Ketika cinta hadir di antara dua hati yang berbeda keyakinan, ia mengajarkan kita untuk saling memahami, bukan memaksakan. Cinta sejati bukan tentang menyeragamkan, tetapi tentang saling merangkul perbedaan. Jika cinta itu tulus, ia akan menemukan caranya sendiri, meski keyakinan kita tak selalu sejalan. Pada akhirnya, cinta mengajarkan bahwa kasih sayang dan pengertian lebih kuat daripada perbedaan yang ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menangis
Freya duduk di bangku kayu yang dingin di dalam gereja, menatap patung Yesus yang tergantung di altar. Udara di dalam gereja terasa hening dan tenang, seolah membalut hatinya yang penuh dengan rasa campur aduk. Dia menghela napas panjang, mengingat kabar bahwa Tama kini telah menikah. Meskipun hatinya sempat terluka, Freya berusaha menerima kenyataan itu.
Freya menundukkan kepalanya, menyatukan kedua tangannya di depan dada, dan mulai berdoa.
"Ya Tuhan, aku bersyukur atas semua yang telah Kau berikan kepadaku. Aku bersyukur Kau telah mempertemukan aku dengan Tama, meskipun jalan hidup kami berbeda pada akhirnya."
Suara doanya lembut, tapi penuh keyakinan.
"Aku ingin memohon kepada-Mu, Tuhan, untuk Tama dan rumah tangganya. Lindungi mereka dalam setiap langkah yang mereka ambil bersama. Berkatilah pernikahannya dengan cinta, kesabaran, dan kebahagiaan yang tak terhingga. Meskipun aku tidak lagi bersamanya, aku berharap dia menemukan kedamaian dan kebahagiaan sejati."
Freya menghela napas berat, merasa beban yang selama ini dia bawa perlahan-lahan mulai lepas. Meskipun rasa sakit karena kehilangan masih menyayat, dia ingin yang terbaik untuk Tama. Sebagai seseorang yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya, Freya tahu bahwa Tama layak mendapatkan kebahagiaan.
Saat dia bangkit dan meninggalkan gereja, Freya merasa damai. Tuhan telah mendengar doanya, dan dia percaya bahwa waktu akan menyembuhkan semua luka yang ada.
Ketika Freya melangkah keluar dari gereja, matanya masih sedikit basah, dan pikirannya penuh dengan perasaan yang baru saja dilepaskannya dalam doa. Udara sore yang sejuk membelai wajahnya, membawa sedikit rasa tenang. Namun, tiba-tiba, tubuhnya terguncang ringan ketika seseorang tanpa sengaja menabraknya dari arah samping.
"Oh, maaf!" suara seorang laki-laki terdengar dengan nada canggung. Freya terkejut dan menoleh, mendapati seorang pria muda dengan ekspresi penuh penyesalan di wajahnya. Dia mengenakan jaket abu-abu dan tampak sedikit gugup.
"Maaf sekali, saya tidak melihat Anda," tambahnya sambil menggaruk kepala dengan kikuk, wajahnya sedikit memerah.
Freya tersenyum tipis, meskipun masih terkejut. "Tidak apa-apa, saya juga tidak melihat Anda," balasnya sambil melambai, menunjukkan bahwa dia baik-baik saja.
Pria itu tampak lega dan tersenyum kecil. "Terima kasih, saya benar-benar tidak sengaja."
Mereka berdua berdiri sejenak dalam keheningan yang agak canggung. Freya merasa ada sesuatu yang sedikit aneh, tetapi juga tidak terlalu memikirkannya. Setelah beberapa detik, pria itu tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi kemudian hanya mengangguk.
"Baiklah, sekali lagi maaf ya," katanya sebelum melangkah pergi dengan tergesa-gesa, meninggalkan Freya yang berdiri di sana, masih memikirkan kejadian itu.
Freya menghela napas, lalu melanjutkan langkahnya. Namun, tanpa disadari, pertemuan singkat itu mengusik pikirannya sepanjang perjalanan pulang.
Sesampainya di apartemen, Freya melepaskan jaketnya dan menatap sekeliling ruangan yang telah menjadi tempatnya selama beberapa tahun. Keputusan untuk pergi bukanlah hal mudah, tapi Freya merasa sudah waktunya. Dia mulai mengemasi barang-barangnya, memasukkan pakaian, buku, dan barang-barang pribadi ke dalam kotak-kotak kardus. Hatinya campur aduk, antara lega dan sedih meninggalkan tempat yang penuh kenangan.
