Menikah dengan lelaki yang dia cintai dan juga mencintainya adalah impian seorang Zea Shaqueena.
Namun impian tinggalah impian, lelaki yang dia impikan memutuskan untuk menikahi perempuan lain.
Pergi, menghilang, meninggalkan semua kenangan adalah jalan yang dia ambil
Waktu berlalu begitu cepat, ingatan dari masa lalu masih terus memenuhi pikirannya.
Akankah takdir membawanya pada kebahagiaan lain ataukah justru kembali dengan masa lalu ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Destiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjelaskan
"Maksudnya apa kamu ngomong gitu?"
"Ngomong apa?" Tanya Varro seolah tidak mengerti yang Zea tanyakan.
"Ck" Zea berdecak kesal.
"Kamu jangan sembarangan ngomong ya"
"Emang kenapa? Gak ada yang salah dari ucapan aku." Varro berbicara sangat lembut.
Zea yang mendengarnya kembali menatap Varro semakin tajam. "Apa kamu lupa? Kita gak ada hubungan apapun. Apalagi calon suami, ck, jauh sekali pikiranmu."
Varro menarik tangan Zea, menggenggamnya erat. Zea menarik tangannya dari genggaman Varro, namun tenaganya tidak sebanding. Varro tidak melepaskan tangan Zea.
"Ze, tolong dengarkan aku kali ini aja." Varro menatap lekat netra indah Zea yang terus menghindari tatapannya.
Varro mendudukan Zea di kursi kerjanya. Sedangkan dirinya berjongkok dihadapan Zea. Tangannya tetap memegang erat kedua tangan Zea.
Varro menarik nafasnya dalam sebelum kembali berbicara.
"Kamu ingat, setelah aku nganterin kamu pulang. Waktu itu aku bilang, aku mau kumpul sama temen seangkatan aku buat ngerayain kelulusan kita. Kita disana sampai sore, semua orang udah pulang sementara aku sama Jimmy masih disana. Saat aku mau pulang, diluar aku ngeliat Sela masih disana. Dan saat itu ban mobilnya bocor, trus dia minta aku anterin dia pulang." Zea terdiam mendengarkan cerita Varro
Varro menarik nafasnya dalam, sungguh sebenarnya dia sangat benci mengingat hal itu. Namun ia tetap melanjutkan ceritanya hingga tragedi penjebakan itu. Seluruhnya Varro ceritakan tanpa ia kurangi sedikitpun. Varro bercerita hingga ia membongkar kebusukan mereka dan menjebloskan mereka ke penjara.
Zea sangat terkejut mendengar semuanya. Ia menatap lekat kedua netra Varro, mencari kebohongan disana. Namun Zea tidak melihat satu pun kebohongan, ia hanya melihat kejujuran disana.
"Maaf, waktu itu aku gak cerita sama kamu. Aku terlalu malu sama kamu Ze. Aku gak mau kamu terbebani sama semua masalah yang aku hadapi." Varro berbicara dengan menundukkan kepalanya.
"Harusnya kamu jujur sama aku." Ucap Zea lirih. Matanya sudah terlihat berkaca-kaca.
"Maaf ze. Saat itu kalau aku cerita, kamu pasti mau bantu aku "
"Tentu saja." Ucap Zea menyela.
"Dan itu yang aku takutkan, kalau kamu bantu aku, aku takut kedua orang tua kamu menilai aku hanya memanfaatkan kamu."
"Orang tua aku gak sepicik itu asal kamu tau. Papa pasti mau bantu."
"Aku tau. Karena itu aku menyesalinya sekarang, andai saat itu aku cerita mungkin semuanya gak akan berantakan kaya sekarang." Suara Varro terdengar lirih, matanya berkaca-kaca menatap Zea. Sangat terlihat penyesalan disana.
"Semuanya udah terjadi, udah gak bisa di rubah."
"Maafin aku Ze, aku mohon kasih aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya."
"Aku udah maafin kamu. Tapi untuk kesempatan, kamu harus ingat, kamu udah punya istri."
"Enggak ze, aku udah gak ada hubungan apapun lagi dengan dia, aku sudah menceraikannya ze. Lagi pula aku tidak pernah melakukan apapun padanya,saat penjebakan itu pun aku tertidur Ze, bagaimana bisa aku melakukannya saat aku tidur." Sanggah Varro, ia berusaha menjelaskan dan meyakinkan Zea.
"Lalu, yang di rumah sakit ..."
"Soal itu aku minta maaf, itu aku lakukan hanya untuk pengalihan. Lagi pula semuanya tidak terjadi, sampelnya hilang." Spontan Varro menjelaskannya.
