NovelToon NovelToon
Mengapa, Harus Aku?

Mengapa, Harus Aku?

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:219
Nilai: 5
Nama Author: Erni Handayani

Alisha Alfatunnisa, putri dari pemilik pondok pesantren yang populer di kotanya. Belum menikah meski menginjak umur 29 tahun. Hati yang belum bisa move on karena Azam sang pujaan hati, salah melamar kembaran nya yaitu Aisha.

Peperangan batin dilalui Alisha. Satu tahun dia mengasingkan diri di tempat kakeknya. Satu tahun belum juga bisa menyembuhkan luka hati Alisha. Hingga datang sosok Adam, senior di kampusnya sekaligus menjadi rekan duet dalam menulis.

Apakah kehadiran Adam bisa menyembuhkan luka hati Alisha? Atau masih ada luka yang akan diterima Alisha? Cerita yang menguras air mata untuk kebahagiaan sang kembaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erni Handayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21

Setelah merasa tidak terlalu pucat, aku berjalan keluar kamar.

Ada apa Ayah ingin bicara denganku? Dari pagi sudah memberitahu aku jangan lama. Apa Ayah akan memarahiku?

Semakin dekat ruang tamu utama, suara canda tawa terdengar nyaring. Langkahku kian dekat.

"Nah itu Kak Alisha..."ucap Indra yang pertama kali melihatku.

"Sini Alisha, duduk dekat ibu!" aku terpaku langkahku berat.

Umma Izzah, kapan dia datang? Senyum menawan dari ibunya Azam itu , mau tak mau membuat aku membalas dengan senyuman serupa.

Wanita itu terlihat muda di usia 55 tahun. wanita yang diutus Azam untuk memintaku pada Ayah, wanita yang tak bisa aku salahkan karena dia sendiri pun tak tahu jika aku kembar.

"Sini.. Lama nggak ketemu kamu, Alisha. Tambah cantik saja," ucap Umma Izzah yang menarik aku untuk duduk disampingnya. Naas, kenapa harus beradu tempat duduk dengan Azam.

"Umma bisa saja. Justru Umma yang awet muda!" ucapku seceria mungkin. Sekilas mata Azam tertangkap olehku tengah mengawasi aku.

"Karena udah kumpul jadi langsung saja, biar lebih cepat lebih bagus,"ucap Ayah mengawali pembicaraan.

"Ada kabar bahagia dari Aisha juga Azam. Nanti biar dia yang sampaikan. Ayah ingin mengadakan syukuran kembalinya Alisha ke rumah ini lagi! Gimana Alisha, setuju kan?"tanya Ayah padaku.

Apa tidak terlalu berlebihan, mengadakan syukuran untuk kepulanganku? Malu diri ini rasanya.

"Alisha ikut saja, bah. Gimana baiknya,"jawabku.

Abah tersenyum senang, biarlah aku turuti apa yang bisa membuat Ayah juga Ibu bahagia.

"Satu lagi kabar yang tak kalah membuat bahagia, Ayah ucapkan selamat, Gus!" ucap Ayah berbinar.

Aku semakin tak mengerti, kabar bahagia apa yang membuat Ayah bisa sebahagia ini? Umma Izzah mengenggam erat tanganku. Membuat aku menoleh padanya, wajah Umma juga memancarkan kebahagiaan.

"Alhamdulillah setelah satu tahun penantian, Aisha sekarang mengandung."

Deg, jantung berdetak hebat. Berkali lipat dipompa secara menggila. Aisha mengandung? Ini nyata kah? Aku mencubit pelan tanganku, sakit berarti ini nyata.

Ribuan panah menikam hatiku, kenapa sesakit ini rasanya? Bukankah ini juga doaku, lalu mengapa aku masih terkejut?

Ucapan syukur dari semua yang ada di ruang tamu membuat rasa sakit itu menikamku lebih dalam lagi. Bibirku mampu mendoakan agar mereka punya keturunan, tapi hatiku tidak bisa menerimanya.

Aku hanya diam tak bisa berbicara sepatah kata apapun. Sejenak aku berpikir bahwa ini sudah skenario Allah yang luar biasa. Namun, mengapa ketika aku balik ke sini mereka baru engkau beri keturunan ya Allah. Belum cukup kah hati ini kau uji?

Aku meringis sakit dalam diam, memejamkan mata pun tak bisa menghalau rasa yang berkecamuk di dada. Lelah sudah lahir dan batin ini. Dan kini sempurna dengan berita kehamilan Aisha. Senyum kebahagiaan terpancar jelas dari raut wajah Aisha.

Tanganku mendapat elusan lembut dari Umma Izzah . Wanita itu, entah aku tak tahu maksud dari elusan ditanganku. Untuk mentransfer kekuatan untukku atau apa.

