DASAR, SUAMI DAN ISTRI SAMA-SAMA PEMBAWA SIAL!
Hinaan yang tak pernah henti disematkan pada Alana dan sang suami.
Entah masa lalu seperti apa yang terjadi pada keluarga sang suami, sampai-sampai mereka tega mengatai Alana dan Rama merupakan manusia pembawa sial.
Perselisihan yang kerap terjadi, akhirnya membuat Alana dan sang suami terpaksa angkat kaki dari rumah mertua.
Alana bertekad, akan mematahkan semua hinaan-hinaan yang mereka tuduhkan.
Dapatkah Alana membuktikan dan menunjukkan keberhasilannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon V E X A N A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAM16
Akhirnya, aku jadi merekrut Gita untuk membantu Yanti. Meski begitu, aku masih mondar mandir ke kios dengan perutku yang sudah membuncit. HPL nya 1 minggu lagi.
Hasil USG terakhir menunjukkan bahwa anakku sehat dan posisi kepala bayi juga sudah di panggul, jadi memungkinkan untuk lahiran normal. Jenis kelaminnya pun sudah diketahui. Aku dan Mas Rama sudah menyiapkan nama untuk calon bayi kami.
Kami juga sudah membeli perlengkapan bayi. Tidak banyak memang. Hanya perabot yang memang perlu. Aku juga sudah menyiapkan tas berisi kebutuhan ibu dan bayi setelah persalinan. Botol susu pun kusiapkan, hanya susu formulanya saja yang baru akan dibeli nanti jika memang dibutuhkan.
...****************...
Pagi itu seperti biasa aku ke kios untuk membuat adonan roti, bolu dan cake. Perutku terasa tak enak sudah sejak lewat tengah malam, tapi nanti hilang sendiri. Mas Rama pasti merasa ketidaknyamananku semalam.
Dia ikut terbangun kalau aku sudah bergerak-gerak gelisah. Semalaman Mas Rama mengelus pungungku untuk menenangkan.
"Mbak Alana, kapan HPL nya? Kayaknya sudah gede banget gitu, Mbak." tanya Yanti.
"Mestinya minggu-minggu ini ya, Yan. Nanti kalau Mbak lahiran, uang kue kamu setorkan ke bank dua hari sekali. Tiap sore ke tempat Mbak untuk laporan hasil penjualan sekalian bahan-bahan yang harus dibelanjakan. Nanti Mbak yang akan pesan dari sini. Untuk makan siang kalian, diambil di kontrakan."
Selama ini makan siang memang ku kirim dari rumah. Sekalian memasak untuk Mas Rama.
"Yan, Mbak balik kontrakan dulu ya. Mbak minta tolong dong, cariin ojek di luar ya. Pinggang Mbak sakit banget."
"Ya ampun, tunggu bentar ya, Mbak. Yanti keluar dulu."
Tak berapa lama, Yanti balik ke kios bersama abang ojek. Aku segera menaiki motornya dan kembali ke kontrakan. Rasanya ingin rebahan saja punggung ini.
Baru tidur sekitar 30 menit, perutku terasa mulas. Mulasnya kebangetan. Hilang dan timbul semakin sering.
Waktu ku coba berdiri, seperti ada cairan yang keluar di antara sela pahaku. Saat ku lihat, cairan seperti lendir dan ada darahnya sedikit. Mungkin dedek bayi sudah mau ketemu sama ayah bundanya. Gegas ku telepon Mas Rama.
"Mas, ayo cepat pulang ke kontrakan. Kayaknya Alana mau lahiran."
"Hah?! Ya ampuunnn. Kamu gimana sekarang?!"
"Alana masih bisa tahan, Mas. Ayo cepetan Alana tungguin, hati-hati berkendara nya."
"Ok, Mas izin dulu ke atasan."
Masih di posisi duduk, segera kulepaskan daster dan celana dalamku. Dengan tertatih-tatih sambil beberapa kali meringis kalau kontraksinya datang, ku pakai daster baru. Lalu kuambil tas coklat dengan hiasan kepala beruang, dan juga tas selempangku.
