Nisa anak sulung dari lima bersaudara, dipersunting oleh pria bernama Akil, Nisa berharap pernikahannya membawa perubahan pada keluarganya, Setelah sah sebagai suami istri, Akil memboyong Istrinya (Nisa) kerumah orangtuanya. Di pondok Mertua Nisa banyak menghadapi problem rumah tangga, kesabarannya runtuh setelah 11 tahun berumah tangga, bahkan Ia merasa rumah tangganya belum terbentuk. Hingga suatu ketika Nisa memutuskan untuk mengalah dan kembali ke rumah orangtuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahmadaniah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16
Nisa terduduk diam di dalam kamar, pandangannya kosong menatap lantai. Hatinya terasa sesak, seolah segala usaha yang dilakukannya untuk berbaur selalu saja dipandang kurang. Bayangan wajah kedua orangtuanya di kampung mulai memenuhi pikirannya. Mereka pasti mengira Nisa bahagia, menjalani kehidupan yang diimpikannya bersama suami tercinta di kampung halaman baru. Tapi kenyataan yang ia hadapi tak seindah yang dibayangkan mereka.
Dengan napas yang berat, Nisa meresapi keheningan itu, merenungkan apa yang sebaiknya ia lakukan agar bisa mengendalikan situasi tanpa merasa selalu disalahkan. Di tengah lamunannya, ia merasakan ada seseorang mengamati dari pintu kamar yang sedikit terbuka. Ketika Nisa menoleh, terlihatlah Fatir, adik ipar bungsunya, berdiri di sana dengan tatapan penuh simpati.
Fatir tak mengucapkan sepatah kata pun, tetapi dari sorot matanya, Nisa dapat menangkap ketulusan dan rasa ibanya. Seakan-akan, Fatir ingin menyampaikan bahwa ia mengerti perasaan Nisa dan bahwa Nisa tidak sendiri dalam menghadapi ini. Pandangan lembut itu, meski sederhana, memberi Nisa sedikit kelegaan di tengah kekalutan hatinya.
__
Akil pulang setelah membeli bensin untuk motornya, menenteng helm di satu tangan. Dia melangkah masuk ke rumah, matanya mencari-cari Nisa. “Sayang, bekalnya sudah siap belum?” panggilnya sambil mendekat ke dapur.
Namun, sebelum Nisa sempat menjawab, ibu Akil muncul dari arah ruang tengah dengan sebuah kotak bekal di tangan. “Ini, Akil. Bekalmu sudah Ibu siapkan,” katanya sambil mengulurkan kotak itu kepada putranya. Tanpa menunggu tanggapan, ia menoleh ke Nisa yang berada di dekat kompor, tatapannya tajam. “Lihat, Nisa. Mengurus suami itu bukan perkara sembarangan. Seharusnya kamu sudah tahu apa yang diperlukan sebelum Akil harus memintanya,” katanya, nadanya penuh kritik.
Nisa menunduk, merasa sedikit terluka, sementara Akil menarik napas panjang dan menatap ibunya. “Ibu,” katanya dengan lembut namun tegas, “Nisa ini baru belajar jadi istri. Tentu saja caranya berbeda dari Ibu, dan itu wajar. Lagipula, saya sudah bilang, dia yang akan menyiapkan bekal saya.”
Ibunya terdiam, tampak ragu sejenak, seolah tidak menyangka putranya akan membela Nisa seperti itu. Meski ekspresinya masih menyiratkan ketidakpuasan. Akil kemudian menatap Nisa dengan senyum menenangkan, memberinya isyarat bahwa semuanya baik-baik saja.
___
Ruang tamu yang luas dipenuhi dengan perabotan klasik, memancarkan kehangatan keluarga. Namun, suasana yang nyaman ini kini dipenuhi ketegangan. Nisa duduk di tepi sofa, tangannya menggenggam erat ujung rok, wajahnya terlihat tegang. Di hadapannya, ibu Akil, wanita paruh baya dengan tatapan tajam dan aura dominan, berdiri dengan tangan disilangkan di dada.
Ibu Akil: (suara tegas) Nisa, aku perlu berbicara denganmu. Sejak kau menikah dengan Akil, aku merasa seolah-olah aku tersingkir dari hidupnya. Dulu, dia selalu mendengarkan pendapatku, tapi sekarang… (menghela napas) Aku merasa seolah semua itu hilang.
Nisa: (berusaha tenang) Ibu, Mas Akil mencintai Ibu. Dia hanya mencoba menyeimbangkan antara keluarga dan aku.
Ibu Akil: (menyela) Menyeimbangkan? Dia tidak pernah menentang ku sebelumnya! Tapi sekarang, setiap kali aku memberi saran, dia selalu membela keputusanmu. (menatap Nisa tajam) Jika kamu adalah istri yang baik untuk anakku, seharusnya kamu bisa membuatnya lebih menghormati ibunya.
