NovelToon NovelToon
Please! Don'T Be My Boyfriend

Please! Don'T Be My Boyfriend

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Cintapertama / Cintamanis / Teen Angst / Cinta pada Pandangan Pertama / Idola sekolah
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: Adzalziaah

"Ayo kita pacaran!" Ryan melontarkan kata-kata tak pernah kusangka.

"A-apa?" Aku tersentak kaget bukan main.

"Pacaran." Dengan santainya, dia mengulangi kata itu.

"Kita berdua?"

Ryan mengangguk sambil tersenyum padaku. Mimpi apa aku barusan? Ditembak oleh Ryan, murid terpopuler di sekolah ini. Dia adalah sosok laki-laki dambaan semua murid yang memiliki rupa setampan pangeran negeri dongeng. Rasanya aku mau melayang ke angkasa.

Padahal aku adalah seorang gadis biasa yang memiliki paras sangat buruk, tidak pandai merawat diri. Aku juga tidak menarik sama sekali di mata orang lain dan sering menjadi korban bully di sekolah. Bagaimana Ryan bisa tertarik padaku?

Tidak! Aku akan menolaknya dengan keras!!!

[update setiap hari 1-2 bab/hari]

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 34 | Rujukan

“Itu…” Aku menghentikan kalimatku, menatap ke arah tanganku yang saling meremas di atas pangkuan.

Jantungku berdebar cepat, tubuhku terasa kaku, seolah kata-kata yang akan keluar dari mulutku begitu berat. Aku menarik napas dalam, berusaha mengatur nafasku yang tercekat.

“Saya mengidap kanker darah. Biasanya, saya menjalani pemeriksaan di luar negeri.”

Ruangan tiba-tiba terasa begitu sunyi. Ekspresi Dokter Hamid berubah, campuran antara keterkejutan dan empati. Mata pria paruh baya itu menatapku dengan lembut, seolah mencoba mencari cara untuk menghibur tanpa mengurangi keseriusan situasi. Dia mengambil langkah mundur, memandangku lebih dalam. Ada rasa keheningan yang mendalam, seolah seluruh dunia kami terhenti hanya untuk beberapa detik.

“Anda datang bersama siapa?” tanyanya pelan, suara lembutnya seolah takut jika pertanyaannya akan menambah beban di hatiku. “Apa orang tua Anda sudah tahu tentang penyakit yang Anda derita?”

“Iya, mereka sudah tau,” jawabku, berusaha menjaga nada suara tetap stabil meskipun rasanya seluruh tubuhku terasa lelah dan hampir tak mampu menahan beban ini lebih lama lagi. “Orang tua saya tinggal di luar negeri. Saya di sini bersama teman saya.”

Dokter Hamid mengangguk pelan, mengambil waktu sejenak untuk mencerna jawabanku. Matanya masih tertuju padaku, namun ada rasa kehati-hatian yang kental. Dia menarik napas dalam, seolah mencari kata-kata yang tepat untuk menyampaikan apa yang harus disampaikan tanpa melukai lebih dalam.

“Baiklah, kalau begitu. Anda harus menjalani pemeriksaan lebih lanjut di hari lain. Saya akan membuatkan surat rujukan agar hasilnya lebih detail.”

Dokter Hamid kembali ke mejanya, aku mengikutinya dan duduk di hadapannya. Dokter Hamid mulai menulis sesuatu di buku catatan, tangannya menari di atas kertas dengan gerakan yang teratur.

Aku hanya mengangguk, tidak tahu harus mengatakan apa. Suasana di ruangan itu tiba-tiba terasa begitu berat, bahkan suara detak jam dinding yang terpasang di sudut ruangan itu terdengar menggema begitu keras di telingaku. Seperti jam itu berdetak menghitung mundur waktu yang tak bisa diputar kembali.

Dokter Hamid menatapku lagi setelah selesai menulis, matanya seakan menilai apakah aku siap untuk mendengar lebih banyak lagi. “Aura, penting untuk Anda menjaga kondisi tubuh sebaik mungkin. Kelelahan atau stres bisa memperburuk kondisi Anda. Saya akan sarankan beberapa pemeriksaan, jika memungkinkan orang tuan Anda harus hadir untuk menemani Anda, kita diskusikan langkah selanjutnya, ya.”

“Iya, Dok,” jawabku pelan, mencoba menguatkan diri meskipun rasanya seluruh tubuhku melemah.

“Kalau begitu, Anda bisa pulang. jangan lupa untuk menjalani pemeriksaan pada tanggal yang tertera di surat rujukan.” Dr. Hamid menyerahkan kertas yang baru saja ditulisnya itu.

Aku berdiri perlahan, mengangguk sambil mengambil surat rujukan yang dia berikan. “Terima kasih, Dok.”

Begitu aku membuka pintu, Ryan langsung berdiri dari kursinya. Dia tampak menunggu dengan sabar, tapi matanya menunjukkan kekhawatiran yang jelas. Ada perasaan cemas yang seolah terpendam di dalam tatapannya. Aku bisa merasakan bahwa dia ingin bertanya lebih banyak, tetapi dia menahan diri, mencoba memberi ruang bagiku untuk berbicara.

“Aura, gimana? Dokternya bilang apa?” tanyanya begitu aku mendekat, suaranya terdengar cemas.

Aku menahan napas sejenak sebelum menjawab, mencoba untuk tetap tenang seperti sebelumnya. “Katanya ini cuma pendarahan biasa, mungkin karena stres,” ucapku sambil menyelipkan surat rujukan ke dalam tas tanpa memperlihatkannya pada Ryan.

