Satu demi satu kematian terjadi di sekolah.
Jika di waktu biasa, orang tua mereka akan langsung menuntut balas. Tapi bahkan sebelum mereka cukup berduka, perusahaan mereka telah hancur. Seluruh keluarga dipenjara.
Mantan anak yang di bully mengatakan, "Jelas ini adalah karma yang Tuhan berikan, atas perbuatan jahat yang mereka lakukan."
Siswa lainnya yang juga pelaku pembully ketakutan, khawatir mereka menjadi yang selanjutnya. Untuk pertama kalinya selama seratus tahun, sekolah elit Nusantara, terjadi keributan.
Ketua Dewan Kedisiplinan sekaligus putra pemilik yayasan, Evan Theon Rodiargo, diam-diam menyelidiki masalah ini.
Semua kebetulan mengarahkan pada siswi baru di sekolah mereka. Tapi, sebelum Evan menemukan bukti. Seseorang lebih dulu mengambil tindakan.
PERINGATAN MENGANDUNG ADEGAN KEKERASAN!!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cerryblosoom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34 JALUR YANG BENAR?
Larut malam. Hujan tiba-tiba saja turun diawali rintik-rintik kecil, lalu kemudian menjadi deras. Rintik nya bagai simfoni merdu, yang kerap membawa memori lama.
Malam ini Aria mempunyai mimpi.
Dalam mimpinya, Dia kembali ke rumahnya di kota Malangit. Saat itu pagi hari, dan masih hujan gerimis. Adelia keluar dari rumah. Dengan membawa keranjang pakaian. Nampak dia akan menjemur baju.
Kakak perempuannya terlihat seperti remaja. Dia mengenakan gaun putih yang membuatnya tampak anggun.
Saat Adelia melihatnya, dia langsung menghampirinya, memegang tangannya, sambil memarahi, "Kamu gadis kecil, kemana kamu bermain lagi, hemm. Ibu sudah memanggilmu beberapa kali. Apa kamu tidak takut ayah akan memarahimu lagi. Kakakmu Thio sudah menyimpan uang tahun barumu. Jangan biarkan dia mengambilnya. Ayo cepat kita masuk."
Dalam keadaan linglung, Aria membiarkan Adelia membawanya ke dalam rumah, dalam perjalanan kakaknya itu berbisik, "Kali ini kamu bermain lama sekali. Sudah bertahun-tahun. Selama tahun-tahun ini kami selalu merindukanmu. Ingat jepit rambut kembaran kita, kakak selalu menyimpannya, kita akan memakainya bersama nanti...."
Aria terdiam, dia tak mengerti, kenapa dia pergi bertahun-tahun? Kemana dia pergi? Kenapa rasanya ada ingatan yang hilang.
Seolah-olah ada suara ledakan di telinganya, Aria membuka matanya, kesadarannya kembali ke dunia nyata.
Kamarnya masih gelap, dia memang terbiasa tidur dengan lampu dimatikan. Di luar masih hujan, tapi dengan intensitas lebih jarang. Dia bangun, lalu duduk di tepi ranjang. Rasa kantuknya telah menghilang begitu saja. Dia terus diam menatap gorden yang terus bergerak karena kencangnya angin. Dia terus dalam posisi itu sampai fajar menyingsing.
Baru setelah di luar mulai cerah, dia bangkit untuk membersihkan diri. Meski sekolah sedang libur, pagi ini dia masih harus bekerja.
Dua jam kemudian.
Di toko kelontong, sebuah mobil pemuat barang terparkir di depan, terlihat beberapa orang mulai menurunkan barang.
Aron memeriksa, dan mencatat setiap barang yang masuk. Tidak melewatkan satupun.
Aria menghampirinya, dan berkata, "Kak Aron butuh bantuan disini?"
"Tidak, kamu jaga kasir saja," Aron berhenti menulis, dia sedikit menoleh ke arah Aria, lalu berkata, "Bos akan datang sebentar lagi. Dia akan marah dan berpikir aku membully mu nanti."
"Ohh," Aria mengangguk, dia langsung masuk ke dalam toko, berganti pakaian, dan mulai bekerja. Semua tempat sudah bersih dan rapi. Dia hampir tak menemukan pekerjaan. Akhirnya dia hanya bisa berdiam di meja kasir.
Tak lama pemilik toko datang dengan mobilnya.
Dari tempatnya Aria bisa melihat jelas. Bagaimana pemilik toko keluar dari mobil, dan langsung mengobrol dengan Aron. Obrolan mereka cukup panjang, hingga beberapa pelanggan mulai berdatangan.
"Selamat pagi, selamat berbelanja," sapa Aria ramah seperti biasanya.
Beberapa menit kemudian.
Aria telah selesai melayani pelanggan terakhir. Saat itu pemilik toko masuk dan menghampiri meja kasir.
"Selamat pagi, bos," kata Aria memberi salam.
"Selamat pagi, Aria. Apa kamu sudah sarapan?" tanya Gevan perhatian.
"Sudah, bos."
Gevan mengangguk kecil, dia memperhatikan wajah Aria lekat-lekat, lalu tersenyum, dan berkata, "Bagaimana bekerja disini? Apa ada kesulitan?"
"Tidak," Aria menggeleng. Dia seketika sadar jawabannya terlalu singkat. Langsung mengoreksinya, "Tidak ada kesulitan, kak Aron mengajariku dengan baik. Dan bos juga sangat baik, dengan mengizinkanku memprioritaskan sekolah."
"Sekolah itu penting. Segera katakan jika kamu butuh apa-apa. Jangan sungkan padaku."
Aria mengangguk, sambil tersenyum. Jarang sekali ada bos yang begitu baik dan pengertian pada karyawannya.
