Ricard Dirgantara, pelayan bar yang terpaksa menjadi suami pengganti seorang putri konglomerat, Evelyn Narendra.
Hinaan, cacian dan cemooh terus terlontar untuk Richard, termasuk dari istrinya sendiri. Gara-gara Richard, rencana pernikahan Velyn dengan kekasihnya harus kandas.
Tetapi siapa sangka, menantu yang dihina dan terus diremehkan itu ternyata seorang milyader yang juga memiliki kemampuan khusus. Hingga keadaan berbalik, semua bertekuk lutut di kakinya termasuk mertua yang selalu mencacinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sensen_se., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12 : PERANG DINGIN
Malam itu, pasangan suami istri yang masih baru seakan tengah berperang dingin. Keduanya kesal karena ego masing-masing. Velyn kesal dan marah karena kesalahpahaman, sedangkan Richard pun kesal, sang istri tidak mau mendengar penjelasannya.
Untuk pertama kalinya, Velyn tidur sendiri tanpa suami, tanpa pijatan lembut yang mengantar tidur nyenyaknya, tanpa ada yang merapikan kamar dan menyiapkan pakaiannya.
Pagi harinya, tidak ada tegur sapa meskipun mereka bertemu di meja makan. Hanya denting sendok yang menggema, atau sesekali suara Debora mendominasi meja makan. Baik Richard maupun Velyn, sama sekali tak bersuara.
“Aku berangkat dulu, Ma, Pa!” Velyn beranjak berdiri, sembari menggamit shoulder bag besar di bahu kanannya.
Tanpa mau menyapa suaminya, Velyn melalui begitu saja. Tatapan jijik sekaligus kesal dilayangkan pada pria itu. Ia memutuskan berangkat sendiri, tanpa diantar ke sana ke mari oleh sang suami seperti sedia kala.
Tak berapa lama, Richard juga mengakhiri sarapannya. Ia beranjak meninggalkan meja makan yang masih berantakan.
“Heh, Richard! Mau ke mana kamu?” teriak Sabrina menghentikan langkah Richard.
“Ada urusan penting, Ma,” sahutnya tanpa menoleh. Kakinya kembali melangkah maju hingga keluar dari rumah.
“Kerjaan kamu belum beres, Richard! Mau kabur dari tanggung jawab?”
“Urusan saya lebih penting!” Richard kembali melangkah, mengabaikan ungkapan kekesalan ibu mertuanya.
Richard mendatangi counter HP untuk menyervis ponselnya. Berharap, benda pipih itu masih.bisa diperbaiki. Mengingat, banyak sekali data penting di sana. Kekesalan yang membuncah, membuatnya gegabah dan tidak bisa berpikir jernih. Tapi, senyum menyeringai terbit ketika sebuah ide terlintas di otaknya.
...\=\=\=\=ooo\=\=\=\=...
Velyn melenggang malas ke ruang kerjanya. Stevy segera beranjak menyambut sang bos, sekaligus memberi tahu akan suatu hal.
“Nona, selamat pagi. Di dalam ada Tuan Gerald sudah menunggu,” adu Stevy.
“Gerald?” Velyn mengerutkan dahi tipis mendengar mantan kekasihnya datang. Seketika dadanya berdegup dengan kuat. Tak dapat dipungkiri, rasa itu masih ada. Ia masih mencintai mantan kekasihnya itu.
Velyn merapikan penampilannya yang tidak berantakan. Pikirannya tak mampu menerka apa yang akan Gerald lakukan. Setelah sekian lama, akhirnya mau bertemu dengannya lagi.
“Ehm!” gadis itu berdehem, menahan senyum sembari menggeser pintu ruang kerjanya.
Tatapannya langsung bertemu dengan manik Gerald, yang tengah duduk di sofa. Tubuh Velyn mendadak lemas. Tapi sebisa mungkin kaki jenjang itu menopang tubuhnya sendiri.
“Hai? Sudah lama menunggu?” tanya Velyn salah tingkah. Apalagi tatapan Gerald tak berkedip sedari tadi.
“Belum. Mungkin sekitar 30 menit,” sahut Gerald tanpa senyuman.
Velyn berjalan mendekat, terkejut ketika pria itu justru berdiri. Gestur tubuhnya tampak menolak kehadiran Velyn.
“Aku ke sini cuma ingin menyampaikan ini. Kamu harus datang dan menjadi saksi pernikahanku!” tutur Gerald menyodorkan sebuah undangan pernikahan.
DEG!
“A...apa?” gumamnya dengan suara gemetar.
Tangannya bahkan sampai tak sanggup menerima benda itu. Manik matanya mulai berlapis cairan bening, bersiap untuk terjun membasahi pipinya.
