Calon suaminya direbut oleh sang kakak kandung. Ayahnya berselingkuh hingga menyebabkan ibunya lumpuh. Kejadian menyakitkan itu membuat Zara tidak lagi percaya pada cinta. Semua pria adalah brengsek di mata gadis itu.
Zara bertekad tidak ingin menjalin hubungan dengan pria mana pun, tetapi sang oma malah meminta gadis itu untuk menikah dengan dosen killernya di kampus.
Awalnya, Zara berpikir cinta tak akan hadir dalam rumah tangga tersebut. Ia seakan membuat pembatas antara dirinya dan sang suami yang mencintainya, bahkan sejak ia remaja. Namun, ketika Alif pergi jauh, barulah Zara sadar bahwa dia tidak sanggup hidup tanpa cinta pria itu.
Akan tetapi, cinta yang baru mekar tersebut kembali dihempas oleh bayang-bayang ketakutan. Ya, ketakutan akan sebuah pengkhianatan ketika sang kakak kembali hadir di tengah rumah tangganya.
Di antara cinta dan trauma, kesetiaan dan perselingkuhan, Zara berjuang untuk bahagia. Bisakah ia menemui akhir cerita seperti harapannya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon UQies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE #31
Waktu itu di rumah Oma Ratna,
"Berikan aku alamatnya, Oma."
"Tidak! Jangan pernah mengganggu Zara lagi, dia sudah bahagia."
"Please, Oma! Aku tidak mengganggunya. Aku sangat membutuhkan bantuan Zara saat ini."
"Tidak! Lebih baik kamu pergi!" Oma Ratna langsung masuk ke dalam rumah meninggalkan Lita yang masih berada di teras.
Tangan Lita mengepal kuat dan rahangnya pun mengeras menatap wanita paruh baya yang telah hilang di balik pintu dengan kekesalan. Jika ia tidak bisa mendapatkan alamat Zara dari sang nenek, maka ia akan mencarinya dengan cara lain.
Usai mendatangi rumah sang nenek, Lita menyuruh beberapa orang untuk mencari alamat Zara, termasuk salah satu mahasiswa yang ia suruh mencari alamatnya di catatan kampus atau menanyakannya pada mahasiswa lain.
"Oke, terima kasih, Dik. Ini bagianmu." Lita memberikan sebuah amplop putih berisi lembaran uang yang tidak sedikit kepada seorang mahasiswa karena berhasil memberikan informasi yang ia cari.
Kini setelah mengikuti alamat yang tertera di secarik kertas, Lita berdiri tepat di depan sebuah gerbang rumah yang menjulang tinggi dengan mulut terbuka. Ia tak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini. Mungkinkah rumah mewah yang berada di dalam sana itu milik adik iparnya yang berprofesi sebagai dosen? Rasanya sangat tidak mungkin. Apalagi ia tahu jika Alif baru dua tahun mengambil profesi itu.
Lita tak ingin tenggelam dalam rasa penasarannya. Bagaimana pun juga ia harus tahu dari mana sumber kekayaan adik iparnya itu. Dengan percaya diri, wanita itu melangkah mendekati pos satpam di samping gerbang dan meminta masuk.
Akan tetapi, pria berseragam satpam itu tak mengizinkan Lita masuk sampai tuan rumahnya balik dari Amerika. Mau tidak mau, Lita harus pulang lebih dulu dan berencana akan datang kembali setelah si empunya rumah datang.
Benar saja, setelah tiga hari berlalu, pagi itu ia melihat Zara tiba dengan menggunakan taksi online. Tak ingin kehilangan kesempatan, ia langsung memanggil nama sang adik.
.
.
"Izinkan aku tinggal di rumahmu untuk sementara."
Zata terdiam beberapa saat menatap Lita. Ia sungguh tidak percaya dengan apa yang dikatakan sang kakak. Bisa-bisanya dengan begitu tidak tahu malu, wanita itu datang lagi dan ingin tinggal dirumahnya setelah apa yang dia lakukan dua tahun lalu.
