"Kejamnya ibu tiri tak sekejam ibu kota" peribahasa ini tidak tepat bagi seorang Arini, karena baginya yang benar adalah "kejamnya ibu tiri tak sekejam ibu mertua" kalimat inilah yang cocok untuk menggambarkan kehidupan rumah tangga Arini, yang harus hancur akibat keegoisan mertuanya.
Tidak semua mertua itu jahat, hanya saja mungkin Arini kurang beruntung, karena mendapatkan mertua yang kurang baik.
*Note: Cerita ini tidak bermaksud menyudutkan atau menjelekan siapapun. Tidak semua ibu mertua itu jahat, dan tidak semua menantu itu baik. Harap bijak menanggapi ataupun mengomentari cerita ini ya guys☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mom's chaby, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIGA PULUH TIGA
Hari minggu sekitar pukul delapan pagi, bu Ami datang ke warung Arini. Iya, setidaknya Arini menganggap itu warungnya, walau dagangannya hanya dijajakan diatas sebuah meja.
Bu Ami datang bersama pak Dadan suaminya, dan tiga orang laki-laki paruh baya. Mereka duduk di bangku kayu panjang yang ada di depan warung.
"Permisi!! Ucap bu Ami.
"Eh ibu!! Dari mana?." Tanya Arini
"Itu, abis lihat-lihat sawah." Jawab bu Ami
"Ohh..."
"Gorengannya masih ada Rin?." Tanya bu Ami.
"Ada bu. Tapi belum mateng, masih di goreng. Ibu nggak keberatan kan kalau nunggu sebentar?." Jawab sekaligus tanya Arini.
"Iya, gapapa. Sekalian saya minta tolong dibuatin kopi dua sama teh hangat dua ya." Pinta bu Ami.
"Oh iya, baik bu." Sahut Arini, lalu membuatkan apa yang bu Ami minta.
"Silahkan!! Ucap Arini sambil menyajikan kopi, teh dan gorengannya.
Ke empat orang itu mengobrol, sambil menikmati kopi dan gorengan yang Arini sajikan. Dari obrolan mereka, Arini bisa menyimpulkan ketiga orang itu mungkin calon pembeli yang akan membeli tanah warisan keluarga bu Ami yang akan dijual. Kebetulan letak tanah tersebut berseberangan dengan rumah Arini dan bu Dasima.
Setengah jam berlalu, mereka pergi, sedangkan bu Ami masih disana mengobrol sambil membayar kopi dan gorengan tadi.
"Maaf ya Arini, saya jadi ganggu kamu." Kata Bu Ami.
"Eh , nggak apa-apa kok bu. Kenapa harus minta maaf?. Saya justru sangat senang ibu mau jajan di warung saya." Balas Arini.
Bu Ami dan Arini masih mengobrol. Ternyata yang Arini pikirkan benar, ketiga orang tadi memang ingin membeli tanah keluarga bu Ami.
"Iya Rin, malahan tadi kata mereka, kalau seandainya tanah ini mau di jual, mereka tertarik untuk membelinya." Kata bu Ami.
Arini tersenyum.
"Sebisa mungkin kami nggak akan jual tanah ini bu, karena hanya ini yang kami punya sekarang. Lagian kalau tanah ini dijual, lalu kami mau tinggal dimana." Sahut Arini.
"Hehehe. Iya kamu benar. Sebisa mungkin kita harus pertahankan tanah peninggalan orang tua kita. Jangan sampai jadi milik orang luar semua."
"Lalu kenapa tanah ibu mau dijual?. Sayang banget bu."
"Kalau tanah itu semua milik saya, saya juga nggak akan jual Rin. Tapi kamu juga tahu sendiri kan, tanah ini tanah keluarga saya (warisan) yang harus dibagikan." Terang bu Ami, lalu setelah itu dia pulang, sedangkan Arini membereskan gelas bekas kopi tadi.
Pandangan mata Arini berhenti pada sebuah benda pipih berwarna hitam yang tergeletak dibawah bangku. Arini mengambil benda itu, yang ternyata adalah sebuah dompet laki-laki. Arini sangat yakin pemilik dompet tersebut salah satu dari laki-laki yang baru saja pergi dari warungnya.
"Ya Tuhan." Gumam Arini saat dia membuka dompet itu. Tidak ada apapun di dalam dompet itu kecuali uang lembaran berwarna merah yang Arini tidak tahu jumlahnya berapa, karena Arini tidak mau menghitungnya. Niatnya membuka dompet tersebut hanya ingin tahu mungkin ada KTP atau identitas pemiliknya, tapi nyatanya tidak ada.
