Rain, gadis paling gila yang pernah ada di dunia. Sulit membayangkan, bagaimana bisa ia mencintai hantu. Rain sadar, hal itu sangat aneh bahkan sangat gila. Namun, Rain tidak dapat menyangkal perasaannya.
Namun, ternyata ada sesuatu yang Rain lupakan. Sesuatu yang membuatnya harus melihat Ghio.
Lalu, apa fakta yang Rain lupakan? Dan, apakah perasaannya dapat dibenarkan? bisa kah Rain hidup bersama dengannya seperti hidup manusia pada umumnya?
Rain hanya bisa berharap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon H_L, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Transfusi Darah
Bergumul dengan segala perasaan takut, Rain tidak sadar kalau ia sudah menangis sepanjang jalan. Motornya terus melaju dengan kecepatan penuh, tidak peduli dengan makian dan umpatan pengendara lain yang terganggu. Yang ada dalam pikiran Rain sekarang hanyalah Ghio.
Setelah menempuh perjalanan selama belasan menit, akhirnya Rain sampai di rumah sakit. Dengan secepat mungkin ia berlari menyusuri koridor rumah sakit, menerobos puluhan orang di sana.
Rain sampai di depan ruang rawat Ghio. Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Napasnya masih tersengal-sengal. Jantung Rain berpacu sangat cepat. Seluruh tubuhnya sudah dibanjiri keringat.
Merasa tubuhnya kini lebih baik, Rain segera membuka pintu. Pandangan pertama yang dilihatnya adalah Ghio yang masih terbujur lemas di brankar.
Rain melangkahkan kakinya mendekati brankar.
"Rain?" Itu suara Reno. Pria itu langsung menoleh saat mendengar pintu terbuka.
Rain menatap mereka : Gelora, Segion, Reno dan satu perempuan paru baya yang tidak Rain kenal. Wajah muram langsung menyapa mata Rain. Bahkan, masih terlihat sisa-sisa tangis di wajah Gelora.
"Gimana keadaan Ghio?" tanya Rain to the point. Perasaan khawatir dan takut masih menguasainya.
Dia menatap Ghio dengan wajah sembabnya. Sebab Rain menangis sepanjang jalan.
"Keadaannya buruk." Gelora menjawab. Sementara yang lain hanya bisa menatap pilu. Helaan napas gusar berkesan letih terdengar dari mulut Lora.
Rain mendekat ke arah Ghio. Dilihatnya wajah pucat itu. Pipi tirus. Mata tertutup rapat. Kapan ia akan terbuka?
"Apa yang terjadi, Tan?" tanya Rain. Ia menatap kantong darah yang berada di si samping kantong infus. Sepertinya darah itu baru saja digunakan, sebab masih jelas jejak darah di selangnya. Tapi, di tangan Ghio hanya ada selang infus.
"Transfusi darah?" tanya Rain lagi. Ia benar-benar heran. Padahal baru hari ini dia tidak melihat Ghio, kenapa darah itu sudah ada?
"Benar. Ghio baru saja menjalani transfusi darah. Tante gak tahu kenapa keadaan Ghio malah melemah setelah transfusi. Padahal golongan darahnya sama," jelas Lora.
"Ghio kekurangan darah?" Rain terkejut. Ia tidak tahu hal itu.
Gelora mengangguk.
"Dia kehilangan banyak darah semasa kecelakaan." Kali ini Segion yang menjawab. Ia mengusap bahu Lora, mencoba menenangkan wanita itu.
Rain tambah terkejut. Ia menatap tak percaya. Ghio kehilangan banyak darah? Lantas, kenapa baru sekarang transfusinya dijalankan?
"Ini bukan yang pertama kali." Gelora kembali bersuara. "Dulu reaksi tubuh Ghio juga seperti ini. Waktu itu golongan donor darahnya AB. Sekarang, kami sudah mendapatkan darah yang sama dengan Ghio, darah A. Tapi, hasilnya juga sama seperti dulu."
Rain mendengarkan itu juga merasa bingung. "Itu beneran golongan darah A, Tan?" Rain menunjuk darah yang menggantung. "Gak salah, kan? Siapa tahu ada kesilapan."
