Kania harus menerima kenyataan pahit ketika suaminya—Adrian, menceraikannya tepat setelah malam pertama mereka.
Tanpa sepengetahuan Adrian, Kania mengandung anaknya, calon pewaris keluarga Pratama.
Kania pun menghilang dari kehidupan Adrian. Tetapi lima tahun kemudian, mereka dipertemukan kembali. Kania datang dengan seorang bocah laki-laki yang mengejutkan Adrian karena begitu mirip dengannya.
Namun, situasi semakin rumit ketika Adrian ternyata sudah menikah lagi.
Bagaimana Kania menghadapi kenyataan ini? Apakah ia akan menjauh, atau menerima cinta Adrian yang berusaha mengambil hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 5 Aku Butuh Waktu
“Kenapa kamu tidak pernah memberitahuku? Kamu tahu, betapa pentingnya ini bagi keluargaku dan juga–”
“Keluargamu? Jadi, alasan kamu menikah denganku masih sama karena anak?” Kania menggeleng tak percaya. Pria yang ada di hadapannya ini kembali membuka luka lama. “Maaf, saya harus pergi.”
“Kamu salah paham Kania.”
“Lalu apa?” Kania menggigit bibirnya, menahan emosi yang mulai memuncak. “Meskipun aku memberitahu soal Enzio padamu, kamu tidak akan pernah peduli. Kamu sudah membuat keputusan lima tahun lalu. Kamu meninggalkanku. Kamu menceraikanku tanpa alasan yang jelas. Kamu pikir aku akan kembali padamu dengan membawa anak ini dan berharap kamu akan menerima kami dengan tangan terbuka?”
“Aku menceraikanmu dengan alasan yang jelas!”
“Apa? Katakan padaku apa alasannya?” desak Kania.
Adrian terdiam. Ia tidak tahu harus memulai darimana. Malam itu, sebelum pesta pernikahan mereka Adrian melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau Kania masuk ke kamar hotel bersama seorang pria.
“Kamu tidak bisa menjawabnya, bukan?” Kania menghapus air matanya lalu berbalik dan hendak melangkah pergi.
“Aku berhak tahu, Kania! Dia putraku dan sampai kapanpun kamu tidak bisa memisahkan kami berdua!" bentak Adrian, suaranya penuh dengan rasa marah dan frustasi.
Kania menatap Adrian tajam. “Dan apa yang akan kamu lakukan jika kamu tahu? Mengambilnya dariku? Aku tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi.”
Adrian mengepalkan tangannya erat. Kenapa setelah sekian lama, Adrian baru menyadari kalau Kania begitu berarti dalam hidupnya. Apalagi semenjak dia melihat Enzio.
“Aku tidak akan mengambil Zio darimu, tapi aku berhak menjadi bagian dari hidupnya.”
Kania menarik napas panjang. “Aku butuh waktu. Ini tidak semudah yang kamu kira. Aku juga tidak mau membuat seorang wanita sakit hati karena ulahmu.”
“Apa maksudmu?”
“Istrimu.” Setelah mengatakan itu, Kania masuk ke mobil. Meninggalkan Adrian seorang diri.
“Sial! Aku lupa tentang Laras.” Adrian mengusap wajahnya lalu bergegas kembali ke rumah sebelum istrinya itu mengomel tidak jelas.
**
“Darimana saja kamu, Mas? Kenapa baru pulang? Tidak biasanya kamu pulang terlambat seperti ini.” Laras terus berbicara tanpa henti, membuat kepala Adrian semakin pusing.
“Daripada kamu terus bertanya, lebih baik siapkan air hangat dan makan malam untukku,” ucap Adrian sambil melepaskan dasinya.
“Mas tidak melihat aku sedang apa?” Laras mengulurkan tangan, memperlihatkan kukunya yang sedang diwarnai. “Belum kering, sia-sia saja aku melakukan perawatan dan juga—”
Prang!
Belum selesai Laras bicara, Adrian melempar gelas yang dipegangnya ke lantai.
“Mas!” seru Laras, kaget.
“Mau sampai kapan kamu bersikap seperti ini?” Adrian benar-benar sudah muak dengan pernikahannya bersama Laras.
Wanita itu sangat manja dan kekanak-kanakan, tidak pernah bisa merawatnya seperti Kania.
Dulu, saat bersama Kania, dia selalu melakukan hal-hal kecil yang membuat Adrian nyaman. Tapi, karena Adrian saat itu belum memiliki perasaan untuk Kania, dia bersikap dingin padanya. Hingga akhirnya mereka bercerai.
“Memangnya aku harus bersikap seperti apa, Mas? Kamu sendiri yang tidak mau memberikan nafkah batin padaku. Jadi, bukan salahku kalau sampai sekarang aku belum hamil. Lima tahun kamu menganggurkan aku, Mas!” balas Laras, menyuarakan seluruh isi hatinya pada Adrian.
“Lalu, maumu apa?” Adrian berharap Laras meminta cerai darinya. Jika ia yang melakukannya, sakit jantung ayahnya bisa kambuh mendengar kabar itu.
Laras bangkit dari duduknya dan mendekati Adrian, memeluknya dengan tangan yang mulai menjelajah nakal di dadanya.
“Mari lakukan malam ini. Aku sudah menunggu itu,” bisik Laras, menggoda.
“Tidak akan pernah!” Adrian menepis Laras dengan kasar, lalu bergegas menuju kamarnya.
“Mas Adrian!” teriak Laras, namun Adrian sudah tak peduli.