SEQUEL LENTERA DON GABRIEL EMERSON
Meskipun menikah atas dasar perjodohan, Zeda Humaira Emerson dan Arsyad Ibrahim menjalani pernikahan dengan cinta yang tulus.
Arsyad adalah seorang pria yang sholeh, pintar, dermawan, pendiri sekolah TK gratis, dan tentu Arsyad juga sangat tampan, tidak ada alasan bagi Aira untuk menolak perjodohan itu.
Cintanya pada Arsyad tumbuh semakin besar saat Arsyad tak mempermasalahkan Aira yang tak kunjung hamil setelah 5 tahun pernikahan mereka berjalan.
Namun, Aira tertampar sebuah kenyataan pahit saat ia menemukan fakta, bahwa sang suami telah menikah lagi dengan salah satu guru TK-nya, bahkan istri kedua suaminya itu kini tengah mengandung.
Sementara Arsyad, ia sangat mencintai Aira lebih dari apapun, Aira adalah wanita muslimah yang begitu taat pada agama, orang tua, dan suami. Namun, ia terpaksa menduakan Aira karena sebuah alasan yang tak bisa ia tolak.
Apakah karena Aira yang tak kunjung hamil?
Atau ada alasan yang lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SkySal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MC Zeda Humaira #22 - Air Mata Aira
Aira tak bisa berhenti menangis meskipun ia sudah mencobanya, hatinya benar-benar sesak, seperti terhimpit ribuan batu. Begitu sakit, seperti di tusuk berkali-kali dengan ribuan pedang.
Bahkan, berbagai macam fikiran kotor kini berkalana dalam benak Aira.
Pantas saja Arsyad tidak masalah ia tidak hamil, ternyata karena Arsyad punya istri lain yang bisa hamil.
Pantas saja akhir-akhir ini sikap Arsyad berubah, ternyata karena cintanya pun sudah berubah arah.
Dan kenapa? Kenapa harus Anggun? Kenapa harus wanita yang ada di sekitar Aira.
Saat ini, Aira dan Via sedang berada dalam taksi yang terus melaju tanpa arah, karena Aira pun juga bingung kemana ia harus pergi, namun yang pasti, Aira tidak mau pulang ke rumah suaminya. Tidak setelah apa yang ia lakukan.
"Ya Allah...." Aira menggeram tertahan, ingin meluapkan rasa sesak di dadanya, ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan isak tangis terus terdengar dari bibirnya.
Via pun juga menangis, bahkan sopir taksi pun juga ikutan sedih meskipun ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada penumpangnya. Namun, dari rintihan suara Aira itu terdengar penuh luka.
Sejak Aira masuk ke dalam taksi, ia sudah menangis seperti ini.
"Kita mau kemana, Bu?" Tanya sang sopir, ia melirik Aira dari spion.
Aira tak menjawab, ia hanya terus menangis dan menangis, begitu juga dengan Via. Gadis kecil itu juga tak hentinya menangis karena ibunya menangis.
"Ummi, hikss ... hikss ... Ummi....." Via berusaha menarik tangan Aira yang menutupi wajahnya. "Ummi sebenarnya kenapa? Ummi jangan nangis, hikss... Ummi...." tangis Via semakin pecah karena Aira masih menutup wajahnya.
"Ummi... Via takut, Ummi...." Via menarik ujung jilbab Aira berkali-kali.
"Dek, sudah, jangan ganggu Ummi, ya," kata sopir taksi itu kemudian ia menghentikan mobilnya di pinggir jalan, ia hanya bisa menatap dua penumpangnya dengan nanar.
"Tapi Ummi menangis sejak tadi, Via takut, Ummi kenapa? Huaa... Ummi kenapa...."
Aira menjauhkan tangannya dari wajahnya, ia menatap Via dan memeluk putrinya itu dengan erat.
"Ma-maaf, Sayang," ucap Aira terbata-bata karena ia masih terisak.
