semua harus lebih banyak belajar darinya tentang bagaimana menyampaikan apresiasi."
Elea menoleh ke Darren dengan tatapan tegas. "Darren, fokus pada diskusi ini, tolong."
Darren mengangkat bahunya, berpura-pura polos. "Saya hanya memuji, Elea. Tidak salah, kan?"
Oliver tertawa kecil, tidak menyadari ketegangan yang perlahan terbentuk. "Saya harus setuju dengan Darren. Elea, Anda memang memiliki kepribadian yang menarik. Saya penasaran, bagaimana Anda bisa mengelola semuanya? Karier, tanggung jawab, dan, saya asumsikan, kehidupan pribadi juga."
Elea tersenyum tipis, tetapi ada ketegangan dalam sorot matanya. "Saya hanya mencoba memberikan yang terbaik di setiap aspek kehidupan saya."
Darren, yang sudah tidak bisa menahan dirinya lagi, bersandar ke meja dengan dagu di tangannya. "Tentu saja. Elea adalah paket lengkap. Profesional, berdedikasi, dan..." Ia menatap Elea dengan pandangan menggoda. "...sangat bijaksana."
Elea menahan napas, jelas merasa terganggu dengan komentar Darren. "Darren, kita sedang dalam pertemuan resmi."
"Maaf, Elea," Darren menjawab dengan nada pura-pura menyesal. "Aku hanya ingin memastikan klien kita tahu betapa beruntungnya mereka bekerja denganmu."
Oliver menatap Darren dengan tatapan sedikit penasaran sebelum akhirnya melirik Elea. "Anda memiliki tim yang sangat suportif, Elea. Itu jelas kelebihan besar."
Elea hanya tersenyum kecil, mencoba mengalihkan perhatian kembali ke topik bisnis. Tetapi di dalam hatinya, ia merasa terganggu dengan sikap Darren, meskipun ia tidak bisa benar-benar memahami alasannya.
Setelah pertemuan berakhir, Elea berdiri untuk menjabat tangan Oliver. "Terima kasih atas waktu Anda malam ini, Oliver. Kami akan menindaklanjuti diskusi ini dalam beberapa hari ke depan."
"Terima kasih juga, Elea," jawab Oliver, matanya menatap Elea sedikit lebih lama dari yang seharusnya. "Saya menantikan kerja sama kita."
Ketika Oliver akhirnya pergi, Elea menarik napas panjang, merasa lega. Tetapi sebelum ia sempat mengatakan apa pun, Darren berbicara dengan nada menggoda.
"Dia sangat menyukaimu, kau tahu. Kalau dia bukan klien, mungkin dia sudah mengajukan tawaran makan malam romantis."
Elea menatap Darren dengan tajam. "Darren, kau tahu aku sudah menikah."
Darren hanya mengangkat bahunya, tetapi senyum tipis di wajahnya menunjukkan bahwa ia belum selesai. "Ya, tapi aku tidak melihat Adrian di sini. Lagipula, dia tidak meneleponmu malam ini, kan?"
"Sudah cukup," kata Elea dengan nada dingin, matanya berkilat marah. "Ini pekerjaan, Darren. Jangan buat suasana menjadi tidak profesional."
Darren menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum kecil, seolah puas telah memancing emosi Elea. "Tentu, bos. Aku hanya bercanda."
Namun, saat mereka berjalan keluar restoran bersama, tatapan Darren menjadi lebih serius. Ia tidak bisa menyingkirkan perasaan cemburu yang membakar di dadanya. Meski ia tahu Elea mencintai Adrian, ia tidak bisa menahan dirinya untuk berharap, meskipun hanya sedikit, bahwa ia memiliki kesempatan untuk mengubah perasaan itu.
***