Tak lama kemudian, pintu apartemen terbuka, dan Leyla masuk dengan wajah penuh perhatian. "Hey, aku datang untuk membantumu," katanya sambil tersenyum hangat, lalu langsung ikut membantu Freya memasukkan barang-barang ke dalam kardus.
Mereka bekerja dalam keheningan selama beberapa saat, hanya terdengar suara lipatan pakaian dan gesekan kardus. Namun, setelah beberapa saat, Leyla berhenti, menatap Freya dengan serius.
"Freya," katanya pelan, "Apa kamu benar-benar harus pergi? Kamu yakin dengan keputusan ini?"
Freya menghentikan gerakannya, menundukkan kepala sejenak sebelum menatap sahabatnya. "Leyla, aku butuh ini. Aku butuh pergi, menjauh dari semua ini. Dari kenangan, dari Tama, dan … mungkin untuk menemukan diriku lagi."
Leyla duduk di tepi sofa, memandangi Freya dengan ekspresi cemas. "Aku mengerti kamu ingin memulai babak baru, tapi kamu tahu aku selalu ada untukmu di sini. Jika ini tentang Tama, apakah benar tidak ada yang bisa kamu lakukan selain pergi?"
Freya tersenyum tipis, lalu duduk di sebelah Leyla. "Aku sudah menerima kenyataan bahwa Tama punya kehidupan baru. Mungkin di sini aku terus diingatkan tentang dia, tentang apa yang dulu ada di antara kami. Aku butuh ruang untuk sembuh, dan mungkin tempat yang berbeda bisa membantuku."
Leyla menatapnya dalam-dalam, mencari keyakinan di mata Freya. Setelah beberapa detik, dia akhirnya mengangguk. "Kalau itu yang kamu butuhkan, aku akan mendukungmu. Tapi janji ya, jangan terlalu jauh dariku," Leyla berusaha tersenyum, meskipun jelas dia enggan melepaskan sahabatnya pergi.
Freya tersenyum lembut, lalu meraih tangan Leyla. "Aku nggak akan jauh, kita akan selalu terhubung."
Dengan perasaan lega namun berat, mereka kembali melanjutkan mengemas barang-barang Freya, sadar bahwa ini adalah awal dari perubahan besar dalam hidup Freya.
Freya berhenti sejenak dari aktivitas mengemasinya ketika matanya tertuju pada sebuah bingkai foto di dekat tempat tidurnya. Foto itu menampilkan dirinya dan Tama—berdiri berdampingan di sebuah taman dengan senyum lebar menghiasi wajah mereka. Freya tampak tertawa lepas, sementara Tama memeluknya dari samping dengan ekspresi hangat. Waktu itu terasa begitu sederhana, begitu penuh dengan kebahagiaan.
Dia mengulurkan tangan, meraih bingkai itu, dan membiarkan ingatannya membawanya kembali ke masa-masa ketika semuanya terasa benar. Ketika dia dan Tama masih dekat, belum ada jarak atau masalah yang memisahkan mereka. Kehangatan senyum Tama di foto itu membuat dada Freya terasa sesak. Dia belum pernah bisa benar-benar melupakan perasaan yang dulu begitu kuat.
"Freya, kamu baik-baik saja?" Leyla bertanya lembut dari belakangnya, memperhatikan Freya yang tampak tenggelam dalam pikirannya.
Freya menatap foto itu dalam diam sejenak sebelum mengangguk pelan. "Aku baik-baik saja, Leyla. Hanya …," suaranya terhenti, seolah mencari kata-kata yang tepat, "kadang aku masih merasa bahwa bagian dari diriku akan selalu terikat padanya."
Leyla duduk di samping Freya, melihat foto itu bersamanya. "Kamu sangat mencintainya, aku tahu itu. Tapi Freya, kadang cinta juga berarti melepaskan. Kalau Tama memang bagian dari masa lalumu, kamu harus membiarkan dia pergi agar kamu bisa berjalan maju."
Freya tersenyum tipis, menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. "Aku tahu. Aku tahu, Leyla. Tapi kenangan seperti ini ... susah untuk dilupakan."
Dia meletakkan foto itu dengan hati-hati ke dalam kotak, sebagai tanda bahwa meskipun dia akan pergi, dia tidak akan melupakan apa yang pernah dia miliki bersama Tama. Tapi untuk saat ini, dia harus mengemas kenangan itu dan melanjutkan hidupnya.
Dengan napas panjang, Freya bangkit, menatap Leyla dengan mata yang lebih tegas. "Ayo kita lanjutkan. Aku sudah siap."
Namun, Leyla melangkah mendekati sahabatnya dan memeluknya. Leyla menepuk pelan punggung Freya. Dan tidak lama kemudian, Freya menangis hebat di pelukan sahabatnya.