Menjadi aktris baru, nyatanya membuat kehidupan Launa Elliza Arkana jungkir balik. Menjadi pemeran utama dalam project series kesukaannya, ternyata membuat Launa justru bertemu pria gila yang hendak melec*hkannya.
Untung saja Launa diselamatkan oleh Barra Malik Utama, sutradara yang merupakan pria yang diam-diam terobsesi padanya, karena dirinya mirip mantan pacar sang sutradara.
Alih-alih diselamatkan dan aman seutuhnya, Launa justru berakhir jatuh di atas ranjang bersama Barra, hingga ia terperosok ke dalam jurang penyesalan.
Bukan karena Barra menyebalkan, tapi karena ia masih terikat cinta dengan sahabat lamanya yaitu Danu.
“Lebih baik kau lupakan kejadian semalam, anggap tidak pernah terjadi dan berhenti mengejarku, karena aku bukan dia!” ~Launa Elliza
“Jangan coba-coba lari dariku jika ingin hidupmu baik-baik saja.” ~ Barra Malik Utama
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erma Sulistia Ningsih Damopolii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 5 Saya Tidak Suka Artis Plonga Plongo- Barra
“Apa maksudnya ini?” Launa pun mengepalkan tangan sampai buku tangannya memutih. Ini benar-benar sulit diterima akal.
“Jadi orang gila?”
“Sebentar, ini serius aku jadi orang gila Va? Kenapa harus orang gila sih?”
“Iya, pak Barra sudah konfirmasi soal pergantian pemain. Kamu tidak baca group Lau?”
“Tidak.” Jawab Launa hingga Iva memutar bola matanya. Kebiasaan, karena terlalu kesal ia sampai membisukan notifikasi pesan group di whatsapp-nya.
“Tuh kan, makanya baca dong Lau. Semua crew dan pemain lainnya sudah tau, tinggal kamu aja yang belum membacanya, jadi aku panggil kamu.”
“Tapi gimana bisa? Tadi aja mereka baru muji-muji aku.”
“Itu karena mereka nggak enak saja kasih tau kamu.”
Ternyata popularitas seseorang tidak menjamin dia dihargai. Kadang kala, meski pun punya popularitas, tetap akan kalah dengan yang berkuasa.
Itulah kesimpulan Launa mengenai orang yang berkuasa. Meski dia sudah populer dengan sejuta pesona dan mulai banyak dilihat masyarakat, tetap saja tidak punya daya melawan atasannya.
Baru juga hendak merasakan nikmatnya jadi pemeran utama, Launa harus merasakan peristiwa yang membuat dirinya merasa direndahkan.
Ini project yang Launa inginkan, khayalannya sudah melambung terlalu jauh andai dia mendapat peran utama. Tapi justru diganti sesuka hati oleh manusia yang tak berperasaan itu.
Launa jadi tak tahan lagi, sutradara sialan itu semakin membuat Launa murka. Dia yang awalnya diberi kepercayaan untuk memerankan sebagai wanita cantik dan keren, diubah menjadi orang gila tanpa persetujuannya. Bahkan saking kesalnya, Launa sampai menyebut Barra tak ubahnya bak manusia kolot yang tak mengerti regulasi. Sekesal itu dirinya sampai merambah ke personal.
Padahal tadi dia sudah dipuji dan diberi approve oleh yang lain karena berhasil menunjukkan kemampuan akting terbaiknya. Tak disangka justru diubah seenak dengkul oleh sutradara yang menurut Launa sangat sialan itu.
“Va? Kamu tau nggak apa alasan pak Barra mengganti peranku?” Tanya Launa berusaha tenang walau hatinya sudah terbakar.
“Kalau itu, pak Barra tidak memberitahuku Lau.”
“Apa mungkin ada pemain yang punya orang dalam yang sekiranya dekat sama pak Barra gitu.” Tutur Launa berspekulasi.
“Lau, alangkah baiknya kamu tanya langsung ke pak Barra deh.”
Sungguh Launa tidak mengerti apa alasan Barra mengganti perannya secara mendadak. Bukan menjadi sahabat pemeran utama, tapi jadi saudara dan ya soal jadi saudaranya itu dia tidak masalah, tapi ini jadi saudara yang gila karena ditinggal suaminya yang berkhianat. Sungguh miris sekali bahkan bukan hanya itu, kemunculannya juga hanya sesekali. Bisa dihitung, hanya muncul di dua episode saja karena selebihnya Launa akan dibuat mati.
Seandainya memang alasannya karena jam terbang Launa yang belum terlalu tinggi, kenapa harus merekrutnya untuk tetap mendapatkan peran itu? Sampai-sampai Launa sudah berharap terlalu jauh namun dipatahkan begitu saja. Padahal syutingnya sudah akan dimulai dan prosesnya berjalan begitu matang, tapi Launa justru dihadapkan oleh perubahan besar.
