"Angin dari Gunung Kendan" adalah kisah epik tentang Rangga Wisesa, seorang pemuda yang hidup sederhana di Desa Ciwaruga tetapi menyimpan dendam atas kehancuran keluarganya. Sebuah prasasti kuno di Gunung Kendan mengubah hidupnya, mempertemukannya dengan rahasia ilmu silat legendaris bernama Tapak Angin Kendan. Dalam perjalanannya, Rangga menghadapi dilema moral: menggunakan kekuatan itu untuk balas dendam atau menjadi penjaga harmoni dunia persilatan. Dengan latar penuh keindahan budaya Sunda dan dunia persilatan yang keras, cerita ini mengisahkan pertarungan fisik, spiritual, dan batin di tengah konflik yang memperebutkan kekuasaan ilmu sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Topannov, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertarungan di Ambang Harmoni Part.2 (Lanjutan)
Rangga memandang Raksa Mandala yang berlutut di tanah, napasnya terengah-engah, seperti seorang ksatria yang kehilangan seluruh energinya. Cahaya biru yang memancar dari altar mulai meresap kembali ke dalam simbol-simbol ukiran, membawa suasana tenang di ruangan yang sebelumnya dipenuhi dentuman serangan dan gemuruh kekuatan.
Namun, Rangga tidak melonggarkan kewaspadaannya. Tongkat kayunya masih ia genggam erat, dan bola kristal di tangannya tetap bersinar, seolah-olah memberi isyarat bahwa bahaya belum sepenuhnya berlalu.
“Raksa Mandala,” panggil Rangga dengan suara yang rendah tetapi tegas. “Kau kalah. Gunung ini telah membuat keputusannya. Tinggalkan tempat ini sebelum kau menghancurkan dirimu sendiri.”
Raksa mengangkat kepalanya perlahan, matanya yang merah bersinar suram, penuh amarah yang terkekang. “Kau pikir aku akan menyerah begitu saja, Rangga?” desisnya, meskipun tubuhnya tampak lelah dan gemetar. “Aku sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang. Gunung ini tidak punya hak untuk menolak keinginanku!”
“Keinginanmu bukan lagi tentang kehormatan atau kekuatan,” balas Rangga, nadanya lebih tajam. “Itu hanyalah keegoisan yang akan menghancurkanmu, dan juga semua yang ada di sekitarmu.”
Raksa Mandala menatap Rangga dengan kebencian yang dalam. Perlahan, ia menekan tongkatnya ke lantai, mencoba berdiri. “Aku tidak peduli dengan apa yang kau pikirkan,” katanya dengan suara berat, tetapi kini lebih lemah dari sebelumnya. “Aku tidak akan pergi tanpa mendapatkan apa yang aku cari.”
Sebelum Rangga bisa merespons, Raksa Mandala mengangkat tongkatnya sekali lagi, mengerahkan sisa-sisa energi terakhirnya. Kristal merah di ujung tongkat itu bersinar terang, menciptakan retakan-retakan kecil di lantai di sekitar mereka.
“Rangga, mundur!” seru Ki Jayeng dari dekat altar, menyadari bahwa Raksa Mandala masih berusaha menggunakan kekuatan gelapnya. Larasati juga mundur beberapa langkah, matanya melebar penuh kekhawatiran.
Namun Rangga tidak bergerak. Ia tetap berdiri di tempatnya, bola kristal di tangannya mulai bersinar lebih terang, memancarkan cahaya biru yang mengalir seperti kabut di sekelilingnya. Napasnya teratur, dan matanya menatap Raksa Mandala dengan keyakinan yang tak tergoyahkan.
“Kau tidak bisa menang, Raksa,” katanya, suaranya tenang tetapi penuh wibawa. “Gunung ini tidak akan mengizinkan kekuatan yang kau bawa untuk mencemari keseimbangan yang ada di sini.”
Raksa Mandala hanya tertawa kecil, tawa yang lebih terdengar seperti keputusasaan. “Kalau begitu, aku akan menghancurkan semuanya,” katanya, lalu menghentakkan tongkatnya ke lantai dengan kekuatan penuh.
Tanah di bawah mereka bergetar hebat. Retakan-retakan yang sebelumnya kecil kini membesar, menyebar ke seluruh ruangan. Cahaya merah dari tongkat Raksa Mandala berkonflik dengan cahaya biru dari bola kristal Rangga, menciptakan badai energi yang memutar dan melahap udara di sekitarnya.
Rangga mengerahkan seluruh konsentrasinya, menggenggam bola kristal erat-erat dan memusatkan pikirannya pada aliran angin di sekelilingnya. Ia tidak melawan kekuatan Raksa secara langsung, melainkan membiarkan aliran angin membimbingnya, mencari celah di tengah badai energi yang semakin kacau.