"Besok malam kita adakan syukuran, nanti kasih tahu Mba-Mba untuk menyiapkan makanan untuk besok!" kembali Ayah bersuara.

Aku hanya diam disisa pembahasan yang ada. Ragaku memang di sini, tapi jiwaku melayang entah kemana.

Tak sengaja mata ini saling memandang dengan Azam. Mata itu memerah penuh banyak tanya yang mungkin ingin dia luapkan padaku. Aku melengos agar tidak runtuh pertahananku saat ini.

Esok hari bahagia mereka juga hari kesakitan bagiku. Dengan susah payah aku membuka bibirku, untuk mengucapkan selamat.

"Selamat, Aisha! Kakak turut bahagia."

Semilir angin malam memainkan jilbabku, aku terdiam sendiri di pendopo belakang rumah yang menghadap langsung kolam ikan. Aku memilih menepi dari anggota keluarga yang masih asyik bercengkrama.

Mataku memandang sayu rombongan ikan emas yang berebut makanan.

Aku menangis tanpa suara, dada ini begitu sesak. Aku tak bisa berbuat lebih selain menerima semua yang terjadi di depan mata.

Ingin aku layangkan sebuah protes pada Azam. Meluapkan rasa yang mendera di hatiku sekali saja.

Mengapa kau kunci hatiku dengan cintamu? Yang tak akan pernah bisa bersatu dalam ikatan pernikahan. Salahkah jika aku marah saat ini? Salahkah aku yang membenci diri sendiri? Karena aku lemah menghadapi kenyataan.

Aku tetap kalah dengan perasaanku, harus ku kemanakan kekecewaan ini?

Aku malu padamu, Robb.

"Alisha.."

Suara lembut itu terdengar dekat sekali denganku. Aku buru-buru menghapus jejak air mata yang membanjiri pipi.

"Kenapa disini? Apa ikan-ikan itu lebih menarik bagimu daripada berbincang dengan, Umma?" lembut Umma Izzah berbicara. Dia ikut duduk di sampingku, menatap gerombolan ikan emas.

"Alisha cari angin segar, di dalam gerah! Umma kenapa ke sini? Angin malam nggak baik untuk Umma!" ucapku. Mataku masih memandang lurus ke depan. Aku tak ingin beradu pandang dengan Umma, mataku pasti memerah saat ini.

"Bukannya kamu juga nggak bisa kena angin malam?" Umma Izzah balik bertanya.

Dari mana Umma tahu, hanya Azam yang tahu itu. Ah, kenapa aku masih saja menyebut namanya dihatiku.

"Alisha sudah biasa, Umma." aku berbohong. Hanya sekali aku dan Umma Izzah bertemu. Saat dia berkunjung ke Al-Irsyad, menjenguk kakek. Setelah itu kita tidak pernah bertemu lagi.

"Terbiasa dan membiasakan itu berbeda, Nak! Meski pada dasarnya sama. Menerima yang ada,"ucap Umma Izzah.

Darahku berdesir, memang benar apa yang dikatakan Umma Izzah. Terbiasa dan membiasakan itu berbeda. Terbiasa karena kita bisa dengan mudah menjalani. Sedangkan membiasakan lebih pada kehendak yang harus di lakukan.

Apa ini yang membuat aku belum bisa melupakan Azam. Karena belum bisa membedakan terbiasa dan membiasakan diri pada kenyataan yang ada, tentang pernikahan Azam juga Aisha.

Aku menarik napas dalam-dalam. Aku tahu maksud dari Umma Izzah berbicara seperti itu. Yang aku tahu tentang dia, mertua yang sangat sayang pada menantunya. Aisha masih menantu satu-satunya karena Sarah belum menikah.

"Umma bisa menganalisis sedetail itu?" tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan yang bisa saja terarah pada Azam.

"Karena Umma sebelumnya psikolog, semenjak Aba-nya Azam meninggal Umma banting stir untuk jadi designer. Menyalurkan bakat dan untuk membiayai kebutuhan Sarah juga Azam."

Deg, ucapan Umma Izzah membuat jatung ini meronta. Psikolog? Berarti Umma Izzah bisa melihat dengan jelas gambaran hatiku. Terutama saat di ruang tamu tadi.

"Jangan kaget begitu, Nak! Umma juga ibu kamu kan? Jangan sungkan untuk curhat jika ada masalah,"ucap Umma.

Aku mendesah lirih, bagaimana aku curhat pada ibu yang anaknya menyakiti hatiku.

"Kantung matamu terlihat jelas, apa malam-malammu susah kamu lewati, Nak?" lembut Umma Izzah bertanya.

1
Afu Afu
jangan bucin alisha,buka hati buat yg lain percm menghro Azam istri nya jg SDH hmil apa yg mau km hrapkan ,plis deh
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!