Shana dan Kaivan, pasutri yang baru saja menikah lima bulan lalu. Sikap Kaivan yang terlalu perfeksionis kadang menyulitkan Shana yang serba nanti-nanti. Perbedaan sikap keduanya kadang menimbulkan konflik. Shana kadang berpikir untuk mengakhiri semuanya. Permasalahan di pekerjaan Kaivan, membuatnya selalu pulang di rumah dengan amarah, meluapkan segalanya pada Shana. Meski begitu, Kaivan sangat mencintai Shana, dia tidak akan membiarkan Shana pergi dari hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bastiankers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 35
Shana datang pagi-pagi sekali. Dia mengatur semua bunga-bunga dengan rapih. Mengambil alih pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh Nana dan Lila.
Dia melakukannya terus menerus sampai salah seorang pengunjung datang. Membuka pintu kaca saat Shana sedang membersihkan meja bundarnya. Shana seketika berbalik. “Selamat datang. Ada yang—”
Suara Shana terhenti. Keningnya berkerut demi memastikan bahwa wanita dewasa di hadapannya adalah Resa. Langkah keduanya bertemu.
Resa mulai mengawali obrolan, “Apa aku bisa melanjutkan obrolan yang sempat tertunda minggu lalu?”tanyanya, “Itupun jika kamu tidak keberatan.”
Shana mengangguk pelan. Dia langsung duduk di salah satu stool dan mengulurkan tangan agar Resa duduk. Di saat bersamaan, pintu kembali terbuka dan memunculkan Nana dan Lila. Di wajah keduanya tampak bertanya-tanya. Namun, mereka tidak bersuara. Melainkan, hanya mengangguk ramah dan berlalu.
Resa belum berbicara karena Shana baru saja meminta secangkir teh untuk Resa. Setelah Nana menyajikan dan pergi, barulah Resa mulai berbicara. “Kaivan tidak menyuruh saya ke sini. Tapi, dia pernah menolong suami saya saat suami saya hampir saja dipecat. Mungkin sekitar … tahun lalu.”
Shana tahu, ada dua orang yang tengah bersembunyi di balik pintu pantry yang tertutup. Mereka pasti sedang menempelkan kuping mereka di sana.
Resa kembali berbicara, dia melihat Shana hanya termenung sejenak. “Shana. Kaivan mengalami hari-hari yang buruk. Dia bahkan jatuh sejauh ini. Dia … “ Dia menghentikan ucapannya saat melihat Shana merogoh sesuatu dari dalam tasnya.
Shana mengangkat itu tinggi-tinggi sebelum meletakkannya di meja. Meski tanpa suara. Dia melihat mulut Resa terbuka. Mungkin tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Kamu—astaga! Saya tidak percaya. Kamu yakin?”tanya Resa dengan mata membulat. Dia mengambil map itu dengan putus asa. “Kamu yakin mau menceraikannya?”
Masih terbayang jelas di benak Shana. Bagaimana terkejutnya Resa sampai-sampai tidak melanjutkan obrolan dan memutuskan untuk segera pergi.
Ini sudah tepat tiga bulan Kaivan pergi. Jadi, mungkin saja inilah keputusan yang tepat. Mungkin dengan bercerai, Shana bisa mencari cara untuk segera meninggalkan Jakarta. Setidaknya dia tidak akan melihat kenangan-kenangan mereka di dalam rumahnya.
Setelah berpamitan dengan Nana dan Lila, Shana segera pulang ke rumahnya pada pukul sepuluh pagi. Dia sudah janji akan pulang dan makan siang bersama anak bayinya.
“Halo … sayang?” Ucapan Shana terdengar saat memasuki ruang anaknya. Di sana ada baby sitter yang membantunya. Shana segera menghampiri anak bayinya itu. “Halo … Jasmine? Ini mama. Sini. Biar mama gendong.”
Tanpa terasa waktu sudah beranjak siang. Siang yang sangat pekat. Tepat di jam satu siang, Shana bertolak ke Bandung. Dia mengendarai sendiri mobilnya. Mobil yang dibelikan ibunya.
Meski sendirian, Shana berusaha keras untuk pergi ke sana. Dia bertekad untuk menemui makam Indung sebelum akhirnya benar-benar pergi untuk meninggalkan kota Jakarta dan segala isinya yang membuat Shana sakit.
Tangan Shana sesekali meremas kemudi. Air mata yang menggenang, yang dia tahan sebisa mungkin, akhirnya lolos juga. Dia tidak menyangka pernikahannya akan menjadi seperti ini.
Ponselnya yang berada di dashboard berdering. Dengan cepat Shana merogohnya, tentunya setelah mengusap air matanya. Menatap bingkainya. Di sana ada nama Gista. Jadi, Shana tidak membutuhkan waktu lama untuk menggeser panel hijau, “Halo?”