“Rangga, kau harus menghentikannya sekarang!” teriak Larasati, suaranya hampir tenggelam oleh suara gemuruh.
“Aku tahu!” balas Rangga, matanya tetap tertuju pada Raksa Mandala. Ia mengambil satu langkah maju, meskipun tanah di bawahnya terasa tidak stabil. Cahaya biru dari bola kristal mulai bergerak ke luar, mengalir seperti aliran sungai yang lembut tetapi penuh kekuatan.
“Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan tempat ini,” kata Rangga, suaranya bergema di seluruh ruangan. “Jika gunung ini memutuskan untuk menyingkirkanmu, maka aku akan menjadi perpanjangan kehendaknya!”
Bola kristal di tangannya meledak dengan cahaya yang menyilaukan, menyelimuti seluruh ruangan dalam pancaran biru yang menenangkan. Energi Raksa Mandala perlahan memudar, dan retakan di lantai mulai menutup dengan sendirinya. Raksa berteriak, tetapi suaranya tertahan oleh aliran cahaya biru yang melilit tubuhnya, mengurungnya dalam lingkaran energi yang tak terlihat.
“Tidak!” Raksa Mandala berteriak, mencoba melawan, tetapi sia-sia. Energi gelap di dalam dirinya kini terkunci, tidak lagi dapat digunakan untuk melancarkan serangan.
Saat semuanya mulai tenang, Raksa Mandala jatuh ke tanah, tongkatnya patah menjadi dua. Kristal merah yang sebelumnya bersinar kini redup, kehilangan semua kekuatannya.
Rangga berdiri di tempatnya, tubuhnya lelah tetapi matanya tetap waspada. “Pergilah,” katanya kepada Raksa Mandala, suaranya dingin tetapi tidak lagi penuh amarah. “Kau tidak punya tempat di sini.”
Raksa menatapnya dengan mata penuh kebencian, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya bangkit perlahan, menyeret kakinya menjauh dari altar. Tubuhnya tampak seperti bayangan yang meredup, menghilang ke dalam lorong gelap tanpa meninggalkan jejak.
Ketika Raksa akhirnya pergi, Larasati mendekati Rangga, menatapnya dengan wajah penuh kelegaan. “Rangga... kau baik-baik saja?” tanyanya, tangannya menyentuh lengannya dengan lembut.
Rangga mengangguk pelan, tetapi ia tidak berkata apa-apa. Ia hanya memandangi altar di depan mereka, merasakan energi yang mengalir darinya. Ki Jayeng bergabung dengan mereka, tongkatnya menekan tanah untuk menopang tubuhnya yang juga lelah.
“Urang tos melewati rintangan anu hésé,” kata Ki Jayeng dengan nada puas. “Tapi ieu teu ngarupakeun ahir. Masih aya hal anu kudu urang pahami di altar ieu.”
Larasati menoleh ke altar, matanya memandangi simbol-simbol yang kini bersinar lembut. “Apa yang akan kita temukan di sini?” tanyanya pelan.
Rangga menggenggam bola kristal di tangannya, yang kini kembali memancarkan cahaya hangat. “Hanya satu cara untuk mengetahuinya,” katanya, melangkah maju menuju altar. Dengan hati-hati, ia meletakkan bola kristal di tengah lingkaran ukiran, membiarkan cahayanya menyatu dengan simbol-simbol di altar.
Saat itu, cahaya biru dari altar menyala terang, mengalir ke seluruh ruangan seperti gelombang air yang tenang. Sebuah suara muncul, dalam dan penuh wibawa, tetapi kali ini terdengar lebih lembut, hampir seperti bisikan.
“Wahai pencari kebenaran, perjalananmu belum berakhir. Apa yang kau temukan di sini hanyalah awal dari kebenaran yang lebih besar. Bersiaplah, karena ujian berikutnya akan menguji seluruh keberanian dan kepercayaanmu.”
Ruangan itu kembali sunyi, tetapi udara di sekitarnya terasa lebih ringan, seolah-olah gunung itu sendiri memberi mereka waktu untuk bernapas sebelum tantangan berikutnya. Rangga menoleh ke Larasati dan Ki Jayeng, wajahnya serius tetapi penuh dengan keyakinan.
“Ayo,” katanya, suaranya tegas. “Kita harus melangkah lebih jauh.”
Dengan langkah mantap, mereka meninggalkan altar, melangkah ke arah jalan baru yang terbuka. Rahasia Gunung Kendan masih menanti, tetapi hati mereka kini lebih siap daripada sebelumnya untuk menghadapi apa pun yang ada di depan.
tdk semua ngerti bahasa daerah lainnya