"Maaf, aku tidak bisa. Sebaiknya Kakak pulang saja," tolak Zara mentah-mentah.
"Tapi Zara, saat ini aku sangat butuh pertolongan." Lita masih berusaha membujuk, berharap sang adik bisa luluh.
"Minta tolong saja kepada Kak Arya dan Kak David." Zara melangkahkan kakinya melewati Lita dan hendak menuju lantai dua. Berkali-kali sang kakak memanggilnya, tetapi tak sedikit pun ia menoleh.
"Tidak punya hati nurani kamu, Zara! Aku Kakakmu, bukan orang lain!" teriak Lita dan berhasil membuat langkah kaki Zara terhenti.
Zara berbalik menatap tajam sang kakak, lalu kembali mendekat ke arah di mana Lita berdiri. "Apa? Tidak punya hati nurani?" tanyanya sambil tertawa hambar.
"Apa tidak terbalik? Kakak? Kamu memang kakakku, tapi sayang, kamu bahkan tidak pantas disebut Kakak!" balas Zara dengan tatapan tajam membuat Lita seketika membisu.
"Mana ada kakak yang tega menghancurkan hidup adiknya sendiri? Ini bukan tentang pria bereng*ek itu, tapi ini tentang bagaimana kamu melenyapkan semua harapanku tepat di hari yang seharusnya aku bahagia saat itu! Dan karena ulahmu dan Ayah juga, Ibu jadi sakit dan akhirnya meninggal dalam kesedihan. Kamu sadar tidak?" tanya Zara dengan intonasi suara yang semakin meninggi dan penuh penekanan. Ia bahkan tak lagi menyebut Lita dengan panggilan "kakak" seperti sebelumnya.
"Zara, itu ...." Suara Lita kini terdengar mengecil dan ragu.
"Tolong pergi dari rumah ini!" kata Zara mengusir sang kakak dengan suara pelan, lalu berbalik dan langsung melangkah pergi meninggalkan Lita di ruang tamu seorang diri.
Setibanya di kamar, Zara menutup pintu dan bersandar di sana dengan mata berkaca-kaca. Tubuh wanita itu merosot hingga terduduk di lantai. Jantungnya berdegup kencang dan tubuhnya bergetar karena berusaha menahan emosi sejak tadi
Air mata mulai menetes hingga mengalir begitu deras membasahi pipi. Sudah lama ia menahan diri agar tak menangisi mereka yang telah mengkhianati hidupnya, tetapi ia tak bisa menahannya kali ini atas apa yang baru saja terjadi.
Harus diakui, ia sudah keterlaluan dengan kakaknya sendiri. Namun, luka di hatinya tidak akan sembuh semudah itu. Mungkin ia bisa memaafkan, tetapi untuk menerima seperti semula, sungguh ia tak akan bisa, terlebih bayangan dirinya dan sang ibu yang menderita selama dua tahun selalu membayangi.
Suara ketukan pintu tiba-tiba menyadarkan Zara dari kesedihan. Ia bisa merasakan dorongan dari luar di pintu yang ia sandari saat ini hingga membuatnya berdiri sambil menghapus air mata. Pintu pun terbuka di mana Alif kini berdiri di sana dengan raut wajah penuh kekhawatiran.
"Pak Alif sudah pulang," ucap Zara dengan suara serak.
Alif tak menjawab, ia langsung berjalan ke arah Zara dan memeluknya erat. Tangan pria itu mengusap kepala sang istri yang masih tertutup kerudung dengan lembut. Zara pun tak menolak pelukan itu, ia justru ikut memeluk sang suami dan memejamkan mata mencari ketenangan di sana.
"Saya tadi melihat Kak Lita pergi dari rumah, ada apa? Apa dia menyakiti kamu?" tanya Alif lembut sambil mengecup pucuk kepala Zara.