Nisa merasakan dadanya bergetar, kata-kata itu seperti pisau yang menggores jiwanya. Dia menatap lantai, berusaha menemukan kata-kata yang tepat untuk membela dirinya dan Akil.
Nisa: (suara pelan) Bu, Mas Akil bukan anak yang membangkang. Dia hanya berusaha menjalani hidup baru kami. Dia masih menghormati Ibu, hanya saja perannya kini berbeda.
Ibu Akil mendekat, wajahnya semakin serius.
Ibu Akil: (dengan nada mendesak) Apa kamu tidak mengerti? Selama ini aku telah mengasuhnya dengan kasih sayang. Tapi, semenjak kau ada, aku merasa dikhianati. (menatap Nisa dengan tajam) Harusnya kau bisa membuatnya ingat siapa yang telah membesarkannya.
Nisa merasa terpojok, rasa cemas merayap di hatinya. Dia tahu betapa besar pengorbanan ibu Akil, tetapi dia juga merasakan beban pernikahan ini.
Nisa: (dengan berani) Aku menghargai semua yang Ibu lakukan untuk Mas Akil. Tapi aku juga ingin dia menjadi suami yang baik, dan untuk itu, kami perlu saling mendukung. (menatap ibu Akil) Saya harap Ibu bisa memahami posisi saya sebagai istri yang baru.
Ibu Akil terdiam sejenak, matanya berkilat. Terdapat keraguan dan kemarahan yang bercampur aduk di dalamnya. Namun, Nisa bisa merasakan bahwa kata-kata terakhirnya mulai meresap.
Ibu Akil: (dengan suara lebih lembut) Ingat, Nisa. Jika kau ingin menjalani pernikahan ini dengan baik, bantu Akil untuk menjadi anak yang menghormati ibunya. Ini bukan hanya tentang kalian berdua.
Nisa mengangguk perlahan, bertekad untuk membuktikan bahwa dia bisa menjadi istri yang baik, meskipun tantangan itu terasa berat.
---
Dari sudut dapur, Fatir, yang berusia 18 tahun, berdiri di balik pintu, diam-diam menguping. Ia mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut ibunya dan Nisa. Meskipun usianya masih muda, dia bisa merasakan kedalaman konflik ini.
Fatir berpikir, "Ibu selalu mengurusi kami, tapi aku tidak pernah benar-benar mengerti betapa beratnya beban yang dia tanggung." Dia teringat bagaimana ibunya selalu berusaha tegar meski banyak kesedihan yang terpendam.
Fatir merasa hatinya bergetar. Ia menyadari bahwa ibunya juga perlu cinta dan perhatian yang sama. Dia ingin mengingat pelajaran ini untuk masa depannya, saat dia akan menikah kelak.
Nisa mengambil ponselnya yang sejak tadi berdering, terpampang nama sang ayah dilayar handphone nya, Dia merasa sudah terlalu lama tidak berbicara dengan mereka. Dan beberapa saat kemudian, suara ayahnya terdengar di telepon.
Ayah Nisa: (suara ceria) Halo, Nisa! Apa kabar, sayang?
Nisa: (tersenyum) Halo, Ayah! Aku baik-baik saja. Sungguh, aku merasa sangat bahagia di sini!
Ayah Nisa: (gembira) Alhamdulillah! Kami semua sangat merindukanmu. Bagaimana kehidupan di sana?
Nisa menghela napas lega, merasakan cinta dari ayahnya melalui suaranya.
Nisa: (antusias) Semua berjalan dengan baik, Ayah. Akil sangat baik dan perhatian. Keluarganya juga menyambutku dengan hangat. Aku merasa diterima dan dicintai.
Ayah Nisa: (bangga) Itu berita yang bagus, Nisa. Kami selalu percaya kamu akan baik-baik saja. Ibu juga sering bertanya tentangmu. Dia ingin sekali mendengar kabar darimu.
Nisa: (tersenyum) Aku rindu Ibu! Beritahu dia bahwa aku sehat dan bahagia. Nanti aku akan telepon dia juga.
Ayah Nisa: (dengan lembut) Tentu, sayang. Tapi ingat, meskipun kamu sudah menikah, kamu tetap anak kami. Kami selalu mendukungmu.
Nisa merasa terharu mendengar kata-kata ayahnya. Dia merasakan kedekatan meskipun jarak memisahkan mereka.
Mereka berdua tertawa, menciptakan momen indah meskipun hanya melalui telepon. Nisa merasakan kebahagiaan dan kedamaian, mengetahui bahwa keluarganya mendukung langkahnya.
Setelah mereka mengucapkan selamat tinggal, Nisa menatap ponselnya dengan penuh rasa syukur. Namun juga tersirat rasa tersayat bahwa kehadirannya dikeluarga Suaminya adalah ancaman baginya