(#HIJRAHSERIES)
Keputusan Bahar untuk menyekolahkan Ameeza di SMA Antares, miliknya mengubah sang putri menjadi sosok yang dingin.
Hidup Ameeza terasa penuh masalah ketika ia berada di SMA Antares. Ia harus menghadapi fans gila sepupu dan saudaranya, cinta bertepuk sebelah tangan dengan Erga, hingga terlibat dengan Arian, senior yang membencinya.
Bagaimanakah Ameeza keluar dari semua masalah itu? Akankah Erga membalas perasaannya dan bagaimana Ameeza bisa menghadapi Arian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ana Hasna Raihana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Mengejar atau Mundur?
Kondisi Erga sudah semakin membaik dari hari ke hari. Bahkan laki-laki itu sekarang sudah lumayan bisa sedikit-sedikit berbaur. Wajar saja, mungkin Erga masih merasa agak canggung.
Hari ini untuk pertama kalinya Erga berangkat sekolah bersama dengan Molla. Jika ditanya kenapa mereka sedekat itu? Jawabannya karena Molla yang selalu memperhatikan Erga. Yah, Molla sudah tahu soal penyakit Erga. Beberapa hari yang lalu Erga memilih jujur pada Molla bahwa ia didiagnosa memiliki gangguan psikis.
Dari sanalah awal mula perhatian Molla bertambah. Awalnya Molla tidak mau terlalu ikut campur soal kehidupan Erga. Tapi, yang namanya manusia pasti ada rasa simpati. Dan Molla merasa simpati mendengar kenyataan itu. Terlebih lagi, sepertinya Erga sudah lumayan nyaman dengannya. Terbukti ketika laki-laki itu yang mulai tidak segan lagi untuk bercerita.
Molla menyenggol lengan Erga. "Diem aja."
Erga tersenyum. Menaikkan sebelah alisnya seolah bertanya.
Molla mensejajarkan langkahnya dengan Erga. Ia merangkul bahu Erga akrab sontak membuat Erga terkejut. Namun, Molla nampaknya tak sadar akan ekspresi Erga. Dia malah sibuk bercerita ke sana kemari. Bahkan hal random dan kejadian kecil yang ia alami saja diceritakannya.
"Menurut kamu gimana? Kocak gak, sih?" tanya Molla sembari melirik Erga. Perempuan itu masih belum melepaskan rangkulannya.
Erga tak bisa menjawab. Jadi, ia hanya diam.
Molla mendengus kesal. "Yah, kamu mah gitu," rajuk Molla. Perempuan itu melepaskan rangkulannya.
"Besok pergi sekolah bareng lagi, yah. Yah, meskipun naik angkot, sih," kata Molla sembari terkekeh diakhir kalimat.
Erga mengangguk.
"Eh, tapi gak apa-apa 'kan kalau aku minta turun di perempatan sana. Gak terlalu jauh juga, sih dari sekolah. Yah, aku cuma mau nikmatin rasanya jalan pagi ke sekolah. Seru."
Erga tersenyum tipis.
Molla menepuk bahu Erga dua kali. "Semangatt! Jangan sedih lagi, oke?" ucap Molla semangat.
Erga tersenyum. "Thanks."
"Oh, kalau gitu ... aku duluan. Bye!"
"Kan searah," heran Erga.
Molla berhenti melangkah. Ia meringis. "Oh, iya kelas kita sebelahan, yah."
Tak lama keduanya tiba di kelas masing-masing. Molla langsung masuk ke kelasnya—X MIPA 1. Erga pun sama masuk ke kelasnya.
"Ha—"
Erga melengos saja ketika Ameeza berniat menyapa Erga di ambang pintu.
...-oOo-...
"Kenapa lo tiba-tiba ngajak ketemuan?" tanya Ameeza heran.
Arian berdehem. "Ah, itu soal misi lo buat jadi temen Erga kayaknya udah berakhir. Lo tahu sendiri 'kan kondisi Erga juga udah semakin baik. Kalau gue sih mau tetep temenan sama Erga." Arian sedikit menjeda kalimat selanjutnya. "Tapi, lo gimana?"
"Gue bakal tetep temenan kok," jawab Ameeza tegas.
"Oke, kalau soal perasaan lo ke Erga gimana? Lo udah pikirin mau ngapain?" Arian bisa melihat wajah Ameeza yang tiba-tiba berubah datar. Ekspresinya mendadak hilang dalam sekejap.
"Jangan tanya itu." Ameeza menatap Arian berani. "Lo gak perlu ngurusin masalah asmara orang lain." Ameeza menunjuk Arian dengan dengan tatapan mengancam.
Arian sempat menciut karena aura Ameeza yang terbilang tidak biasa. "Oke," kata Arian agak pelan.
"Jangan sampai nyesel loh, apalagi sekarang Erga deket banget sama Molla. Kalau tiba-tiba mereka jadian gimana?" cerocos Arian masih tetap berusaha memancing Ameeza.
Ameeza mencengkeram bahu Arian kuat sampai laki-laki itu meringis dibuatnya. Ia menatap Arian penuh ancaman. "Sekali lagi lo ngomong soal itu gue habisin!"
"Emang berani?" tantang Arian. Memang cari mati dia.