Zara melepaskan pelukan, lalu mendongak menatap Alif sambil menggeleng pelan. "Dia tidak menyakiti saya, Pak," jawabnya berusaha tersenyum.
Jemari Alif terangkat untuk mengusap kedua mata Zara yang terlihat sembab. "Lalu ini kenapa bisa basah?" tanya pria itu, tetapi Zara tak menjawab. Wanita itu justru kembali memeluk sang suami dengan erat.
Hening beberapa saat. Alif tak lagi menanyakan perihal kakak iparnya. Ia tahu Zara tak ingin membahasnya untuk saat ini. Kalaupun ada perselisihan di antara mereka, ia tahu sang istri mampu mengatasinya dan akan bercerita jika sudah siap.
.
Malam kini telah tiba. Sepasang suami-istri itu memutuskan untuk makan malam bersama. Namun, sejak siang tadi, Zara tak banyak bicara dan lebih sering diam. Pikirannya pun benar-benar kacau. Rasa takut dan gelisah masih saja bertahta dalam hatinya.
Sementara itu, Alif hanya bisa memandangi Zara dalam diam. Ia tahu wanita itu sedang banyak pikiran, entah karena kedatangan sang kakak atau karena alasan lain. Namun, hal itu sungguh mengganggu pikirannya.
"Jasmine, jika ada yang mengganggu pikiranmu, kamu bisa menceritakannya kepada saya. Saya suami kamu, bagaimana pun juga masalahmu adalah masalah saya," kata Alif setelah sekian lama berpikir.
Zara mengangkat wajahnya menatap sang suami. Mulutnya mulai terbuka untuk mulai berbicara, tetapi tiba-tiba saja ia kembali menutup mulutnya sambil tersenyum, seolah memberikan kode kepada Alif jika saat ini ia belum ingin berbagi cerita.
Tak hanya di ruang makan, di kamar pun Zara masih saja diam. Alif mengamati gerak-gerik sang istri yang tampak berjalan ke sofa dan hendak membaringkan tubuhnya di sana. Dengan cepat pria itu menghampiri sang istri dan mengenggam tangannya.
"Kemarilah!" ucap Alif lembut, lalu menarik Zara dan membawanya ke tempat tidur.
"Tidurlah di sini, tidurlah bersama saya." Ucapan sederhana, tetapi penuh makna itu membuat hati Zara berdesir.
Zara menganggukkan kepalanya sebagai tanda setuju, ia pun berbaring perlahan, kemudian di susul oleh Alif yang ikut berbaring tepat di sampingnya usai mematikan lampu.
Untuk sesaat Alif dan Zara terdiam gugup menatap langit-langit kamar yang gelap. Tak ada lagi yang bersuara, bukan karena sudah tidur, melainkan karena lidah mereka tiba-tiba terasa kaku. Jika saja tak ada suara jangkrik di luar sana yang mengiringi suasana malam, sudah pasti hanya suara detak jantung mereka yang terdengar. Bagaimana tidak, selama keduanya terikat dalam ikatan halal, ini adalah kali pertama mereka tidur bersama dalam satu tempat tidur.
"Bapak sudah tidur?" tanya Zara pelan.
Alif yang memang tidak bisa memejamkan mata langsung menjawab, "Belum."
Hening kembali beberapa detik.
"Tadi, Kak Lita datang ingin meminta tinggal di sini karena terlilit masalah...." Zara mulai menceritakan apa yang dia dan Lita bicarakan pagi tadi di rumah tanpa ada yang ditutupi. "Apa sikap saya salah? Apa saya kejam karena menolak permintaan Kak Lita?" lanjutnya bertanya.
"Tidak, kamu tidak salah. Kamu melakukan itu untuk menjaga mentalmu yang terluka karena ulahnya di masa lalu," jawab Alif, "tapi, saya berharap kamu mau berdamai dengan mereka. Tidak sekarang, mulailah pelan-pelan dimulai dari berdamai dengan masa lalu."
.
.
.
#bersambung#