"Aku yakin ini dompet bapak-bapak tadi, atau mungkin aja dompet suami bu Ami. Aku harus mengembalikannya sekarang." Gumam Arini lalu pergi ke rumah bu Ami.
Arini sampai disana, saat ketiga orang tadi baru saja meninggalkan rumah bu Ami.
"Bukan. Ini bukan dompet suami saya." Kata bu Ami, saat Arini menanyakan mungkin saja dompet itu milik suaminya.
"Kalau gitu, dompet ini pasti milik salah satu bapak-bapak tadi bu. Soalnya belum ada orang lain yang duduk dibangku selain mereka." Balas Arini.
"Nggak tahu juga." Kata bu Ami lalu meminta suaminya menghubungi ketiga lelaki tadi.
Telepon tersambung, pak Dadan langsung menanyakan apa mereka kehilangan dompet, dan mereka menjawab tidak.
"Lalu ini dompet siapa?." Tanya Arini.
"Kamu simpan saja dulu, nanti juga pasti pemiliknya akan cari dompet ini. " Kata Bu Ami.
"Gimana kalau ibu aja yang simpen?." Tanya Arini.
"Mending kamu aja. Dompetnya kan ketemu di warung kamu. Saya yakin pemilik dompet ini pasti nanti nyari ke warung kamu." Jawab bu Ami, lalu Arini kembali ke warungnya, membawa dompet itu lagi.
...
Sudah hampir sebulan berlalu, tapi tidak ada orang yang datang menanyakan perihal dompet itu, padahal Arini sudah mengabarkan pada warga. Sampai saat ini tidak diketahui siapa pemilik dompet tersebut, atau mencarinya. Ya sudahlah, Arini tidak ambil pusing apalagi mengambil uang yang ada di dompet itu.
Dia kembali membuka dompet hitam itu, dan iseng menghitung uang yang ada di dalamnya. Mulutnya sedikit menganga saat tahu ternyata jumlahnya lumayan banyak.
...
Tanah keluarga bu Ami sudah resmi dijual, dan kini pemilik barunya sudah mulai mengolah tanah tersebut. Tanah seluas satu hektar lebih tersebut rencananya akan ditanami jagung. Arini tahu semua itu dari para pekerja yang hampir setiap hari membeli gorengan dan kopi di warungnya.
Belakangan Arini tahu, kalau pembeli tanah itu adalah orang yang sama, yang membeli tanah bu Dasima dulu, juga tanah beberapa warga lainnya.
"Pantas saja waktu itu bu Ami bilang mereka ingin membeli tanah ini. Eh tapi kan yang waktu membeli tanah ibu bukan bapak-bapak yang datang bersama bu Ami. Atau mungkin mereka hanya calo?." Gumam Arini.
"Permisi neng. Mau pesen bakso sama minumannya dua puluh porsi, bisa?." Tanya seorang ibu paruh baya, salah satu pekerja yang baru menanam bibit jagung.
"Oh bisa...bisa bu. Mau makan disini atau di bungkus?." Tanya Arini.
"Makan disini." Jawab ibu itu.
"Baik bu. Mohon ditunggu ya."
Arini segera membuatkan pesanan ibu itu. Dia nampak kewalahan, karena ada yang membantunya. Walau begitu dia juga merasa senang.
Satu persatu mie bakso pesanan mereka siap. Arini langsung menyajikannya, hingga pesanan terakhir.
"Eh gimana kalau si bos gak mau bayarin baksonya?." Kata salah satu dari mereka.
"Ya bayar masing-masing." Sahut ibu satunya.
"Tenang aja. Si bos pasti bayarin." Timpal yang lainnya.
Mereka semua sudah menghabiskan bakso dan minumannya, saat seorang lelaki menanyakan berapa total yang dia harus bayar untuk bakso dan minuman yang sudah dipesan.
"Tiga ratus ribu pak." Jawab Arini, seraya diam-diam mencuri pandang pada lelaki di depannya.
Apa bos yang mereka maksud adalah bapak ini?. Tapi masa sih ini bos mereka. Tanya Arini dalam hati.
"Ada rokok nggak?." Tanya lelaki itu.
"Nggak ada pak. Saya nggak jual, hehe." Jawab Arini sambil tersenyum ragu.
Laki-laki itu memberikan tiga lembar uang berwarna merah, lalu pergi, disusul para pekerja tadi.
Laki-laki itu ternyata sopir yang mengangkut para pekerja setiap hari. Arini tidak tahu, apa dia benar-benar hanya seorang sopir, atau memang bos yang dimaksud para pekerja tadi.
\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*
.
.
. Bersambung🌿
follow me ya thx all