"Ya Allah, kuatkan hatiku, kuatkan hatiku, kuatkan hatiku, Ya Qowi...."
"Aku mohon, aku mohon, aku mohon...." Aira menggumam sambil berusaha mengentikan isak tangisnya meskipun itu percuma, berusaha menahan sesak di dadanya namun ia tak bisa.
"Pak, antarkan saya ... ke ... Masjid, yang ada di depan sana...." kata Aira terbata-bata
"Baik, Bu," jawab sopir kemudian ia segera melajukan mobilnya ke masjid.
Sesampainya di sana, Aira langsung membayar taksinya kemudian ia segera masuk ke dalam masjid.
Aira meminta Via duduk menuggu sementara ia mengambil wudhu untuk menenangkan hatinya.
Setelah itu, Aira melakukan sholat, agar hatinya lebih tenang, agar ia terkoneksi secara langsung pada Tuhan-nya, karena itulah yang ia butuhkan saat ini.
Saat Aira bertakbir, air mata kembali mengalir deras di pipinya, bibirnya bergetar dan pandangannya menjadi buram.
Mukena serta sejadahnya menjadi saksi bisu air mata pilu Aira.
Setelah melaksanakan sholat, Aira mengangkat tangannya ke langit, matanya terpejam dan ia mengadu tentang kerapuhan hatinya yang luar biasa pada sang pemilik hati.
"Aku menghadapmu, ya Allah. Karena aku sedang terluka, oleh seseorang yang sangat aku cinta. Aku mencarimu, ya Allah. Karena aku sedang hancur, oleh seseorang yang sangat aku percaya."
"Aku membutuhkan pertolonganmu, kuatkan hatiku, tabahkan hatiku."
"Aku tidak mengerti kenapa semua ini terjadi, aku tidak tahu. Apakah karena satu kekuranganku? Lalu aku harus bagaimana, ya Allah? Aku tidak memegang kendali atas takdir hidupku, aku selalu berdo'a tanpa henti, aku selalu berusaha. Hanya itu yang bisa aku lakukan.
"Apakah ini hukumanmu? Atau cobaanmu? Rasanya sangat menyakitkan, aku takut aku tidak sanggup menghadapinya."
Via yang kini sudah berhenti menangis menghampiri ibunya, Via menghapus air mata di pipi Aira dengan lembut yang membuat Aira langsung membuka mata.
"Kenapa Ummi menangis? Apa karena Via? Maafin Via, ya. Tadi Via terpeleset di kamar mandi, Ummi jangan sedih."
Tangis Aira semakin pecah, karena di balik musibah Via, kebenaran yang sangat pahit terungkap. Kebenaran yang tak pernah Aira duga, kebenaran yang seperti mimpi buruk.
Jika boleh, bolehkah Aira berharap ini hanya mimpi buruk semata?
Arira langsung mendekap putrinya itu dengan erat, ia melepaskan tangisnya di rumah Allah ini.
***
Sementara di rumah sakit, Anggun dan Bu Husna hanya bisa sama-sama diam, apalagi Arsyad dan Ummi Ridha tidak kembali ke kamar Anggun.
"Sekarang semuanya sudah terungkap, seharusnya itu bagus," kata Bu Husna kemudian namun Anggun tak menanggapi.
"Aira mungkin marah, tapi Arsyad juga berhak bahagia dengan kehadiran seorang anak. Aira wanita yang baik, dia pasti mau menerima keadaan ini."
Di sisi lain, Arsyad melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh menuju rumah.
Namun ia harus menelan kekecewaan saat tak menemukan Aira disana.
"Dimana kamu, Aira?" Gumam Arsyad cemas.
Ummi Ridha pun juga sampai di rumah. "Apa Aira nggak ada di rumah?" Tanyanya.
Arsyad hanya menatap ibunya itu sekilas kemudian ia pergi tanpa menjawab sang ibu sedikitpun.
"Jangan pergi, Aira. Aku mohon..."