NovelToon NovelToon
Rawon Kesukaan Mas Kai

Rawon Kesukaan Mas Kai

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Beda Usia / Keluarga / Karir / Cinta Murni / Angst
Popularitas:981
Nilai: 5
Nama Author: Bastiankers

Shana dan Kaivan, pasutri yang baru saja menikah lima bulan lalu. Sikap Kaivan yang terlalu perfeksionis kadang menyulitkan Shana yang serba nanti-nanti. Perbedaan sikap keduanya kadang menimbulkan konflik. Shana kadang berpikir untuk mengakhiri semuanya. Permasalahan di pekerjaan Kaivan, membuatnya selalu pulang di rumah dengan amarah, meluapkan segalanya pada Shana. Meski begitu, Kaivan sangat mencintai Shana, dia tidak akan membiarkan Shana pergi dari hidupnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bastiankers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 26

“Terimakasih …” 

Cangkir teh yang disediakan oleh Nana sudah tidak mengeluarkan uap lagi. Sedari tadi belum tersentuh sama sekali olehnya. Dia masih duduk. Hanya menatap ukiran cangkir itu tanpa berniat mengambilnya dan menyesap isinya. Pandangan Shana menerawang. 

Aneh sekali. Tiba-tiba saja perempuan bernama Raisa itu datang dan menawarkan kerja sama dalam sebuah party. Maksudnya … bagaimana dia tahu bahwa Shana yang mengelola outlet ini? Apalagi … jarak tempuh untuk sampai di sini sangatlah jauh. Mengapa Raisa mencari tempat yang jauh? Bukannya outlet bunga bagian Jakarta Barat juga banyak?

Ada yang tidak beres.

“Mbak?” Suara Nana membuyarkan lamunan Shana. Dia tampak merendah dari posisi berdirinya saat ini. Menatap wajah Shana dengan kernyitan di keningnya. “Mbak, baik-baik saja?”

Shana menghela nafas, “Sepertinya … begitu,”jawabnya pelan. Dia meraih cangkir tehnya.

Namun, Nana dengan cepat menahan geraknya. “Bentar, Mbak. Nggak usah diminum. Saya buatin lagi aja.”

Dan Shana hanya mengangguk lemah. Tanpa harus melihat wajah kaku Nana. Dia hanya mendengar derap langkah kaki cepat yang dijejaki oleh perempuan itu.

Shana menengadahkan wajahnya, bersamaan dengan embusan nafas yang menyesakkan dadanya. Dia yakin sekali bahwa perempuan itu sengaja datang ke sini, karena tahu bahwa di sini ada Shana. Namun, apa alasannya? 

Mengganggu Kaivan, lagi? Bukannya dia bisa melakukannya lebih leluasa jika di kantor? Ah. Tidak mungkin juga. Kata Kaivan, perempuan itu hanya punya waktu dua minggu di Bogor. Dan itu artinya, perempuan itu sudah tidak bisa ketemu Kaivan lagi. 

Namun, siapa yang tahu? Bisa saja dengan gilanya perempuan itu nekad untuk selalu dekat dengan Kaivan?

Kepala Shana rasanya mau pecah. Untung saja kedatangan Nana membuat pikirannya tidak serta-merta berkecamuk dalam hal itu lagi.

“Ini, Mbak,” Nana meletakkan baik-baik cangkir teh yang baru. “Saya ke depan dulu, ya, mau merap—”

“Kamu bisa duduk di sini sebentar? Saya … mau ngobrol,”ujar Shana. “Tapi, kalau kamu memang sibuk. Nggak apa-apa. Mungkin lain kali.”

Nana menggeleng dengan tangan mengibas, dia segera duduk di stool hadapan Shana. “Nggak kok, Mbak. Nggak sibuk. Bisa saya lakukan lain kali,”tukasnya. 

Sepertinya perempuan itu mengerti dengan raut wajah Shana yang sudah tidak seceria waktu pagi. Shana pikir, dia butuh seseorang untuk menyalurkan pikiran buruknya. Jadi, “Menurut kamu, kalau ada orang yang nggak suka sama kamu. Tiba-tiba datang dengan alasan membutuhkan bantuan kamu, misalnya. Apakah itu … normal?”

Nana berdehem sejenak, “Ini musuh atau …” Sengaja dia tidak melanjutkan ucapannya. 

“Emm … dibilang musuh, bukan. Dibilang teman tiba-tiba musuhan juga bukan … apa, ya …?”

Nana terkekeh pelan melihat Shana yang menggaruk pipinya. Tampak kebingungan untuk mendeskripsikan suatu hubungan. “Oh … oke. Saya ngerti kok, Mbak. Intinya … kalian sama-sama nggak saling suka?”

Shana mengangguk.

“Karena suatu alasan yang sama, kah? Sampai orang yang nggak sedekat itu sama Mbak, tapi malah jadi orang yang membenci Mbak dan sebaliknya?”

Dan, Shana mengangguk lagi.

Nana tertegun. Dia menghembuskan nafas pelan. “Mungkin yang membuat dia datang ke Mbak, adalah sebuah ajakan untuk saling menyudahi? Mungkin ini, ya. Tapi, bisa jadi juga, ada rencana yang Mbak nggak tahu.”

Perkataan Nana masih terngiang-ngiang di benak Shana. Bahkan, dia tidak memperdulikan beberapa pekerjaannya. Dia menyerahkan sepenuhnya kepada para pekerja di situ. Shana mengangkat kepala, melihat ke arah pintu kaca yang sudah menggelap. 