“Gerald, secepat itu kamu melupakanku?” Suara Velyn terdengar gemetar.
Gerald melayangkan tatapan sinis. Melipat kedua lengan di dada, sedikit membungkuk demi bisa sejajar dengan wanita itu. “Buat apa aku terus mengingat-ingat pengkhianat seperti kamu? Wanita paling murahan yang aku kenal sejauh ini!”
Suara Gerald memang begitu pelan. Tapi teramat menusuk jantungnya detik itu juga. Dadanya kian sesak, seakan kehabisan oksigen di sekitarnya.
“Tuhan masih menyelamatkanku, membuka tingkah menjijikkan kamu sebelum kita menikah. Jika tidak, aku akan terjebak menikahi jallang sepertimu!” ketus Gerald tepat di telinga Velyn.
Mata Velyn terpejam, air matanya langsung menyembur begitu derasnya. Hatinya hancur tak berbentuk.
“Cih! Pura-pura nangis biar apa? Biar aku luluh terus maafin kamu?” Bibir Gerald menyeringai, “Tidak akan terjadi!” tambahnya.
Gerald menepuk bahu Velyn sembari berucap, “Aku tunggu kehadiranmu!” Pria itu melenggang keluar begitu saja. Meninggalkan Velyn yang meremas kartu undangan lelaki itu.
Sepeninggalnya Gerald, tubuh Velyn luruh ke lantai. Ia menangis sejadi-jadinya. Pria yang pernah menjadikannya ratu, pria yang pernah menjadi bagian hidupnya, nyatanya kini menghancurkannya tanpa sisa. Velyn menjerit, tangisannya menggema di seluruh penjuru ruangannya. Hatinya semakin membenci Richard. Karena semua berawal dari pria berstatus suaminya itu.
Tangan Velyn gemetar memegang kertas di tangannya. Ia memberanikan diri untuk membuka undangan itu. Ia penasaran, siapa yang berhasil menggantikan dirinya bersanding dengan Gerald.
Sesuatu seolah meledakkan dadanya, ketika membaca deretan huruf itu. Ia tidak percaya jika Sonia—sahabatnya, wanita yang sempat ia pergoki bersama Richard. Pijakan kakinya serasa runtuh saat itu juga. Tangisnya semakin pecah.
Ia beranjak lalu menyibak semua benda di mejanya. Velyn mengamuk sembari menjerit sejadi-jadinya. Derai air mata tak terbendung.
Stevy buru-buru masuk ke ruangan sang bos. “Nona! Anda baik-baik saja? Astaga, Nona!” serunya berlari menghampiri Velyn yang terduduk di lantai.
“Kenapa dunia kejam sama aku, Stev? Kenapa?!” jerit Velyn.
Stevy memeluk wanita itu, membiarkan sang bos mengeluarkan semua bebannya. Ia diam, memberikan waktu untuk Velyn menuntaskan tangisnya.
“Saya akan cancel beberapa meeting hari ini, Nona. Agar Anda bisa menenangkan diri dulu,” ucap Stevy membantu Velyn berdiri, dan mendudukkannya di sofa. Ia juga memberikan segelas air putih untuk bosnya itu.
“Terima kasih, Stev,” balas Velyn dengan tatapan kosong. Ia sedang tidak ingin berbuat apa pun. Hanya diam, meratapi nasibnya.
\=\=\=\=ooo\=\=\=\=
Velyn pulang sore hari seperti biasa. Meskipun seharian ia tidak melakukan apa pun. Hanya menangis, merenung dan melamun saja. Sesampainya di rumah, Velyn langsung bergegas ke kamar. Melepas blazer, melempar sepatu, tas ke sembarang arah. Sampai isinya turut berhamburan. Velyn kembali melanjutkan tangisnya di atas ranjang.
Richard tiba lebih dulu dari istrinya. Saat hendak membuka pintu kamar tamu, ia melihat Velyn masuk dengan langkah buru-buru. Kedua mata wanita itu juga tampak bengkak dan sesekali masih menyekanya. Karena penasaran, Richard menyusul ke kamar.
Richard cukup terkejut saat melihat kamar seperti kapal pecah. Karena Velyn tipe wanita yang sangat menjaga kebersihan. Keningnya berkerut tipis menyaksikan sang istri yang menangis tersedu di atas ranjang.
“Kenapa, Vel? Kangen sama aku?” gurau Richard memunguti satu per satu barang-barang Velyn. Hingga gerakannya terhenti saat menemukan undangan pernikahan Gerald dan Sonia.
Bersambung~
hadeuuuuh