Atau kalau memang ada orang dalam, sungguh Barra bukan mencerminkan atasan yang bijak dan proffesional, tapi justru jadi atasan nepotisme yang rendahan pikir Launa.
“Jadi orang gila, yang benar saja Va? Dia meremehkanku atau bagaimana? Apa kamu yakin aku harus menemui dia Va?” Tanya Launa kembali.
“Iya, biar semuanya jelas Lau, mumpung pak Barra masih di sini, karena sebentar lagi dia akan mengadakan meeting di kantor utama.” Jelas Iva kemudian. Saran Iva tidak hanya lewat begitu saja di kuping Launa, tapi langsung menuju ruangan Barra untuk bertemu pria itu.
Pria itu memang punya pengaruh besar di sini, Barra bukan hanya terkenal sebagai sutradara yang punya ketampanan bak dewa, tapi sepak terjangnya sebagai sutradara bukan sekadar isapan jempol belaka, dan dia pun ditakuti banyak orang.
Usianya belum terlalu tua, malah termasuk sutradara dengan pengalaman yang sehebat itu, 32 tahun.
Langkahnya begitu cepat, Iva bilang dia masih berada di ruangannya, ia ingin segera menemui pria kolot itu sebelum pria itu pergi dan Launa tidak berniat mengejarnya jauh-jauh.
Beberapa menit sejak memutuskan untuk menemui Barra, Launa masuk ke ruangan pria itu tanpa ketuk pintu, tanpa peduli dengan pandangan orang di sekitarnya.
“Pak Barra!” Panggil Launa begitu melihat Barra sudah bersiap untuk beranjak dari sana.
Hampir terlambat, beberapa detik lagi mengulur waktu, membuat Launa hampir gagal menemuinya karena sewaktu membuka pintu, Launa langsung berpapasan dengannya yang juga hendak memutar gagang pintu.
“Ada apa?” Tanya pria itu menatap datar Launa tanpa mempersilahkan dia masuk.
Sama sekali tidak ada keramahan, satu ciri khas Barra yang kerap diperbincangkan dan Launa pun sudah tidak kaget akan hal itu.
“Saya minta waktunya sebentar.”
“Langsung saja apa yang ingin kamu katakan?” Timpal Barra sembari melirik pergelangan tangan kirinya.
Launa mengerjap pelan, baru kali ini ia bertemu pria tak berhati seperti Barra. Cara bicaranya tidak sopan dan tampak tak berperasaan.
Sebagaimana yang Barra minta, Launa langsung membahas pada intinya. “Kenapa bapak mengganti peran saya jadi orang gila? Saya butuh alasan bapak.”
“Kamu masih perlu ingin tau hal itu?” Tanya Barra singkat tanpa ada rasa bersalah sedikitpun.
“Tentu, saya butuh alasan yang konkret dan masuk akal.”
“Sepertinya otak kamu tidak sampai ya?”
“Maksud bapak?” Launa bertanya seraya memicingkan mata karena benar-benar bingung tentunya.
“Ck, lagaknya aktris zaman sekarang.” Gumam Barra namun masih bisa Launa dengar.
“Bisa langsung jelaskan ke intinya nggak pak? Saya tidak butuh basa basi bapak.” Ketus Launa yang merasa tidak perlu lagi menunjukkan rasa hormatnya.
Pria itu sontak tersenyum, bukan senyum teduh apalagi senyum hangat melainkan senyum meremehkan. “Pertama kamu sudah datang terlambat, dan kedua karena kamu sering lupa dialog. Selain itu, kamu tidak pantas untuk mendapat peran sebagai citra di series ini jelas?”
Deg…
Mendengar itu, Launa bak diobrak abrik hatinya. Panas dan perih ia rasakan dalam satu waktu. Bak dihujam pedang Damaskus, hati Launa seolah disayat-sayat rasanya.
Launa sadar akan kesalahan yang ia lakukan, tapi menurutnya Barra terlalu frontal dalam menyampaikan alasannya.
“Tapi kan pak, tadi aku sempat mendapat pujian dan mampu menunjukkan bakat aktingku kan? Kata mereka aktingku bag_”
“Bagus? Itu kata mereka tapi bukan kata saya.” Sergah Barra menohok hingga Launa bungkam sejenak.
“Tapi kenapa harus jadi orang gila dan hanya muncul di dua episode saja?”
“Bukan kah itu lebih bagus? Itu artinya kamu tidak perlu cape-cape membuang waktu untuk datang setiap hari. Kebetulan, saya tidak suka mempekerjakan artis yang plonga plongo seperti kamu dan selalu lupa dialog.” Pungkas Barra lalu kemudian berlalu usai melewati Launa begitu saja. Ia meninggalkan Launa yang kini tengah berapi-api.
Dengan rahang mengeras dan tangan yang terkepal kuat, Launa menatap tajam punggung Barra yang semakin menghilang. Dada Launa naik turun seakan ingin menghantam puncak kepala Barra saat itu juga.
sorry tak skip..