Undangan sudah disebar, gaun pengantin sudah terpajang dalam kamar, persiapan hampir rampung. Tapi, pernikahan yang sudah didepan mata, lenyap seketika.
Sebuah fitnah, yang membuat hidup Maya jatuh, kedalam jurang yang dalam. Anak dalam kandungan tidak diakui dan dia campakkan begitu saja. Bahkan, kursi pengantin yang menjadi miliknya, diganti oleh orang lain.
Bagaimana, Maya menjalani hidup? Apalagi, hadirnya malaikat kecil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33. Luapan hati
Pukul sepuluh pagi, Sandra baru tiba di rumah sakit. Ia memaksa kedua kakinya, untuk berlari kecil, meski terasa perih. Ia mengamati jam tangan, yang sudah seperti rentenir yang terus mengejar, untuk menagih. Diperjalanan tadi, ia sudah berkendara dengan kecepatan tinggi. Tak ingin sang ibu mertua, datang lebih dulu darinya.
Namun siapa sangka, saat ia membuka pintu, perempuan dengan rambut sebahu, tampak duduk disofa, dengan pandangan penuh tanya. Ia melipat kedua tangan didada, tas mewahnya diletakkan diatas pangkuan.
"Pagi, Ma. Maaf, aku terlambat."
Resti tidak menjawab. Ia masih memperhatikan menantunya, yang meletakkan tas dimeja kerja. Berjalan dengan pincang, seolah ada yang terluka di kedua kaki, namun tertutup oleh sepatu.
"Kau terluka?" Resti meletakkan tasnya, diatas meja.
"Hanya keseleo, Ma."
"Sandra." Mimik wajah Resti berubah. Ia menghela napas panjang, seolah tidak puas dengan jawaban sang menantu.
"Iya, Ma."
"Apa kau menyembunyikan sesuatu dari Mama?"
"Ti-tidak ada, Ma. Aku harus menyembunyikan apa."
"Lalu, mengapa Zamar berkata kalian tidak bersama semalam? Ia bahkan, berada diluar kota. Sebenarnya, kau dari mana semalam?"
Sandra mengepalkan kedua tangannya, sembari memejamkan mata. Rasanya ingin menangis, dan berkata jujur dengan lantang. Ia memutar badan, tersenyum seperti biasa.
"Kami baik-baik saja, Ma. Aku tidur di apartemen temanku."
"Maksudmu, kamu membohongi Mama?" Intonasi suara Resti sedikit meninggi.
"Bukan itu, maksudku." Karena sudah salah, bicara. Sandra duduk disebelah mertuanya. "Maaf, aku hanya tidak mau, Mama khawatir."
"Sandra." Resti menggenggam tangan sang menantu. "Ini sudah dua tahun lebih, hampir tiga tahun, kalian menikah. Sudah saatnya kalian memiliki anak dan Mama mulai bosan mendengar jawaban kalian setiap hari. Katakan, apa Zamar memaksamu untuk menunda kehamilan?"
"Mana mungkin, Ma. Zamar sangat menyukai anak kecil. Kami baik-baik saja, sungguh!" Sandra masih tersenyum, dengan mata yang terasa panas.
Resti masih tidak puas dengan jawaban menantunya. Ia meraih tas dan mengambil sesuatu dari dalam dan memperlihatkannya, didepan Sandra.
"Mama tahu, apa yang kamu lakukan?"
Sandra membelalak. Resti yang selama ini, ia anggap pendiam dan tidak memiliki kemampuan. Ternyata bisa, melakukan hal-hal seperti ibunya.
"Mama menyelidikiku?"
"Karena Mama pikir, kau menikahi Zamar hanya karena perintah ibumu. Mama tidak mau punya menantu, yang akan merusak reputasi keluargaku."
"Mama, tidak percaya padaku?" Bibir Sandra bergetar, menahan pedih.
"Dulu, tidak. Sekarang, iya. Perempuan yang menikah karena terpaksa, bisa saja menjalin hubungan gelap. Apalagi, setiap Zamar keluar kota, kau juga ikut menghilang."
Sandra bangkit, air mata memenuhi kedua maniknya. Hatinya meledak, tidak terima.
"Zamar, yang membuatku seperti ini. Dia masih mencintai, Maya. Putra Mama, masih mencintai mantan tunangannya, dia bahkan tidak pernah menyentuhku?" teriak Sandra dengan lantang dan berapi-api. Kini, air mata mengalir di pipinya.
"Ap-apa?" Mata Resti membola dan segera bangkit. "Apa maksudmu? Jelas-jelas dia sudah melupakan perempuan sialan itu."
"Melupakan?" Sudut bibir Sandra, terangkat. "Anak Mama, tidak akan pernah melupakannya. Seluruh hidup, hati dan pikirannya, hanya ada Maya."
"Sandra, _"
"Mama tahu, kenapa dia mau menikah denganku?" Jari telunjuk, Sandra bergerak-gerak tanpa arah. "Itu karena, Zamar mau menyelamatkan wajahmu dari rasa malu. Sekarang, Mama dengan mudahnya datang menghakimiku."