Lora lagi-lagi mengangguk. "Bahkan tadi juga sudah Tante periksa sendiri. Memang darah A, sama seperti golongan darah Ghio. Kendala dari dalam tubuh Ghio juga tidak ada. Tubuh Ghio seharusnya bisa menerima darah itu. Tante sudah periksa dengan baik. Sudah berulang kali malah. Tapi, entah kenapa bisa jadi seperti ini." Gelora menjelaskan lagi. Nampak rasa tak percaya dari pancaran matanya.
Ia sebagai dokter seharusnya lebih tahu. Kalau Lora saja bingung, bagaimana dengan yang lain.
Rain bahkan lebih bingung. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Ghio?
"Gak ada kesalahan pas transfusi. Tante bingung harus apa lagi," lanjut Gelora. Sekarang ia sudah mulai terisak. Ibu mana yang tidak sakit ketika tidak bisa membantu anaknya? Gelora merasa sangat kecewa kepada dirinya sendiri.
Segala prasangka-prasangka mulai memenuhi pikiran Rain. Kalau Ghio tidak bisa menerima transfusi darah, apakah jalannya harus arwahnya sendiri yang masuk? Tapi, Rain sudah mencoba. Hasilnya bahkan mengecewakan.
Sepanjang jam, Rain diam dengan segala pikirannya. Ia duduk di kursi di samping Ghio.
Saat mata hari mulai kembali ke peraduannya, Rain tetap diam di sana. Gelora sudah kembali bekerja. Sesekali ia akan datang sekedar melihat Ghio. Segion sendiri sudah istirahat di ruang pribadi Gelora. Pria itu mungkin syok saat mendengar kabar tentang Ghio. Sedangkan Reno, pria itu sempat menemani Rain beberapa saat. Tadi ia pamit untuk makan siang. Ia belum makan sama sekali.
Rain terus diam menatap Ghio. Arwah pria itu entah pergi kemana. Tapi, Rain yakin, Ghio pasti akan kembali. Sama seperti dulu saat pria itu menghilang.
Pintu yang terbuka tidak mengalihkan atensi Rain dari Ghio.
Reno datang kembali dengan wajah kusutnya. Dia teman yang baik. Satu hari ini, dia berada di sisi Ghio. Rain yakin, Reno benar-benar sahabat baik Ghio.
Reno mengambil kursi lain dan duduk di seberang Rain, menghadap otomatis ke arah Ghio dan gadis itu.
"Lo gak pulang?" tanya Reno setelah diam menguasai.
Rain menoleh sebentar, lalu menggeleng.
"Sampai kapan Lo mau diam di sini?" Reno kembali bertanya. Rasa penasarannya sejak bertemu Rain tidak pernah hilang. Bahkan setiap hari rasa penasaran itu terus membuncah.
"Gak tahu." Rain menopang dagunya dengan kedua tangan. Matanya terus menatap wajah Ghio.
"Gue sahabat Ghio."
Rain menatap Reno dengan alis terangkat. "Gue tahu." Lalu pandangannya kembali kepada Ghio.
"Gue kenal Ghio lebih dari yang Lo tahu. Gue tahu gimana kehidupan dia, apa aja yang disukai dia, bahkan kegiatannya sehari-hari juga gue tahu." kata Reno.
Kali ini Rain menatap Reno serius. "Trus?"
"Lo bohong, kan?"
Alis Rain menyatu mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan Reno tidak jelas menurutnya.
"Lo kalo ngomong yang bener deh, kak. Gue bingung." kata Rain.
Reno menghela napas. Menurutnya, gadis di depannya ini pura-pura bodoh atau pura-pura tidak tahu.
"Lo kenal Ghio sebelum dia kecelakaan, itu bohong, kan?"
Rain sempat tak mengeluarkan reaksi. Ia hanya diam, tak berkedip, bahkan berkesan datar. Hingga detik berikutnya ia tertawa kecil. "Ngaco. Trus, gue kenal Ghio kapan kalau gitu, kak?" tanya Rain.
