"Jatuhkan mobilnya ke jurang sekarang juga!" Dalian mendorong pundak Ayah.
Jalanan licin membuat mobil tergelincir.
"Kyaaa!!!"
Semua orang menjerit saat mobil melaju liar menuju tepi jurang hingga ke dalam.
"Jedderr!! Jedderr!!" Petir menyambar.
Seakan meramalkan malapetaka yang akan datang.
Dan dalam kekacauan itu, terdengar suara di tengah hujan dan petir, suara yang hanya Dalian yang bisa dengar.
"Selamat datang, gadis berambut hitam."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kayaaa!!!
"Tak kusangka. Akhirnya, gadis itu telah menunjukkan kekuatannya."
Kaya berdiri di pucuk sebuah pohon besar yang tumbuh di puncak gunung. Angin malam berdesir lembut, membawa aroma tanah basah dan dedaunan.
Lautan awan membentang luas di bawahnya, seolah-olah dunia di bawah telah tertutup oleh selimut putih yang tak berujung.
Malam ini terasa begitu tenang setelah apa yang telah terjadi, namun hatinya tetap bergejolak. Dia memandangi cakrawala, lalu menghela napas panjang.
Keheningan malam tidak mampu meredakan kegelisahan yang melingkupi dirinya. "Orion?" Gumamnya penuh ingin tahu.
Kaya termenung, mengesampingkan pertemuannya yang tidak terduga bersama Orion. Kini, pikirannya melayang jauh ke masa lalu.
Bukan sekadar kenangan biasa, melainkan masa yang sangat jauh, ketika manusia masih hidup berdampingan dengan makhluk gaib seperti peri, jin, hantu, dan setan.
Dia, yang dulu adalah seorang manusia bernama Pandita Wakaya, pernah memiliki kehidupan yang jauh berbeda.
Pandita Wakaya adalah seorang saudagar pengelana. Bersama sahabat setianya, Argani, dia menjelajahi berbagai wilayah, menjajakan barang dagangan. Salah satu kenangan yang terus menghantuinya adalah pertemuannya dengan Malika.
"Malika..." bisiknya lirih, seakan memanggil kekasihnya yang jauh.
Malika adalah putri keturunan Turki, seorang wanita yang memikat hatinya sejak pertama kali Pandita menawarkan kain batik di istana.
Cintanya pada Malika begitu dalam, tetapi kenangan itu kini menjadi luka yang tak kunjung sembuh.
"Argani..." gumamnya, suaranya mengeras, berubah getir. "Sahabatku, pengkhianat yang tak kusangka. Dalang dari semua ini."
Pandita tidak pernah mengira bahwa sahabat yang selama ini dia percayai, Argani, akan menjadi musuh terbesarnya. Argani, yang memilih mundur demi melihat cintanya kepada Malika, ternyata menyimpan niat jahat yang lebih dalam.
"Malika, tunggu aku. Aku akan membawa gadis itu kepadamu," ucapnya penuh tekad, seakan berjanji pada dirinya sendiri. Kaya memejamkan mata, membiarkan tubuhnya beristirahat di atas cabang pohon.
Di tempat lain, Dalian telah tertidur pulas bersama keluarganya. Setelah pertarungan sengit melawan genderuwo, tubuhnya yang kelelahan terbaring di dekat Chelsey. Kaya yang membawanya ke sana, memastikan dia aman.
Malam terasa begitu panjang, seolah-olah waktu terhenti. Bulan menggantung di langit, diam tak bergerak, menjadi saksi bisu atas peristiwa yang terjadi. Tapi dalam tidurnya, Dalian mulai bermimpi.
Dia berada di sebuah pedesaan kuno. Suasana sunyi, tanpa penerangan listrik, hanya sinar rembulan yang temaram. Pakaian orang-orang yang dia lihat di sekitarnya adalah pakaian kuno, sederhana, dan usang.
"Tempat apa ini?" bisiknya bingung.
Tiba-tiba, seseorang menangkapnya dari belakang. Dalian terkejut, tubuhnya tertarik mundur dengan paksa. Suasana sekitarnya berubah menjadi gelap gulita. Makhluk-makhluk gaib bermunculan, mengelilinginya dengan tatapan mengancam.
Dia disekap, di dalam sebuah sangkar. Tangannya diikat, kakinya terbelenggu kuat. Mulutnya dibungkam dengan kain hitam. Hanya matanya yang tetap terbuka, menyaksikan kegelapan yang mengelilinginya.
"Tolong!"
Ingin dia berteriak, namun suara itu tak bisa keluar. Air matanya mengalir deras. "Di mana aku?"
Tiba-tiba terdengar suara teriakan. "Lepaskan dia! Lepaskan dia!"
Seorang pemuda berusaha melepaskan diri dari cengkeraman makhluk-makhluk gaib yang menahannya. Dia terus meronta, matanya penuh amarah dan kekhawatiran. "Lepaskan dia sekarang!"
Tawa besar terdengar, suara yang menggema dan mengerikan. "Hahaha! Berteriaklah sekeras yang kau mau. Kau tidak akan bisa mengubah nasibmu."
Dalian menangis, tubuhnya gemetar. "Apa yang terjadi? Ini sangat menakutkan!" pikirnya, hatinya berteriak dalam ketakutan yang tak tertahankan.
