Arnav yang selalu curiga dengan Gita, membuat pernikahan itu hancur. Hingga akhirnya perceraian itu terjadi.
Tapi setelah bercerai, Gita baru mengetahui jika dia hamil anak keduanya. Gita menyembunyikan kehamilan itu dan pergi jauh ke luar kota. Hingga 17 tahun lamanya mereka dipertemukan lagi melalui anak-anak mereka. Apakah akhirnya mereka akan bersatu lagi atau mereka justru semakin saling membenci?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4
Arnav terbangun dari tidurnya. Tiba-tiba saja dia memimpikan Gita. Perasaannya tidak tenang. Dia sangat gelisah memikirkan Gita.
"Kenapa perasaanku tidak enak begini?" Arnav melihat Arvin yang tidur dengan nyenyak di sampingnya. Dia mencium kening itu dengan kedua mata yang berkaca.
Dia masih ingat betul saat Arvin terus mencari mamanya setiap hari. Setiap Arvin memanggil mamanya membuat hatinya sangat terluka. Bahkan dia sempat mencari Gita ke rumahnya tapi ternyata Gita sudah pergi keluar kota.
Terkadang dia menyesal menuruti emosinya yang tidak terkendali waktu itu. Bukan hanya dirinya yang terluka tapi juga Arvin yang sangat kehilangan sosok mamanya. Dia menjadi seorang pria yang paling jahat telah memisahkan Arvin dan mamanya.
Arnav turun dari ranjang dan duduk di dekat jendela. Air mata itu semakin mengalir di pipinya saat menatap langit yang berwarna hitam pekat tanpa bintang itu.
Gita, aku sangat merindukan kamu.
Arnav mengambil ponselnya dan akan melihat foto yang tersimpan di ponselnya tapi dia justru melihat pesan dari salah satu anak buahnya yang dia tugaskan untuk mencari tahu tentang Gita.
Saya dapat satu info. Beberapa kali Gita menemui dokter kandungan dengan suaminya. Dia sekarang sedang hamil.
Arnav melebarkan matanya melihat foto Gita bersama Gibran di rumah sakit itu. "Jadi setelah bercerai, Gita langsung menikah dengan Gibran. Pantas dia pergi dari kota ini. Shits!"
Arnav membanting ponselnya hingga pecah. Dia mengacak rambutnya frustasi dan memukul tembok berulang kali.
"Papa ...." Arvin terbangun dan menangis karena terkejut dengan suara papanya
Tersadar dengan tangisan Arvin, Arnav meredam emosinya dan naik ke atas ranjang lalu memeluk putranya dengan erat. "Maafkan Papa. Maafkan Papa. Papa janji, akan selalu menyayangi dan merawat kamu hingga kamu dewasa nanti."
"Papa menangis?"
Mendengar pertanyaan itu seolah semakin meluluh lantah hatinya. Arnav semakin menangis sesenggukan sambil memeluk putranya. "Papa ...."
"Papa jangan menangis."
Air mata itu seolah tidak bisa berhenti. Baru kali ini dia merasakan sakit yang teramat sakit. Sejak saat itu, Arnav membangun tembok yang kokoh di hatinya. Dia menutup hatinya rapat untuk wanita manapun.
Banyak wanita yang mendekatinya setelah beritanya menjadi duda anak satu menyebar. Tapi Arnav sama sekali tidak tertarik dengan wanita lain. Dia menjadi pria yang dingin dan nyaris tanpa senyuman saat di luar rumah. Dia hanya hangat pada putranya saja.
Hingga hari-hari pun berlalu, Arnav kini telah bersekolah di sebuah taman kanak-kanak.
"Arnav, ini acara hari ibu. Biar Ibu saja yang datang," kata Naya.
Arnav menggelengkan kepalanya. "Acara apapun di sekolah Arvin, biar aku yang datang karena aku orang tuanya. Meskipun Arvin tidak punya Mama tapi dia masih punya Papa."
"Ya sudah, biar Ibu ikut kamu."