"Sssshhhh ... hadeuuhhh. Sabar ya sayang, ayah sedang kemari. Tahan dulu ya ...."
ku bujuk bayiku sambil mengelus lembut perut buncit ini. Calon anakku pengertian nih kayaknya, mulasnya langsung mereda.
Sama seperti masa kehamilan kemarin yang dimudahkan. Tidak ada ngidam aneh-aneh, tidak ada mabok dan susah makan. Semua biasa aja. Semoga anakku tidak menyusahkan nantinya, sama seperti saat masih di dalam kandungan. Amin.
Aku menghembuskan nafas lega kala Mas Rama sudah tiba.
"Tidak pesan taksi online aja kah, Yank? Kamu kesakitan begini?" tanya Mas Rama dengan wajah panik penuh kekhawatiran.
"Gak usah, Mas, makin lama nanti. Ayo, Alana dan debay nya tahan kok. Kita pelan-pelan aja ke tempat bu bidannya."
Mas Rama langsung memapahku ke motornya.
Tidak sampai 10 menit kami tiba di klinik bu bidan.
"Bu Bidan, istri saya sepertinya mau melahirkan."
"Mari, Pak, dibawa ke sini."
Mas Rama memapahku ke ranjang satu-satunya di ruangan itu.
"Sebentar saya periksa ya dulu ya, Bu Alana. Dicoba relaks, dan jangan mengejan dulu tanpa aba-aba saya ya."
Aku merasakan bu bidan melakukan sesuatu di bawah sana.
"Masih bukaan 5 ya bu. Bu Alana bisa coba jalan-jalan dulu di ruangan ini supaya lebih cepat penambahan bukaannya. Istrinya mohon dibantu ya, Pak."
Mas Rama mengangguk dan lekas menuntunku turun dari ranjang, kemudian kami jalan keliling ruangan. Entah berapa lama aku berjalan, mulas itu kembali datang dan makin sering. Lengan Mas Rama sudah jadi korban remasan.
"Bu Bidan, istri saya mulas lagi, Bu." Mas Rama berseru memanggil bu bidan di dalam.
"Mari didudukkan lagi di ranjang, Pak. Biar saya periksa lagi."
"Sudah bukaan sempurna ini. Nanti kalau kontraksinya datang, sekalian mengejan hitung sampai 10 ...."
"heeeeeegggghhhh!" Belum sempat ucapan bu bidan selesai, aku mengejan dengan suara tertahan sambil ku remas tangan Mas Rama yang memegangi tangan kiriku.
"Kepalanya sudah kelihatan, Bu. Ayo sambung lagi ya." Dengan sabar dan tenang bu bidan memimpin persalinan ini.
"Kamu hebat. Kami kuat!" Mas Rana menyemangati sambil mengusap keringat di keningku.
Kuambil napas sambil tersenyum meringis.
"heeeeeeggghhhh! " Aku mengejan lagi dengan sisa kekuatan.
Kurasakan ada sesuatu yang keluar di bawah sana bersama dengan hilangnya sakit kontraksi. Lalu ku dengar tangisan bayi menggema meramaikan suasana ruangan.
Kusandarkan punggung dengan lemas. Air mata ini meleleh dengan sendirinya. Anakku lahir. Anak yang selama ini kami tunggu, anak yang mengerti ayah bundanya sedang berjuang sehingga tidak rewel di dalam kandungan.
Mas Ram menciumi keningku sambil berurai air mata juga.
"Makasih ya, Sayang, sudah mau berjuang untuk anak kita."
Aku hanya tersenyum. Terlalu capek rasanya untuk membuka mulut.
Dengan cekatan, Bu bidan memotong tali pusar.
"Bayinya laki-laki, sehat dan sempurna ya, Bu, Pak."
Bu bidan meletakkan bayiku di atas dadaku yang sudah dibuka sebagian dasternya. Kusentuh jari tangannya yang mungil, jari yang menggetarkan jiwa dan raga ku.
