Renjana, seorang gadis muda yang baru saja pindah ke kota kecil Manarang, mulai bekerja di panti asuhan Widarpa, sebuah tempat yang tampaknya penuh dengan kebaikan dan harapan. Namun, tak lama setelah kedatangannya, ia merasakan ada yang tidak beres di tempat tersebut. Panti asuhan itu, meski terlihat tenang, menyimpan rahasia gelap yang tak terungkap. Dari mulai bungkusan biru tua yang mencurigakan hingga ruangan misterius dengan pintu hitam sebagai penghalangnya.
Keberanian Renjana akan diuji, dan ia harus memilih antara melarikan diri atau bertahan untuk menyelamatkan anak-anak yang masih terjebak dalam kegelapan itu.
Akankah Renjana berhasil mengungkap misteri yang terkubur di Widarpa, atau ia akan menjadi korban dari kekuatan jahat yang telah lama bersembunyi di balik pintu hitam itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
WIDARPA 04
Renjana menarik napas dalam-dalam saat memikirkan ibunya yang telah meninggal sebulan yang lalu. Kehilangan itu masih terasa begitu segar dalam ingatannya. Setiap kenangan bersama ibunya—canda tawa, nasihat, bahkan kehadirannya yang selalu ada di sisi—seakan mengikutinya kemanapun ia pergi. Meski demikian, hidup harus terus berjalan. Kepergian ibunya meninggalkan banyak luka, tetapi juga mendorongnya untuk mencari tempat baru, sebuah kehidupan yang baru.
Seminggu setelah pemakaman ibunya, Renjana bertemu dengan Mbak Sulastri, seorang kenalan lama yang mengenalnya sejak kecil. Sulastri, yang telah lama tinggal di luar kota, memberinya sebuah ide yang begitu menggugah hati. Dia bercerita tentang sebuah panti asuhan anak yang baru dibangun dua tahun lalu di sebuah kota kecil bernama Manarang. Panti asuhan itu sedang membuka lowongan pekerjaan, dan Sulastri meyakinkannya bahwa pekerjaan itu bisa menjadi kesempatan yang baik untuk memulai hidup baru.
“Di sana, kamu bisa bekerja dengan anak-anak. Mereka membutuhkan seseorang yang penuh kasih sayang dan perhatian,” ujar Sulastri dengan senyuman hangat. “Kamu bisa memulai hidup baru, jauh dari ingatan-ingatan lama.”
Renjana tidak langsung menerima tawaran itu, tetapi kata-kata Sulastri terus berputar di kepalanya. Kehidupan di kota besar yang penuh hiruk-pikuk, penuh kenangan pahit, semakin membuatnya merasa terperangkap. Menjadi seorang pengasuh di panti asuhan di sebuah kota kecil mungkin terdengar sederhana, tetapi ide itu mulai memberi secercah harapan. Dia merasa, mungkin ini adalah langkah yang harus diambil untuk melanjutkan hidupnya, untuk memberikan perhatian kepada anak-anak yang membutuhkan, dan pada saat yang sama, menemukan ketenangan untuk dirinya sendiri.
Sulastri terus meyakinkannya bahwa di Manarang, ia akan menemukan kehidupan yang lebih sederhana namun penuh arti. "Kota itu tidak besar, tetapi kamu akan merasa diterima. Pekerjaan ini bisa memberikanmu kesempatan untuk menyembuhkan diri, untuk bertumbuh lagi," kata Sulastri.
Renjana menatap jauh ke depan, menatap langit biru yang terbentang luas di atas pelabuhan Manarang. Meskipun baru saja tiba di kota kecil ini, perasaan yang mengaduk di hatinya sudah mulai mereda. Perjalanan panjang yang ia tempuh menuju kota ini bukanlah perjalanan fisik semata, tetapi juga perjalanan hati yang penuh dengan kenangan, kehilangan, dan pencarian diri.
Ia hanya lulusan SMA, dan tak banyak pengalaman kerja di luar pekerjaan sebagai pengasuh bayi yang ia tekuni selama dua tahun di Kota Besar. Renjana mengenal dunia perawatan anak dengan baik—mengganti popok, menenangkan bayi yang menangis, memberi makan, dan menjaga mereka dengan penuh kasih. Dua tahun itu adalah masa yang penuh dedikasi bagi Renjana, tetapi itu juga adalah waktu yang penuh dengan tantangan. Pekerjaan itu membuatnya merasa dibutuhkan, namun di sisi lain, ia sering merasa kesepian. Namun, semua itu berubah ketika kondisi ibunya semakin parah.
Setahun yang lalu, ibunya didiagnosis mengalami gagal ginjal stadium akhir. Renjana menghabiskan banyak waktu merawat ibunya, berusaha mencari pengobatan terbaik, dan mendampingi ibunya yang semakin lemah. Meskipun Renjana masih muda, tanggung jawab yang dipikulnya sangat besar, dan ia tahu betul bahwa ia harus berada di sisi ibunya. Ia berhenti bekerja untuk fokus pada perawatan ibunya, karena cinta dan perhatian adalah yang paling dibutuhkan ibunya pada saat-saat terakhir.
Namun, meskipun ia berusaha semampunya, ibunya akhirnya meninggal. Kehilangan itu begitu mendalam, dan Renjana merasa seperti kehilangan arah. Tanpa ada siapa-siapa lagi yang bisa ia andalkan, hidup terasa sangat sunyi. Ayahnya sudah lama hilang sejak Renjana masih kecil, meninggalkannya bersama ibunya yang sakit. Kehilangan ayah di masa kecil sudah cukup membuatnya merasa terabaikan, tetapi kini kehilangan ibunya, satu-satunya keluarga yang ia punya, membuatnya merasa benar-benar sepi.
