Istri yang tak dihargai adalah sebuah kisah dari seorang wanita yang menikah dengan seorang duda beranak tiga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sulastri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rekan kerja yang nasibnya sama
Pagi Hari dan Shalat Subuh
Ketika suara adzan subuh mulai berkumandang dari masjid terdekat, Hesti terbangun sepenuhnya dari tidurnya yang diselimuti kerinduan akan anaknya. Meski matanya masih sedikit bengkak akibat tangis semalam, dia merasa sedikit lebih tenang setelah bermimpi bertemu anaknya.
Dengan langkah perlahan, Hesti beranjak dari tempat tidurnya, mengambil air wudhu, dan bersiap untuk shalat subuh. Di dalam kamar kos yang sederhana, dia menggelar sajadah dan mulai menunaikan shalat.
Hesti berbisik dalam doa"Ya Allah, kuatkan hatiku untuk menjalani hari ini. Berikan kesehatan dan perlindungan untuk anakku di kampung. Mudahkan rezekiku agar aku bisa segera berkumpul dengan anakku lagi."
Setelah menunaikan shalat, Hesti duduk sejenak di atas sajadahnya, menenangkan hati, lalu mempersiapkan diri untuk berangkat kerja seperti biasa.
Setelah berpakaian rapi, Hesti melangkah keluar dari kos-kosannya menuju restoran tempatnya bekerja. Jalanan pagi masih sepi, embun pagi masih tersisa di dedaunan, dan suasana sejuk terasa menenangkan. Meski dalam hati masih terasa rindu yang dalam, Hesti mencoba fokus pada pekerjaannya.
Sesampainya di restoran, Hesti menyapa rekan-rekannya dengan senyum yang selalu ia coba tunjukkan, meskipun hatinya sering kali lelah. Dia mulai bekerja, melayani pelanggan yang datang.
Rekan Kerja Hesti menyapa "Pagi, Hesti. Kamu kelihatan sedikit lelah, nggak apa-apa?"
Hesti tersenyum lembut "Iya, nggak apa-apa kok. Cuma semalam agak susah tidur, rindu sama anak."
"Semoga hari ini lancar, ya. Kamu wanita yang kuat, Hesti."lanjutnya
Hesti mengangguk "Amin, terima kasih. Kita semua sama-sama berjuang."
Hesti pun melanjutkan hari-harinya seperti biasa, bekerja keras dan menyimpan kerinduannya dalam hati. Meski rindu itu selalu ada, dia tetap yakin bahwa suatu hari dia akan kembali memeluk anaknya, bukan hanya dalam mimpi, tetapi dalam kenyataan.
Di sudut dapur restoran, Ana bekerja dengan tenang. Meskipun terlihat ceria saat berbicara dengan Hesti, hatinya juga sedang resah. Semalam, ibunya menelepon dari kampung dan memberi tahu bahwa anak keduanya, yang berusia 4 tahun, sedang sakit. Ana merasa sangat khawatir, namun ia menyimpan kekhawatirannya sendiri.
Ana tahu bahwa Hesti sering sedih saat merindukan anaknya, dan karena itu, Ana memilih untuk tidak menceritakan masalahnya. Ia tak ingin membuat Hesti semakin terbebani, mengingat Hesti hanya punya satu anak dan pasti lebih sering merasakan kerinduan yang mendalam.
Ana dalam hati "Anak kedua lagi sakit, semoga nggak parah... Tapi aku nggak bisa cerita ke Hesti, dia pasti sedih kalau dengar. Aku harus kuat."
Ana melanjutkan pekerjaannya dengan perasaan bercampur aduk. Meskipun hatinya ingin segera pulang dan merawat anak-anaknya yang masih kecil — yang pertama berusia 6 tahun, yang kedua 4 tahun, dan yang ketiga 2 tahun — dia paham bahwa kewajibannya untuk bekerja harus tetap dijalani demi masa depan mereka.
Setiap kali telepon ibunya terlintas di pikirannya, ada dorongan kuat untuk menangis, tapi Ana terus menahan diri, mencoba tetap profesional dan ceria di depan Hesti.
Ana tersenyum tipis sambil bekerja"Semoga anak-anak di rumah baik-baik saja... Aku harus tetap semangat."
Seperti Hesti, Ana juga sedang merasakan beban berat sebagai seorang ibu yang jauh dari anak-anaknya. Namun, dia tetap memilih menyembunyikan kekhawatiran itu, menunjukkan ketangguhan demi menjalani hari dan mendukung Hesti, yang juga sedang berjuang dengan kesendiriannya.