Ameeza tersenyum miring. Ia melepaskan cengkramannya, lantas menjaga jarak untuk mengambil ancang-ancang. Arian mengira Ameeza takut pada ancamannya. Namun, kenyatannya Ameeza sama sekali tidak takut.
Ameeza mengayunkan bogeman ke rahang Arian penuh emosi sampai cowok itu sedikit terhuyung. Arian tidak menyangka Ameeza senekat ini.
"Lo nantangin gue?" Ameeza tersenyum miring. "Gue jabanin."
Setelah mengucapkan itu, Ameeza pergi.
Arian menggelengkan kepalanya takjub. Ia memegang rahangnya yang terasa sakit. "Dia kek bukan cewek. Buset, tenaganya lumayan juga, yah."
...-oOo-...
"Jangan sampai nyesel, loh. Apalagi sekarang Erga lagi deket banget sama Molla. Kalau mereka tiba-tiba jadian gimana?"
Ameeza membanting tasnya asal ke tengah koridor. Beruntungnya koridor sudah sepi karena bel pulang sudah berbunyi beberapa menit lalu.
Sial. Kenapa kata-kata Arian terngiang-ngiang di kepalanya. Rasanya ia ingin membenturkan kepalanya ke tembok agar suara Arian hilang. Namun, Ameeza pikir ia tidak mungkin melakukan hal seperti itu.
"Erga! Tunggu!" cegah Ameeza ketika Erga baru saja melewatinya.
Namun, panggilan Ameeza tidak diindahkan oleh Erga. Laki-laki itu malah terus berjalan. Akhirnya mau tak mau Ameeza mengejar Erga, yah sebelum itu ia mengambil tasnya terlebih dahulu.
"Ada yang mau gue omongin ke lo," tutur Ameeza.
Erga berdehem singkat.
"Bisa berhenti jalan, gak? Duduk dulu."
Erga menoleh sebentar. "Penting?"
"Bangett," jawab Ameeza yakin.
Erga mengangguk. Ia mengarahkan kakinya ke kursi yang ada di depan kelas. Ameeza mengikuti.
"Cepet."
"Emang kenapa?" tanya Ameeza heran.
"Eskul."
Ameeza menepuk jidatnya sendiri. Bisa-bisanya ia lupa hari ini ada latihan eskul bulu tangkis.
"Kayaknya gue suka sama lo."
Erga diam.
"Jadi, gimana? Apa lo juga punya perasaan yang sama?" tanya Ameeza berusaha menghilangkan perasaan gugup yang tiba-tiba melandanya.
Ameeza merasakan tatapan mengintimidasi dari Erga. Ameeza jadi gugup. "Gue cuma mau nyatain perasaan aja. Gak ada maksa lo buat jadi pacar gue."
"Gak," jawab Erga singkat. Laki-laki itu beranjak.
Ameeza ikutan beranjak. "Oh, ya."
"Bisa gue minta tolong?"
Ameeza mengangguk semangat. Untuk pertama kalinya Erga meminta bantuan padanya. Padahal sejauh ini Erga tak pernah begitu.
"Tolong jauhin gue."
Ameeza tersentak. "Kenapa?"
"Gue gak nyaman," jawab Erga lugas.
"Kalau sama Molla?"
Erga diam sesaat. "Dia beda."
"Kenapa?"
"Karena dia satu-satunya orang yang bikin gue nyaman. Gak ada yang lain lagi," jawab Erga santai. Namun, entah kenapa perkataan yang demikian santai dan tanpa ekspresi itu benar-benar menyakitkan.
"Lo suka sama Molla?" tanya Ameeza memastikan.
"Dia temen."
Ameeza tersenyum kecut. "Temen, yah gak percaya tuh."
Ameeza menyidekapkan tangannya. "Pokoknya gue gak mau jauhin lo," putus Ameeza tak terbantahkan.
"Kenapa?"
"Karena gue suka lo."
"Rasa suka lo itu gak tulus, lo sendiri aja masih ragu. Dengan kata kayaknya yang lo gunain diawal kalimat aja udah nunjukin kalau lo masih ragu," balas Erga santai tapi menusuk.
"Gue terima kalau lo gak punya perasaan yang sama. Gue ngerti, perasaan gak bisa dipaksa. Maka dari itu gue cuma mau jadi salah satu temen deket lo." Ada sorot teduh yang Ameeza tampilkan.
Erga menggeleng. "Gak."
"Apa gue segitu jahatnya?" tanya Ameeza memastikan. "Tapi, gue udah minta maaf? Apa lo belum maafin gue?"
"Gue memilih buat gak lagi berhubungan dengan orang yang udah nyakitin gue terlalu dalam. Dan lagi kehadiran lo bikin gue gak nyaman. Maaf."
Erga melenggang pergi.
Sedangkan Ameeza hanya bisa menatap lurus punggung Erga yang semakin mengecil termakan jarak.
Bahkan untuk menjadi temen deketnya pun gue gak bisa?
Mungkin cukup sampai di sini aja.
Bukannya Erga udah negasin. Gue gak mau terlalu memaksa.
Paksaan bisa buat seseorang semakin benci. Dan gue gak mau hal itu terjadi.
...-oOo-...