"Tidak usah, Ibu. Arvin anakku jadi dia tanggung jawabku. Ibu sudah banyak membantu menjaga Arvin di rumah jadi urusan Arvin di luar rumah biar menjadi urusanku."
Naya tiba-tiba memeluk putranya dan mengusap punggungnya. "Meskipun kamu sudah berumur 30 tahun, tapi kamu tetap anak pertama Ibu. Apa yang mengganjal di hati kamu, kamu bisa cerita sama Ibu. Ibu sudah tidak pernah melihat kamu tersenyum lagi setelah bercerai dengan Gita selain tersenyum pada Arvin."
Arnav melepas pelukan mamanya. "Ibu, aku baik-baik saja. Jangan sebut lagi nama dia yang sudah pergi. Sudah siang, nanti aku terlambat datang ke acaranya Arvin."
Arnav berjalan jenjang keluar dari rumahnya. Dia kini masuk ke dalam mobilnya dan segera melaju menuju sekolah Arvin.
Setelah sampai di sekolah Arvin, dia masuk ke dalam aula dan duduk di kursi. Dia melihat sekelilingnya. Hampir semua teman Arvin datang bersama kedua orang tuanya.
"Papa!" Arvin memanggil papanya sambil melambaikan tangannya.
Arnav tersenyum dan membalas lambaian tangan putranya.
"Papanya Arvin ya. Dimana mamanya?" tanya salah satu orang tua dari teman Arvin yang duduk di dekatnya.
"Arvin sudah tidak punya Mama," jawab Arnav dengan datar.
"O, iya, tapi Arvin pasti sangat bahagia punya Papa hebat seperti Anda."
Arnav hanya mengangguk pelan. Dia kini menatap panggung saat acara dimulai. Beberapa pertunjukkan ditampilkan dari anak-anak TK termasuk Arvin.
Arnav tersenyum melihat Arnav bernyanyi sambil berjoged di atas panggung itu. Tapi senyuman itu pudar saat teman-teman Arvin memberikan hadiah untuk ibu mereka masing-masing.
Iya, ini hari ibu. Ada kalanya dia tidak bisa menjadi sosok ibu juga untuk Arvin.
Arvin hanya menundukkan kepalanya. Dia masih berdiri di atas panggung sambil memegang secarik kertas berisi puisi yang dia buat untuk ibunya.
Arnav berdiri dan menghampiri Arvin. Dia berlutut lalu menghapus air mata Arvin yang membasahi pipinya.
"Papa, Mama dimana?" tanya Arvin
Pertanyaan itu membuat hati Arnav kembali hancur. Dia berusaha menahan air mata yang sudah terbendung di kedua matanya.
"Arvin, ada Papa di sini. Jangan menangis. Biar Papa yang baca puisi kamu."
Aku sayang ibu.
Ibu dimana?
Apa ibu juga sayang sama aku?
Aku ingin sekali bertemu ibu.
Aku ingin seperti teman-teman yang memiliki ibu.
Dimanapun ibu berada, selamat hari ibu.
Arnav mendongak sesaat agar air matanya tidak jatuh ke pipinya. Dia berusaha tersenyum agar Arvin tidak semakin bersedih. "Arvin, Mama pasti juga sayang sama Arvin. Suatu saat nanti Arvin pasti akan bertemu dengan Mama. Jangan menangis lagi."
Arnav kembali memeluk putranya sambil mengusap punggungnya agar lebih tenang. "Mumpung Papa hari ini tidak ke kantor. Kita ke playground ya. Ajak teman kamu yang mau ikut. Kita bermain di sana sama-sama."
Arvin menghapus air matanya agar berhenti mengalir. Dia melepas pelukan papanya. "Boleh aku ajak Hana, Pa. Dia belum pernah ke playground."
"Iya, ajak sekalian teman sekelas kamu tidak apa-apa."
Arvin berlari menghampiri teman-temannya dan mengajak mereka pergi ke playground bersama.
Arvin, suatu saat nanti kamu pasti akan mengerti, mengapa Papa dan Mama harus berpisah. Hanya kamu prioritas Papa sekarang, tidak ada yang lain.
💗💗💗