Aku tahu ini bukanlah jawaban yang sepenuhnya jujur, tapi aku merasa terlalu berat untuk menceritakan yang sebenarnya. Hal inilah yang berusaha aku tutupi dari Ryan.

Ryan mengernyit sedikit, seolah tidak sepenuhnya yakin dengan jawabanku. “Cuma stres? Kamu yakin nggak ada yang lebih serius?” Matanya menunjukkan keresahan yang tak bisa disembunyikan.

Aku tersenyum kecil, meskipun hatiku terasa berat. Senyum itu hanya untuk menutupi kegelisahan yang bergejolak dalam diriku.

“Iya, cuma itu kok. Aku memang kurang istirahat akhir-akhir ini.” Aku berusaha terdengar seolah semuanya baik-baik saja, meskipun kenyataannya jauh dari itu.

Ryan menghela napas panjang, lalu menyentuh bahuku dengan lembut. “Kalau gitu, kamu harus lebih banyak istirahat, Aura. Jangan terlalu memaksakan diri, oke?” Suaranya penuh perhatian, dan aku bisa merasakan betapa dia peduli padaku.

Aku mengangguk, tidak berani menatap matanya terlalu lama. Aku tahu, aku harus lebih jujur padanya, tetapi saat itu aku merasa terlalu takut untuk membuka segala sesuatu. Mungkin jika tiba waktunya aku siap untuk bercerita, aku akan berkata jujur padanya.

“Iya, aku tahu. Terima kasih, Ryan.”

Kami berjalan keluar dari rumah sakit bersama, Ryan tetap di sisiku sepanjang waktu. Meskipun aku berusaha keras terlihat tenang, ada bagian dalam diriku yang merasa bersalah karena tidak memberitahunya yang sebenarnya. Tapi aku tahu, ini bukan saatnya. Aku tidak ingin membebaninya atau membuat dia khawatir lebih dari yang sudah dia rasakan.

...»»——⍟——««...

Sesampainya di depan rumah, aku berhenti dan membuka pagar. “Apa kamu mau mampir sebentar?” tanyaku padanya.

Berharap bisa sedikit melupakan segala kekhawatiran yang sedang aku rasakan. Aku ingin merasakan sedikit ketenangan, meskipun aku tahu itu tidak akan lama.

Ryan tersenyum tipis, menatapku sebentar sebelum menggeleng. “Ah, lain kali saja ya,” jawabnya halus, seolah tahu aku ingin ia tinggal lebih lama, tetapi tidak ingin memaksanya.

“Ya sudah, hati-hati di jalan. Terima kasih sudah mau mengantarku hari ini,” kataku sambil melambaikan tangan.

“Nggak masalah. Jaga kesehatan, oke? Bye, Aura,” jawab Ryan, lalu berbalik dan mulai berjalan pulang.

Aku merasa sedikit kecewa, tetapi aku tidak mengatakannya. Pasti Ryan punya kesibukan lain. Aku tidak bisa memaksanya, padahal aku ingin dia menengok keadaan kucing-kucingku yang bertumbuh semakin gemuk.

Aku menatapnya hingga ia hilang di balik sudut jalan, merasa sedikit cemas meski tahu ia akan baik-baik saja. Aku masuk ke dalam rumah, mengunci pintu, dan mencoba mengalihkan perhatian dari semua pikiran yang menderaku. Namun, ada sebuah rasa kekosongan yang tak bisa kutepis, seolah ada bagian dari diriku yang hampa tanpa kehadiran Ryan di sisi.

Ryan tiba di rumahnya sekitar sepuluh menit kemudian. Ketika ia membuka pintu rumah, ibunya sudah menunggunya dengan ekspresi yang tak bisa ia baca. Ryan tahu bahwa ibunya selalu menunggu dengan harapan yang besar, dan ia harus berhati-hati dalam setiap langkahnya.

“Ibu? Tumben pulang kerja lebih awal,” ucap Ryan, mencoba terdengar santai meski ia merasa ada yang aneh dengan ibunya yang pernah absen dari pekerjaannya.

“Ibu pulang lebih awal karena rapatnya sudah selesai, Ryan. Dari mana saja kamu?! Bukannya di rumah belajar, malah keluyuran!” suara ibunya melengking, penuh kemarahan.

Ryan bisa merasakan matanya yang tajam menatapnya, penuh dengan kecurigaan. “Maaf, Bu. Aku baru pulang dari kerja kelompok”.

...»»——⍟——««...

1
Bianca Angelie
🤷🏻‍♀️Demi apa sii tor ? baca dari senyum² sendiri berakhir dengan taburan bawang.. baru mo sedikit seneng ehh.. 😭 meng'sad amat sii nasibmu Ra
(✊ cemunguuutt otor..!! selalu kutunggu up'nyaa..)
yanah~
Mampir kak 🤗
Kalimat Fiktif
pokoknya ini novel anak muda bangettt sukaaaa sekali akuu
Kalimat Fiktif
serasa inget pas jaman sekolahan dulu hehe karakter Ryan mewakili banget
miilieaa
nyicil beberapa bab dulu yaa kak/Drool/
Binay Aja
semangat nulisnya maaf bacanya maraton soalnya lagi ada kesibukan. insyaallah lain kali tak baca secara seksama
Cevineine
Semangat thorr, mampir2 yaa😁
Zanahhan226: Halo..
Aku membuat sebuah karya berjudul "TRUST ME" di MangaToon, mohon dukungannya ya!
total 1 replies
Anonymous
akhirnya yang ditunggu2
ADZAL ZIAH: iya ❤
total 1 replies
diann
kenapa novelnya selalu dimulai dari penolakan?
ADZAL ZIAH: he he he 😆
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!