“Teh. Teteh lagi sibuk?”
Shana menginjak rem saat mobil di hadapannya berhenti. Dia melirik lampu merah yang baru saja menyala. “Nggak, Gis. Ini, Teteh mau ke Bandung. Mau ke makam Indung.”
Ucapan Shana berhasil membuat seorang di seberang sana menangis. Jemari Shana mengusut air matanya sendiri. Lama dia membiarkan Gista larut dalam tangisnya, hingga anak itu selesai. “Teh. Gista teh rindu. Rindu semuanya. Kapan ya … A Kai pulang? Kalau dia tahu soal kepergian Indung, Gista yakin. Dia yang paling hancur.”
Shana mengangguk. Meski Gista tidak akan melihatnya. “ Semuanya hancur, Gis. Setelah kepergian Indung, semuanya hancur. Bukan hanya Kaivan. Kamu, Puput, Laras, … semuanya.”
Terdengar helaan nafas panjang di sana. Dia tidak menyahut lagi.
Shana kembali berbicara. “Kamu bahagia?”
Dan helaan nafas kembali terdengar. “Beginilah, Teh. Meski Bude Dewi baik, kita tetap tidak ada hubungan darah dengannya.”
Kening Shana mengernyit. Dia segera menginjak pedal gas dan mobil kembali berjalan. “Kenapa ngomong kayak gitu? Apa kalian tidak diperlakukan dengan baik?”
“Nggak kok, Teh. Hanya saja. Kalau Gista pulang sekolah, sering sekali lihat tangan Laras memerah. Kalau Gista tanya, dia teh nggak mau jawab.”
Shana termangu. Dia mengingat betul adik bungsu Kaivan itu sangat cerewet. Mustahil dia menutupi apa yang dialaminya dari Gista. “Gis, apa kamu butuh bantuan Teteh? Teteh mau kok bantuin kamu.”
“Teh. Nggak usah. Hanya saja, kalau Teteh suatu saat ketemu A Kai. Tolong bilang ke dia, kami adik-adiknya rindu.” Terdengar pilu sekali saat anak umur lima belas tahun mengatakannya. “Sudah dulu, ya, Teh? Gista udah sampai di depan rumah. Nggak enak kalau ngobrol di rumah. Dah … Teh …”
Dan obrolan pun terputus.
Shana tidak tega untuk memberitahu anak itu soal perceraiannya. Shana takut menyakiti mereka yang berharap lebih pada Shana. Dia benar-benar tidak tega. Sehingga terdengar helaan nafas gusar yang dikeluarkan berkali-kali.
Di otaknya hanya berputar-putar satu pertanyaan. Kemana Kaivan?
... ***...
Mobil Shana baru saja memasuki area pedesaan Telaga Sari. Dia menyapa beberapa ibu yang dia kenali saat dia masih di Bandung. Mereka tidak segan memberi Shana dengan hasil kebun mereka. Yang harusnya hanya memakan waktu tiga jam, jadi lebih lama dia sampai di pemakaman.
Shana tidak ke rumah Indung, karena tidak ada lagi orang yang dia hampiri. Om nya Kaivan pun akan menghabiskan waktunya sampai malam di ladang. Entah apa yang dia bikin. Yang pasti, setelah kepergian indung, semuanya berubah.
Mobil Shana terparkir rapi di depan gerbang pemakaman tepat pukul lima sore. Tangannya terulur mendorong gerbang itu sampai menghasilkan derit yang mungkin saja membuat orang yang ada di sana menoleh.
Tangan Shana menjinjing dua bunga yang dia bawa langsung dari Mawari. Tampak berantakan karena waktu Shana tersita banyak. Alhasil membuatnya kerepotan sendiri. Dan kantung yang berisi bunga-bunga itu terjatuh. Isinya berantakan.
Shana berdecak pelan. Dia segera berjongkok untuk memunguti bunga-bunga yang berhamburan. Setelah semuanya masuk ke dalam kantung, Shana melanjutkan jalannya.
Kepalanya terangkat guna melihat makam yang waktu itu dia datangi. Namun, sesuatu menarik langkahnya. Sehingga kini, dia hanya mematung di tempat. Dengan jarak yang tidak jauh, juga tidak dekat.
Dia bisa melihat jelas. Seorang lelaki yang tengah memunggunginya. Dengan kemeja abu-abu, celana katun, dan sepatu pantofelnya, tengah duduk. Tangannya mengusap batu nisan Indung. Bahunya tampak bergetar.
Bahu Shana merosot. Bibirnya kaku untuk meneriaki lelaki itu. Langkahnya terlalu lunglai untuk mendekat.
Gerak tangan lelaki itu terhenti. Mungkin dia menyadari ada sosok yang berjalan menghampiri. Dia mematung beberapa saat, sebelum akhirnya menoleh.
Kaivan.