Oh, ternyata … waktu yang dibutuhkan memikirkan hal tidak penting itu membutuhkan waktu yang lama juga.

Shana menghela nafas saat melihat di ponselnya tidak ada notifikasi apapun dari Kaivan. Artinya, malam ini dia akan pulang dengan taksi. Jadi, Shana segera mengambil tas kecilnya. Dan berpamitan kepada para pekerja. 

Langkah kakinya terayun sampai di gerbang menunggu taksi yang sudah dipesannya. Bahkan, di tengah hiruk pikuknya jalanan, Shana masih belum tertarik. Dia gamang.  

Pikiran Shana campur aduk. Perasaannya mendadak tidak enak. Firasatnya memberi kabar buruk. Entah untuk apa.

Shana tiba di rumahnya pukul sembilan malam. Setelah menutup pintu, dia menghampiri meja makan. Duduk di salah satu kursi. Hari ini Kaivan benar-benar tidak ada kabar. Dia juga tidak mengirimi Shana pesan. Meski hanya pesan singkat.

Namun, Shana berusaha memaklumi itu. Embusan nafasnya terdengar sesaat sebelum dia membuka sebuah cup plastik yang menghidangkan makanan hangat.

Rawon.

Entah mengidam atau bukan, Shana lagi pengen saja makan itu. Jadi, dia segera meraih sendok dan menyicipi kuahnya. Masih hangat. Dan, enak.

Derit pintu terdengar saat Shana hendak menyuapi daging iga ke dalam mulut. Membuat tangannya mengambang saat Kaivan berjalan masuk. Langkah kaki lelaki itu tergesa-gesa menghampiri Shana. 

Shana bangkit dari kursinya. Seulas senyum dia paksakan meski rasanya dia kelelahan. “Mas, kamu udah pulang? Kok nggak ngabarin?” 

“Apa maksud kamu?” Terdengar sebuah penekanan di sana. Tatapannya pun sangat tajam menghujam anak panah tepat di mata Shana. Membuat Shana harus kepayahan menelan air liurnya sendiri.

Kening Shana mengernyit, “Maksud kamu apa, Mas? Aku nggak ngerti.”

“ADA APA DENGAN KAMU?! KENAPA KAMU HARUS BERURUSAN LAGI DENGAN DIA?!”bentak Kaivan. Dadanya tampak naik-turun. 

Shana mengangguk. Dia mengerti arah pembicaraan Kaivan. “Aku nggak ada niat untuk berurusan lagi sama dia. Dia yang datang untuk melakukan pemesanan.”

“PEMESANAN KAMU BILANG?! KENAPA, SIH?!” Kaivan berkacak pinggang dengan rahangnya yang mengeras, “KENAPA KAMU NGGAK BILANG DULU SAMA AKU?!”

Bilang katanya? 

“KAMU HARUSNYA DISKUSIIN DULU SAMA AKU! KAMU TUH NGGAK TAHU ISI HATINYA DIA! HARUSNYA KEJADIAN KEMARIN TUH BIKIN KAMU LEBIH AWARE!”

Oke. Shana memilih untuk diam. Dia memilih untuk mendengarkan emosi Kaivan meluap.

“KAMU PIKIR BERHADAPAN DENGAN DIA MEMBUAT KAMU TAMPAK HEBAT DAN DEWASA DI MATA AKU?! IYA?!”

Iya. Harusnya begitu.

“NGGAK, SHANA!!” Kaivan mendekati Shana. Merengkuh ujung dagunya kasar. Membuat mata mereka bertemu. Mata sendu Shana bertemu dengan mata yang terlihat kobaran api di sana. “AKU PIKIR SELAMA INI KAMU BISA LEBIH DEWASA! TERNYATA ENGGAK! SAMA AJA! KAMU MENGECEWAKAN!”

Shana diam saja saat Kaivan melepaskan tangan dari dagunya dengan kasar. Namun, saat Kaivan kembali memakai sepatu pantofel nya, Shana segera menghampiri. “Mas … dengar aku dulu,”pinta Shana.

Kaivan enggan menyahut. Dia langsung pergi meninggalkan Shana yang kalut. Meninggalkan Shana yang menyalahkan dirinya karena diam saja. Seharusnya Shana menyahut. Seharusnya Shana bisa membela diri. Namun, itu terlambat. Deru mesin mobil Kaivan terdengar bersamaan dengan turunnya hujan.

Kaivan bahkan tidak meminta maaf dulu. Tidak mencium kening Shana dulu. Tidak mengusap pundak Shana dulu. Dia pergi. Meninggalkan Shana.

Langkah lunglai Shana terayun menuju kursi di meja makan. Tatapnya kosong saat melihat Rawon yang sudah dingin. Pandangan Shana kabur. Tangannya segera mengusap matanya yang sudah basah. Dia menahan sekuat mungkin isak tangisnya. Memilih untuk memegang sendok. Mengambil beberapa potongan daging. Menyuapi. Mengunyahnya. Namun, semua itu tidak terasa lagi. Kebas. Dia tidak rasa lagi bagaimana enaknya rawon itu. 

Tangannya segera menangkup wajahnya. Deras air matanya sudah dia biarkan. Tidak ada lagi usaha untuk menahannya. Percuma. Seseorang yang dia tangisi juga tidak memperdulikannya.

1
kanaikocho
Alur yang brilian
Bastiankers
terima kasih sudah berkunjung
Kiran Kiran
Wow, aku gak bisa berhenti baca sampai akhir !
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!