"Ayah... Ibu... Kio... Chelsey... Kaya...!" Air matanya semakin deras. "Kayaaa!!"
Suara besar itu kembali terdengar, dingin dan penuh ancaman. "Jika kau ingin menyelamatkannya, datanglah kembali dengan membawa seorang tumbal."
Mimpi itu semakin gelap, mencekam seperti malam tanpa ujung. Dalian merasakan hawa dingin menusuk tulangnya. Hanya suara langkah berat yang bergema, memantul di sekitar, menambah suasana ngeri yang menekan jiwanya.
Tiba-tiba, dari kegelapan, muncul sesosok makhluk tinggi menjulang. Tubuhnya kurus, dengan kulit keabu-abuan yang melilit tulang seperti kain kusut.
Matanya bersinar merah, menyala seperti bara api, menatap langsung ke arah Dalian yang terperangkap di dalam sangkar. Makhluk itu mendekat perlahan, suara seretan rantai menyertai setiap langkahnya.
"Hehehe... Kau ketakutan, ya?" suara makhluk itu parau, menyerupai bisikan yang menggores gendang telinga. "Akan kubiarkan kau merasakan rasa takut itu... hingga jiwamu hancur."
Dalian menggigil, tubuhnya kejang, keringat dingin membasahi wajahnya. Dia ingin menjerit, tetapi suara masih tertahan di tenggorokan, hanya isakan kecil yang terdengar.
Makhluk itu mendekat hingga wajahnya hampir menyentuh sangkar. Bau busuk dan anyir menguar dari mulutnya yang penuh gigi tajam. "Siapa yang akan menyelamatkanmu, anak manusia? Tidak ada... Tidak ada yang peduli."
Dalian merasa jantungnya berdebar keras dalam kegelapan mimpi itu. Nafasnya sesak, seolah setiap tarikan udara dipenuhi racun yang tak terlihat.
Dia memandang sekeliling, tetapi hanya kehampaan yang menyambutnya. Suara tawa besar tadi masih menggema di telinganya, membuat bulu kuduknya meremang. Namun, suara itu memudar, digantikan oleh bisikan lembut dan mengerikan.
"Dalian... kau bukan siapa-siapa, tapi kau akan menjadi segalanya..."
Dalian berusaha menutup matanya erat, berharap pendengarannya ikut tertutup. Tapi suara itu terus menyusup, seakan berasal dari pikirannya sendiri.
Suasana menjadi semakin aneh. Angin dingin menusuk tulang, membawa bisikan samar yang menyebut namanya berulang kali. Dia merasa seperti diintai, namun tidak ada sosok yang terlihat.
"Dalian... Dalian..."
"Kau mencari jawaban, tetapi jawabannya adalah kutukan."
"Kaya telah memilihmu," bisiknya. "Kau adalah tumbal yang sempurna."
Dalian berteriak dalam mimpi itu, namun tidak ada suara yang keluar. Tubuhnya bergetar hebat, dan dia merasa seperti jatuh ke dalam jurang tanpa dasar.
Di tengah keputusasaan, suara langkah lain terdengar. Kali ini lebih lembut, namun penuh otoritas. Makhluk itu menghentikan gerakannya, seolah terganggu.
Dari kegelapan, muncul sosok berjubah putih panjang. Wajahnya tertutup kabut, namun auranya memancarkan kekuatan yang aneh. Terlihat tangannya membawa tongkat.
"Sudah cukup," suara sosok berjubah itu lembut, namun tegas, seperti angin sejuk yang menusuk tulang. "Dia bukan untukmu."
"Kau selalu datang di saat yang tidak kuinginkan," gumam suara tanpa sosok itu.
Sosok berjubah menoleh ke arah Dalian yang masih terperangkap. "Tenanglah, kamu bukan miliknya," ujarnya lagi, lalu dengan satu gerakan tangan, tali-tali yang mengikat Dalian perlahan melonggar.
Namun, sebelum Dalian bisa merasakan kelegaan, sosok berjubah itu membisikkan sesuatu yang membuat darahnya kembali membeku. "Ini belum berakhir... Kau harus bersiap. Mimpi ini hanya permulaan."
Sekeliling Dalian berubah. Kegelapan memudar, berganti menjadi padang rumput kering yang luas. Angin dingin bertiup kencang, membawa suara bisikan yang tak dapat dimengerti.
Dalian terjatuh, lututnya gemetar, tangannya mencakar tanah yang terasa dingin dan mati. "Apa yang terjadi? Apa maksud semua ini?"
Di kejauhan, terdengar suara tawa kecil—bukan dari makhluk yang menyeramkan, tetapi tawa seorang gadis kecil. Dia muncul, berdiri di bawah pohon mati, rambutnya panjang dan kusut, mengenakan gaun putih yang kotor dan robek.
"Mainkan permainan ini, atau kau akan kehilangan segalanya," katanya dengan nada ceria, namun kosong. "Waktumu hampir habis, Dalian."
Dalian membuka mulut, ingin bertanya, tetapi gadis itu menghilang. Dan sekali lagi, dia dikelilingi kegelapan.
"Kayaaa!!!" teriaknya.
Dia terbangun dengan napas tersengal, tubuh basah oleh keringat. Matahari belum terbit, malam masih pekat, dan dunia nyata terasa lebih menakutkan daripada mimpi barusan.