Seorang pelanggan masuk dan langsung menuju meja kasir, dia berkata, "Mau bayar tagihan listrik, bisa kan, dik."
"Tentu bisa, silahkan nomornya."
Gevan yang merasa kehadirannya hanya mengganggu, memilih keluar bergabung dengan Aron lagi.
...----------------...
Satu hari berlalu begitu saja.
Hari begitu cepat menjadi senin lagi. Seperti sebuah kutukan turun-temurun. Memulai hari senin terasa begitu berat bagi kebanyakan orang.
Mungkin sedikit orang yang seperti Aria, dimana tiada hari baginya, tanpa tidak ada kesibukan. Dia masih harus bekerja, sekolah, dan mengikuti kegiatan klub. Jangan lupakan kelas malam yang masih harus dihadiri. Gadis itu benar-benar sangat sibuk.
Pagi ini Aria berangkat sedikit lebih awal dari biasanya. Semalam dia kembali bermimpi, mimpi yang sama seperti malam sebelumnya. Dan saat terbangun, dia tak berniat untuk melanjutkan tidur. Karena tak ada yang perlu di berekan di kosan. Dia pun memutuskan untuk langsung berangkat ke sekolah. Jika bosan paling tidak dia bisa membaca buku di perpustakaan.
Obat yang dibuat untuk Alok memang sedikit lebih kuat. Karena tujuannya adalah untuk mendatangkan mimpi terburuk seseorang. Dan tak cukup sampai disitu, Aria menambahkan bahan obat lain, sehingga seseorang yang menghirupnya akan tersiksa. Badan sakit-sakit, tidak bisa tidur nyenyak, hingga nafsu makan berkurang. Gejalanya dibuat semirip mungkin dengan penggunaan kokain jangka panjang. Sehingga walaupun ada orang yang mencurigai nya. Mereka hanya akan sampai pada satu kesimpulan yaitu penggunaan kokain.
Tapi tidak disangka, dia akan mendapatkan efeknya sampai dua hari ini. Aria fikir tubuhnya sudah kebal pada semua obat. Namun, nampaknya obat halusinogen masih sedikit berpengaruh padanya.
Gerbang sekolah terlihat belum banyak orang. Hanya satu dua orang yang lewat. Anggota OSIS pun belum terlihat mengawasi. Entah hari ini mereka memang tidak bertugas atau karena jam masih pagi.
Aria berjalan perlahan, tanpa mengetahui seseorang menatap pergerakannya sedari tadi. Wajar saja dia tidak sadar, karena selama perjalanan dia terus linglung, sibuk dengan pikiran nya sendiri.
Meera langsung bergembira saat langsung menemukan gadis yang menolong nyonyanya. Dia awalnya akan langsung mencari di kantor Kesehatan. Jika tak menemui gadis itu di gerbang sekolah. Untungnya dia tak perlu repot-repot masuk ke sekolah. Tidak sia-sia dia datang lebih pagi.
"Gadis-"
Aria lewat begitu saja, tanpa melihat ke kanan atau ke kiri. Sekitarnya seperti tidak memasuki matanya. Selain dari pada jalan yang rata.
"Eh, dia melewati ku?" batin Meera.
Meera yang dilewati menjadi bingung. Tapi dia seketika tak perduli, langsung mengejarnya.
Dia menyentuh bahunya, untuk menghentikannya, sambil bicara, "Kamu, gadis kecil, apa sudah melupakan ku?"
Aria mendongak, "Aa, kakak," dia melirik tangan di bahunya sejenak, dan kembali melihat ke depan.
"Kamu berjalan melewatiku begitu saja loh."
"Maaf, aku sedang memikirkan sesuatu tadi. Kakak datang kesini, karena salah satu wali murid atau...." Aria tak melanjutkan ucapannya, dia jelas tahu alasan sebenarnya, tapi dia pura-pura tidak tahu.
"Hey, tentu saja aku mencarimu," kata Meera langsung.
"Mencariku? Ada apa?"
Meera tersenyum, lalu berkata, "Nyonya ku yang kamu bantu kemarin ingin berterima kasih padamu."
"Ah, itu tidak perlu. Aku hanya sedikit membantu."
"Itu bukan sedikit, kamu sangat membantu, entah bagaimana jika kamu tak ada saat itu. Aku juga sangat berterima kasih. Berkat bantuanmu aku dan teman-teman tidak mendapat masalah-"
Aria hanya mengangguk kecil. Seandainya wanita didepannya tahu dia yang merencanakan. Pastilah dia tidak akan repot berterima kasih. Tentunya dia tidak akan membuka hal itu.
"-Jadi, ikutlah denganku menemui nyonya, ya. Aku jamin kamu tidak akan menyesal. Nyonya sudah menyiapkan hadiah yang bagus."
Nada bicara Meera sedikit meningkat saat mengatakan perihal hadiah.
Aria memasang ekspresi pura-pura tertarik, lalu berkata, "Hadiah, tapi aku masih harus sekolah."
"Sekolah bukanlah masalah. Kamu kan tahu siapa nyonyaku?" tanya Meera.
Aria menggeleng kecil, "Aku, tidak."
"Astaga, bagaimana bisa," seru Meera terkejut. Dia menatap tak percaya pada gadis di depannya, "Kamu,, emm tu- pak kepala sekolah,, nyonyaku adalah istrinya."
"Ah, benarkah," ucap Aria memasang ekspresi pura-pura terkejut.
Meera menggelengkan kepala, tidak dia sangka, ada seorang murid yang tidak tahu siapa nyonyanya. Tapi hal ini menunjukkan, bantuan kemarin memang karena kebaikan gadis ini. Menghadapi gadis yang baik, selalu memunculkan rasa kasih sayang. Meera merasa harus menasehatinya baik-baik.