Renjana mengingat betapa kerasnya perjuangan ibunya untuk menghidupi mereka berdua. Ibunya bekerja tanpa kenal lelah, dari pagi hingga malam, demi memberi Renjana kehidupan yang layak meski mereka hidup dalam keterbatasan. Setelah ayahnya meninggalkan mereka saat Renjana masih sangat kecil, ibunya menjadi satu-satunya orang yang ia miliki, satu-satunya orang yang bisa ia andalkan. Semua yang dilakukan ibunya adalah untuk memastikan Renjana bisa bertahan hidup, meskipun tanpa bantuan dari pihak lain.
Ketika ibunya jatuh sakit, Renjana merasa seolah-olah dunia berhenti berputar. Gagal ginjal stadium akhir adalah diagnosis yang sangat mengerikan. Renjana, meskipun masih muda dan belum punya banyak pengalaman hidup, tahu bahwa ia harus melakukan segala cara untuk menyembuhkan ibunya. Selama setahun penuh, ia bekerja keras, mengumpulkan uang dengan apa yang ia miliki—menjadi pengasuh bayi, membantu pekerjaan rumah tangga, dan menerima pekerjaan apapun yang bisa menambah penghasilan. Setiap sen yang ia dapatkan, ia kumpulkan dengan harapan bisa membawa ibunya ke rumah sakit terbaik, bisa memberikan pengobatan yang lebih baik. Namun, meskipun Renjana sudah berusaha semampunya, takdir berkata lain. Ibunya pergi, meninggalkan Renjana dengan segala rasa sakit yang sulit dijelaskan.
Setelah pemakaman ibunya, Renjana merasa seolah hidupnya terhenti. Tak ada lagi yang bisa ia perjuangkan. Ibunya adalah segalanya, dan sekarang ia harus menghadapinya sendirian. Untuk beberapa waktu, Renjana merasa hampa, seperti berjalan tanpa arah, kehilangan semangat dan kepercayaan diri. Meski ia tahu ia harus melanjutkan hidup, setiap langkah terasa begitu berat. Ibunya yang dulu selalu ada untuknya, kini hanya menjadi kenangan yang semakin mengganggu hatinya.
Setelah seminggu berkabung, Renjana mulai memutuskan untuk mencari pekerjaan. Dia tahu, untuk bertahan hidup, ia harus segera mencari cara. Ia melamar pekerjaan di berbagai tempat—restoran, toko, bahkan panti asuhan. Namun, kenyataan yang ia hadapi sangat pahit. Setiap lamaran yang dia kirimkan, setiap tempat yang dia datangi, tak pernah membuahkan hasil. Renjana semakin merasa putus asa. Ia sudah berusaha sebaik mungkin, tetapi kenyataannya lebih keras dari yang ia bayangkan.
Setiap penolakan itu semakin menambah beban di hatinya. Ia mulai merasa bahwa dunia ini seakan menutup semua pintu untuknya. Tanpa pendidikan formal yang memadai, tanpa banyak keterampilan, dan tanpa keluarga yang bisa mendukung, Renjana merasa terjebak dalam kehidupan yang penuh kesulitan.
Setelah ibunya meninggal, tak hanya rasa kehilangan yang menggerogoti hatinya, tetapi juga masalah keluarga yang tak pernah ia duga sebelumnya. Bibi Karsih dan suaminya datang dengan alasan yang sangat jelas—mereka ingin menguasai rumah yang selama ini menjadi tempat tinggal Renjana. Rumah itu memang cukup besar, dengan lima kamar tidur, dan meskipun Renjana merasa nyaman tinggal di sana bersama ibunya, dia tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa rumah itu sepertinya terlalu besar untuk dia yang kini tinggal seorang diri.
Bibi Karsih, bersama suaminya dan keempat anak mereka, datang dengan alasan yang terdengar begitu mudah diterima. Mereka mengatakan bahwa sangat disayangkan rumah itu kosong dan tidak dimanfaatkan dengan baik hanya oleh Renjana yang hidup sendirian. Mereka menjelaskan bahwa anak-anak mereka membutuhkan ruang yang lebih besar dan bahwa rumah itu lebih cocok untuk keluarga mereka yang ramai. Suasana keluarga yang ramai dan penuh tawa—sebuah hal yang sangat kontras dengan kesunyian yang selalu ada di rumah Renjana sejak ibunya meninggal.
Namun, bagi Renjana, itu bukanlah hal yang bisa diterima begitu saja. Ia merasa seperti tak ada tempat lagi untuk dirinya. Rumah itu adalah satu-satunya tempat yang menyimpan kenangan bersama ibunya. Tempat yang penuh cinta dan kesedihan. Bahkan, saat ia berusaha untuk bertahan, rasa sakit itu tak pernah hilang. Dan kini, setelah semua yang ia lalui, ia harus kehilangan tempat itu, tempat yang terasa begitu pribadi baginya.
Renjana merasa muak dan kecewa. Setiap percakapan dengan bibi Karsih dan suaminya seakan menguras tenaganya. Mereka berbicara seolah rumah itu bukan milik Renjana, melainkan milik bersama, dan bahwa Renjana hanya kebetulan tinggal di sana. Dengan setiap perkataan mereka, hati Renjana semakin terasa terhimpit, seolah tak ada ruang untuk dirinya di dunia ini. Tidak ada ruang untuk kenangan, tidak ada ruang untuk kesedihan, dan bahkan tidak ada ruang untuk dirinya sendiri.