Reno menatap dalam-dalam. "Itu yang mau gue tahu. Asal Lo tahu, semua tentang Ghio itu gue tahu. Bahkan hal sepele sekali pun, gue tahu. Dia ketemu semut di jalan juga gue bisa tahu. "
Rain tersenyum kecil. Apakah mereka memang sedekat itu? Bahkan saudara kandung sekalipun tidak seperti itu.
"Gue udah bersahabat dengan Ghio sejak kecil. Ghio selalu bilang ke gue apa yang gak gue lihat tentang dia. Jadi, Lo pasti bohong. Melihat Lo bisa sekhawatir ini sama Ghio, Lo bohong kalau Lo bilang Lo kenal dia sebelum kecelakaan," kata Reno panjang lebar.
"Gak semua juga harus Ghio ceritain ke Lo, kan? Setiap orang punya rahasia yang gak bisa dia bocorin, bahkan ke orang terdekat sekalipun," kata Rain.
"Lo benar. Tapi, tentang Lo sama sekali bukan rahasia." Mata Reno menatap lurus mata Rain.
Rain menatap bingung. "Maksud Lo?" Apa artinya itu? Dia sama sekali bukan rahasia? Rain merasa aneh dengan satu kalimat ini.
Reno menutup mulut. Sempat terkecoh. "Lebih baik Lo jujur. Kapan Lo kenal sama Ghio?" Reno malah balik bertanya, tak menanggapi pertanyaan Rain.
Rain menghela napas. Jujur, sekarang ia benar-benar tidak tahu harus jawab apa. Rain harus mencari waktu yang tepat.
"Kapan?" Reno menuntut.
"Apa pentingnya buat Lo?" tanya Rain akhirnya.
Reno menyeringai. Benar. Rain berbohong. Gadis itu tidak bisa menjawab pertanyaannya, bukan? Sebenarnya, apa yang disembunyikan oleh gadis itu?
"Pentingnya buat gue?" Reno mengulang pertanyaan Rain. "Karena gue tahu banyak tentang Lo. Gue kenal Lo sebelum Lo kenal Ghio."
Mata Rain melebar sempurna. Ia tidak salah dengar, kan? Reno mengenalnya sebelum Rain mengenal Ghio? Sejak kapan itu? Rain bahkan baru mengenal Reno.
Rain menatap Reno waspada. Pria itu tidak bisa dianggap remeh.
Rain teringat dengan pertemuannya yang kedua dengan Reno. Reno seperti orang asing kadang kala. Kadang baik, kadang menyeramkan dan terkesan misterius.
"Apa maksud Lo? Kita sama sekali gak pernah ketemu."
"Benar. Tapi, bukan berarti gue gak tahu tentang Lo, kan?"
Mata Rain menyipit. "Lo penguntit?"
Reno tertawa. Tawanya bukan tawa menawan, tapi menyeramkan. Rain jadi merinding melihat itu. "Gak penting gue penguntit atau bukan. Yang jelas, sekarang Lo harus jujur."
"Kalau gue gak mau kasih tahu?" tanya Rain. Tatapannya menantang Reno.
Saat itu juga Reno menatapnya tajam dan datar. Rain pernah melihat ini sebelumnya.
Apakah pria ini punya dendam dengan Rain?
"Gue gak akan biarin Lo berada di sekitar Ghio lagi."
Satu kata itu berhasil membuat Rain tak berkutik sama sekali. Matanya menyorot tajam melawan tatapan Reno. Apa hak pria itu melarangnya berada di samping Ghio?
"Lo gak punya hak." geram Rain.
"Memang." Reno menjawab cepat. "Tapi, gue punya banyak cara buat menyingkirkan Lo."
"Apa dendam Lo sama gue?"
"Gak ada. Gue cuma mau melindungi sahabat gue." kata Reno enteng sambil bersandar di kursi.
Rain berdecih. Memangnya ia punya tujuan buruk kepada Ghio? "Gue gak punya pemikiran buruk sekalipun sama Ghio."
"Kalau gitu jujur."
Lagi-lagi, Rain kalah telak.
"Dasar pemaksa." Entah kemana hilangnya sopan santun Rain.
"Gue punya alasan."
Rain menghela napas. Apakah ia harus jujur?
"Kalau gue bilang gue bisa lihat arwah, Lo percaya?"