"Sandra. Maafkan Mama, sayang. Mama tidak bermaksud menuduhmu." Resti mendekat, namun Sandra justru menjauh.
"Apa kalian pernah bertanya tentang perasaanku? Aku merasa bersalah pada Maya dan terus dihantui rasa bersalah. Aku seharusnya tidak jatuh cinta, pada kekasih sahabatku." Sandra terisak perih dan menyayat hati. "Aku ingin menjadi istri yang baik untuknya. Paling tidak, ia bisa melihatku, sebagai wanita yang patuh dan tidak merepotkan untuknya. Aku juga tidak ingin menuntut banyak, agar ia bisa melihatku, sebagai istrinya, bukan teman."
Resti ikut menangis. Ia melangkah memeluk menantunya yang berlinang air mata.
"Maafkan, Mama, Sayang. Tolong, maafkan Mama. Seharusnya, kau membicarakan ini padaku, bukan menyembunyikan dan menanggungnya sendiri."
"Aku mencintainya, Ma. Aku harus bagaimana? Seharusnya, aku tidak boleh, jatuh cinta."
"Dia suamimu, kau berhak atas perasaanmu. Mama yang menyeretmu dalam pernikahan ini dan Mama yang akan membantumu. Tapi, setelah ini, tolong jangan menyembunyikan, apapun lagi."
Hanya anggukan kepala, yang Sandra berikan sebagai jawaban. Selama dua tahun, Ia mencoba mendekati Zamar, menjadi istri yang Ia inginkan, berharap pria itu sedikit saja dapat melihat ketulusannya. Namun sayangnya, cinta itu, hanya untuk sang sahabat.
Selepas, Resti pergi. Sandra masih enggan berpindah tempat dari sofa. Ia merasa tidak tenang, setelah berkata jujur pada ibu mertuanya. Seolah, ada penyesalan yang menyerang kalbunya secara tiba-tiba.
Tok, tok, tok.
"Masuk," sahut Sandra, tanpa menoleh. Ia masih memijit pelipisnya yang berdenyut.
"Kita perlu bicara."
Deg.
Jantungnya terpacu. Sandra segera menoleh dan bangkit. Belum juga, hatinya merasa tenang, kini Zamar tiba-tiba datang.
"A-ada apa?" Sandra membuang pandangan dan berjalan mundur, menjauhi sofa.
"Kau menangis?"
"Tidak. Untuk apa, aku menangis?" Sandra mengusap wajahnya.
"Aku melihat ibuku. Kalian bertemu?" Zamar menatap dengan intens.
"Ti-tidak. Kami tidak bertemu. Mungkin, dia punya urusan." Sandra semakin gugup dan masih tidak berani membalas tatapan Zamar.
"Kalau begitu. Masalah semalam, kenapa kau tiba-tiba datang? Seingatku, aku tidak pernah memberitahumu tentang Villa itu."
Kedua tangan Sandra basah, karena keringat dingin. Degup jantungnya, semakin cepat dan tidak beraturan.
"Maaf. A-aku, aku terpaksa."
"Terpaksa?" sinis Zamar.
"Zamar, aku sudah lelah dengan hubungan seperti ini dan tuntutan ibumu. Aku ingin kita menjadi suami istri, seperti orang lain. Apa kau tidak bisa melupakan Maya dan memulai hidup baru? Ini sudah hampir tiga tahun pernikahan kita." Bibir Sandra bergetar, menahan luapan rasa sedih.
"Seingatku, sebelum menikah, aku sudah pernah mengatakan padamu. Jika kau lelah, kau bisa meminta perceraian."
"Zamar. Kau akan terus seperti ini? Bagaimana dengan ibumu yang terus mendesak meminta cucu?"
"Jujurlah. Apa perasaanmu sudah berubah?"
Deg.
Bibir Sandra menjadi kelu, tenggorokannya tercekat. Ia mematung dengan jantung yang ingin meledak. Semakin Zamar mendekat dengan tatapan tajam, Sandra merasa semakin sesak.
"Kita menikah, karena tidak memiliki perasaan satu sama lain. Jika perasaanmu sudah berubah, sudah saatnya kita berpisah," lanjut Zamar.
"Za," Sungai yang menggenang, akhirnya jebol juga. Sandra terisak. "Kenapa? Apa begitu sulit melupakannya? Bukankah, kau membencinya? Dia sudah mengkhianatimu."
"Kau sendiri? Bukankah kau juga mengkhianatinya?" desis Zamar.
"Ma-maksudmu?" Suara Sandra terbata. Ia berjalan mundur, tanpa ia sadari.
"Malam itu, apa kau bersamanya?"
Seluruh tubuh Sandra, basah, bermandikan keringat dingin. Ia meremas ujung bajunya, dengan tangan yang gemetar.
🍋 Bersambung
jangan mau kalah tuh sama mama Resti
knapa ga jujur?
keluarga yg baek ...
adakah di dunia nyata ini?