"Tunggu, bagaimana kamu tau soal itu?" Tanya Varro.
Mendengar itu Zea menjadi gugup, matanya ia alihkan ke sembarang arah tak lagi menatap Varro. Varro mengerti hal itu, ia akan tetap seolah-olah tidak mengetahuinya. Varro ingin Zea yang mengatakannya langsung padanya.
"Ze .."
drrttt drttt
Ucapan Varro terhenti. Keduanya mengalihkan pandangannya, menatap ponsel yang tergeletak di meja.
Zea mengambilnya, melihat siapa yang menelponnya. Melihat nama mamanya yang memanggil, Zea langsung mengangkatnya.
"Halo ma?"
"Kamu lagi dimana ze?"
"Ini aku lagi di butik." Sahut zea. Matanya menatap Varro sekilas lalu kembali menatap sembarang arah.
"Butik? "
"Iya, aku udah balik ke london tadi pagi."
"Loh kenapa? gak jadi buka cabang di paris?
"Ya jadi lah."
"Oh, kirain gak jadi karena kamu dapet hidayah buat pulang ke rumah." Ucapan dan nada bicara mamanya jelas sekali tengah menyindirnya, Zea tau itu.
"Ma.." Tekan Zea dengan suara tertahan.
"Iya oke. Terus kenapa kamu tiba-tiba udah di london aja sekarang?"
Zea menarik nafasnya dalam sebelum menjawab pertanyaan sang mama.
"Aku ada kerjaan yang gak bisa di kerjain disana. Jadi aku langsung buru-buru balik kesini lagi " Ucapnya menjelaskan.
"Nah kan? repot sendiri jadinya. Ngeyel sih di bilangin." Gerutunya.
"Enggak ko, disana udah di handle sama Shanum aku cuma mantau perkembangannya dari sini." Zea menyanggah dengan cepat.
"Ck... Ya sudahlah terserah kamu. Ingat ya ze, ini yang terakhir kali. Jangan lupa janji kamu sama mama."
"Iya ma aku inget." Sahut Zea meyakinkan mamanya.
"Oh iya ze.. Kamu sudah mendengar kabar berita tentang Varro mantan kamu itu?" Mendengar itu Zea langsung menatap Varro.
"Belum, kenapa memangnya?" Zea cukup penasaran dengan yang di ucapkan mamanya itu.
Zea dengan seksama mendengarkan cerita mamanya. hatinya cukup tersentuh.
"Mama tau dari mana?"
"Ada lah, kamu gak perlu tau itu. Ya sudah mama tutup telponnya, mama cuma mau ngasih tau itu aja. Jaga diri kamu baik-baik, jangan terlalu memforsir diri kamu untuk pekerjaan."
"Iya, bye ma"
Zea menggenggam ponselnya erat setelah sambungan telponnya berakhir. Zea mengangkat kepalanya, pandangannya bertemu dengan netra indah Varro yang sejak tadi menatapnya lekat.
Varro berdiri dihadapan Zea dengan duduk bersandar di meja kerja zea. Entah apa yang ada di pikiran keduanya, namun Varro tak melepaskan tatapan matanya dari Zea.
Drrttt drttt..
Dering ponsel dari dalam saku celana Varro membuatnya melepaskan tatapannya. Ia mengambil ponselnya, lalu mengangkatnya setelah melihat nama si pemanggil tertera di layar ponselnya.
"Ada apa?" Tanya Varro. Dengan posisi yang sama, matanya kembali menatap Zea lekat.
"Apa tidak bisa kau kerjakan sendiri?"
"Ck. Ya sudah, langsung saja kirimkan padaku. Akan segera ku kerjakan" Nada bicara Varro terdengar cukup kesal.
"Hmm." Varro menyimpan kembali ponselnya setelah ia menutup panggilan telponnya.
Varro berdiri menegakkan tubuhnya menghadap Zea. "Kamu nanti pulang jam berapa?" Nada bicaranya kembali lembut saat berbicara pada Zea.
"Kenapa?" Bukan menjawab, Zea malah balik bertanya pada Varro.
"Aku akan pulang sebentar, ada pekerjaan yang harus aku selesaikan sekarang juga. Nanti sore aku jemput lagi."
"Pergilah. Terima kasih sudah nganterin aku tadi."
Varro mengangguk "Ya sudah, aku pergi dulu." Lalu beranjak keluar meninggalkan Zea di ruangannya.
Setelah kepergian Varro, Zea menyandarkan punggungnya dengan lemas. Ia menghela nafasnya dalam. Tangannya terangkat mengusap perutnya.
Zea mengingat cerita mamanya di telpon tadi, sama persis seperti yang di ceritakan Varro padanya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...