Setelah memastikan rahim ku bersih, kemudian membereskan yang di bawah sana, Bu bidan mengambil bayi dari atas dadaku untik dibersihkan. Mas Rama mengambil pakaian bayi dari tas yang ku bawa.
Setelah bayi kami dibersihkan, diserahkan ke Mas Rama untuk digendong. Bu Bidan mengajari suamiku menggendong dengan benar dan nyaman.
"Bu Alana, istirahat saja dulu. Nanti sore sudah bisa pulang. Nanti kalau dedek bayinya menangis minta susu, coba diberi ASI dulu ya bu. Jika tidak bisa, baru kita bantu sufor." Jelas Bu bidan sambil membereskan peralatannya.
"Baik. Terima kasih, Bu Bidan," Sahut ku. Mas Rama juga mengucapkan terima kasih.
"Mas, jangan lupa mengabari Bapak, Mbak Raya dan Mbak Niken ya," setelah berkata demikian, aku langsung tertidur.
...****************...
Entah berapa jam aku tertidur, bangun-bangun perut ini sudah lapar luar biasa.
Aku mengedarkan pandangan, ku lihat bayiku tertidur di box samping ranjang.
Mas Rama melihatku bangun, lalu menghampiriku sambil membawakan piring dengan bungkusan makanan di atasnya.
"Ini dimakan dulu, Yank. Kamu pasti lapar. Habis makan kita bisa langsung pulang. Mas sudah membereskan bawaan kita tadi."
"Terima kasih ya, Mas. Alana memang lapar banget."
Tidak perlu waktu lama untuk menghabiskannya. Setelah aku selesai makan, anakku nangis.
"Coba sini kususui, Mas."
Bu bidan berjalan ke arah kami bersamaan dengan bayiku selesai menyusui.
"Sudah keluar ASI nya ya, Bu. Setelah itu, bayinya digendong seperti ini ya supaya sendawa." Bu bidan membantuku memposisikan bayi di pundakku.
"Lehernya dipegang begini, terus tepuk-tepuk pelan punggungnya sampai terdengar sendawanya ya, Bu Alana."
Tak lama terdengar bayiku sendawa.
"Lain kali, pundaknya bisa dilapisi kain, soalnya kadang air susu ikut keluar sedikit. Membuat bayi sendawa harus selalu dilakukan setiap habis menyusui ya, Bu. Kalau tidak disendawakan nanti bahaya buat bayinya. Saat bayi menyusu, biasanya ada udara yang masuk ke perut bayi. Makin banyak udara yang masuk, semakin kembung lah perut bayi. Akibatnya, bayi akan merasa tidak nyaman dan akan menyebabkan rewel. Kondisi ini juga bisa menyebabkan muntah karena udara dan makanan yang sudah bercampur di lambung. Bahayanya, muntahan bayi bisa masuk ke hidung dan paru-paru yang membuat bayi tersedak." Bu Bidan menerangkan dengan jelas dan rinci.
"Terima kasih banyak atas penjelasannya, Bu Bidan," Jawab ku seraya tersenyum.
"Terima kasih, Bu. Terima kasih sudah membantu kelahiran bayi kami," ucap Mas Rama.
"Sama-sama Bapak, Ibu. Sudah jadi tugas saya."
Sebelum kami pulang, bu bidan menjelaskan kapan aku bisa mandi, kapan anak kami harus imunisasi pertamanya. Lalu Mas Rama memesan taksi online untuk kami pulang, supaya anak kami tidak kena angin.
Sesampainya di rumah, Mas Rama membereskan kasur kami. Kami sepakat tidak pakai ranjang supaya tidak banyak perabot saat pindahan nanti.
Abian Dharmendra Kusuma yang artinya berkat Tuhan yang membawa kegembiraan keluarga Kusuma, adalah nama yang kami pilih untuk bayi kami. Abian berarti kegembiraan. Dharmendra berarti keberkahan Tuhan. Kusuma adalah nama keluarga bapak Mas Rama.
Ku tatap Mas Rama lekat-lekat, sebelum menyampaikan sesuatu.
"Mas bagaimana kalau ...."
*
*
akhirnya ya rama 😭