Joko, seorang mahasiswa Filsafat, Vina adalah Mahasiswa Fisika yang lincah dan juga cerdas, tak sengaja menabrak Joko. Insiden kecil itu malah membuka jalan bagi mereka untuk terlibat dalam perdebatan sengit—Filsafat vs Sains—yang tak pernah berhenti. Vina menganggap pemikiran Joko terlalu abstrak, sementara Joko merasa fisika terlalu sederhana untuk dipahami. Meski selalu bertikai, kedekatan mereka perlahan tumbuh, dan konflik intelektual itu pun berujung pada pertanyaan yang lebih pribadi: Bisakah mereka jatuh cinta, meski dunia mereka sangat berbeda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertanyaan yang tak pernah selesai
Hari-hari berikutnya, Joko mencoba menjaga jarak dari Vina. Tapi sialnya, semakin dia menjauh, Vina malah semakin sering muncul di tempat-tempat tak terduga.
Di perpustakaan, Vina duduk tepat di depan Joko dengan buku tebal bertuliskan "Quantum Mechanics and Human Behavior" sambil mengetuk-ngetukkan pulpennya.
Di kantin, dia tiba-tiba muncul sambil membawa makanan yang jelas bukan untuknya.
Di taman kampus, Joko sedang duduk santai membaca buku Plato dan Kebingungan Eksistensial, tapi Vina datang dengan laptopnya, meminta Joko membantu memecahkan masalah "ilmiah" yang sebenarnya tak ada hubungannya sama sekali dengan filsafat.
“Jok, gue serius. Gue butuh pendapat lu!” kata Vina sambil duduk di sebelah Joko, kali ini di ruang baca fakultas.
Joko mendesah, menutup bukunya perlahan. “Lu butuh pendapat gue atau cuma alasan buat gangguin gue lagi?”
“Dua-duanya.” Vina tersenyum, sama sekali tak merasa bersalah. “Jadi gini, gue punya teori baru soal hubungan antara fisika kuantum dan perasaan manusia. Gue pikir emosi itu kayak partikel subatomik. Nggak stabil, nggak pasti, tapi bisa diprediksi dalam probabilitas tertentu.”
Joko mengangkat alisnya. “Oke, terus kenapa lu butuh gue?”
“Karena lu ngerti filsafat. Gue pikir filsafat bisa nambah kedalaman ke teori ini. Kayak… kita bisa gabungin filsafat eksistensial sama prinsip ketidakpastian Heisenberg.”
Joko menatap Vina lama, seperti mencoba memahami logika yang nyaris absurd itu. “Lu sadar nggak sih, teori lu ini kayak nyuruh dua orang beda agama nikah terus kompromi soal cara ibadah?”
“Justru itu tantangannya!” seru Vina antusias.
“Vin, fisika itu dunia nyata. Filsafat itu dunia pikiran. Gimana caranya lu gabungin sesuatu yang konkret sama sesuatu yang abstrak?”
“Kenapa nggak? Bukankah filsafat juga mencoba menjelaskan dunia nyata? Bedanya cuma metodenya.”
Joko mendesah lagi. “Lu nggak akan ngerti. Filsafat itu bukan cuma soal menjelaskan. Kadang-kadang, itu soal menerima kalau ada hal yang nggak bisa dijelaskan.”
“Dan fisika bilang semua hal bisa dijelaskan kalau kita cukup pintar,” balas Vina dengan nada menantang.
“Dan itulah kenapa kita nggak akan pernah sepakat,” kata Joko, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan ekspresi lelah.
“Tapi gue yakin kita bisa nemuin titik tengah,” kata Vina, kali ini dengan nada lebih serius. “Lu tahu nggak, Jok? Gue sebenarnya iri sama cara lu lihat dunia.”
Joko menoleh, agak terkejut. “Iri? Sama gue?”
“Iya. Lu kayak nggak butuh penjelasan buat semuanya. Lu bisa nyaman hidup dalam ketidakpastian. Sedangkan gue… gue nggak bisa. Gue selalu harus ngerti kenapa sesuatu terjadi.”
Suasana tiba-tiba jadi hening. Joko menatap Vina, kali ini dengan pandangan yang berbeda. Untuk pertama kalinya, dia merasa ada sesuatu yang lebih dalam di balik semua celotehan aneh gadis itu.
“Vin, mungkin itulah kenapa kita berdua ada di jalur yang beda,” kata Joko pelan. “Lu butuh jawaban. Gue cuma butuh pertanyaan.”
Vina tertawa kecil, tapi ada sedikit nada melankolis di balik tawanya. “Gue nggak tahu kenapa, tapi gue selalu suka cara lu ngomong, Jok. Kadang bikin kesel, tapi kadang juga bikin gue mikir panjang.”
Joko mengalihkan pandangan, merasa sedikit canggung. “Ya… gue juga kadang heran kenapa lu bisa tahan sama gue.”
Sore itu, mereka menghabiskan waktu lebih lama dari biasanya. Tidak ada perdebatan besar, hanya percakapan santai tentang hal-hal kecil. Tentang kenapa kopi kampus selalu terlalu pahit, tentang buku yang sedang mereka baca, bahkan tentang apakah kucing atau anjing lebih pintar.
Di tengah obrolan itu, Vina tiba-tiba menatap Joko dengan senyum kecil. “Jok, gue ada pertanyaan.”
“Apa lagi?”
“Kalau suatu saat gue berhenti gangguin lu, lu bakal kangen nggak?”
Joko terdiam sejenak. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Tapi sebelum dia sempat memikirkan jawaban, Vina sudah berdiri dan mengambil tasnya.
“Gue cuma penasaran. Jawabannya nggak perlu sekarang.”
Dan sebelum Joko bisa berkata apa-apa, Vina sudah pergi, meninggalkan dia dengan pertanyaan yang tiba-tiba terasa lebih rumit dari semua filsafat yang pernah dia pelajari.