Berjuang sendirian sejak usia remaja karena memiliki tanggungan, adik perempuan yang ia jaga dan ia rawat sampai dewasa. Ternyata dia bukan merawat seorang adik perempuan seperti apa yang dirinya sangka, ternyata Falerin membesarkan penghianat hidupnya sendiri.
Bahkan suaminya di rebut oleh adik kandungnya sendiri tanpa belas kasihan, berpikir jika Falerin tidak pernah memperdulikan hal itu karena sibuk bekerja. Tapi diam-diam ada orang lain yang membalaskan semua rasa sakit Falerin. Seseorang yang tengah di incar oleh Faldo, paparazi yang bahkan sangat tidak sudi menerima uangnya. Ketika Faldo ingin menemui paparazi itu, seolah dirinya adalah sampah yang tidak pantas di lihat.
Walaupun Falerin terkesan selalu sendiri, tapi dia tidak sadar jika ada seseorang yang diam-diam melindunginya. Berada di saat ia membutuhkan pundak untuk bersandar, tempat untuk menangis, dan rumah yang sesungguhnya. Sampai hidupnya benar-benar usai.
"Biarin gw gantiin posisi suami lo."
Dukungannya ya guys
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Angel_Enhy17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
⋇⋆CHAPTER 8 : MORE IMPORTANTLY⋆⋇
Rumi berdiam diri di dalam kamarnya, tiba-tiba saja ia merenungkan sesuatu yang harus dia renungkan sekarang. Dia merasa terlalu merepotkan orang lain, entah itu ibunya, orang lain, Faldo, atau bahkan kakak perempuannya sendiri. Ia menatap ke arah foto keluarga, yang di mana dirinya yang di peluk kedua orang tuanya. Di bandingkan dengan Rumi, di dalam foto itu ada satu orang yang sepertinya seorang diri. Kakaknya berdiri tersenyum di sana tanpa ada yang memeluknya.
Dia hanya membawa satu boneka kesukaannya yang bahkan itu bukan sebuah boneka yang bagus, seperti yang pernah Rumi miliki. Rumi merasa jika hidup ini tidak adil, tapi yang lebih tidak adil adalah kehidupan kakaknya sendiri.
Tapi sepertinya ia terlalu terlambat untuk sekedar sadar, bahkan ia sudah kebablasan dengan pria itu. Ia pikir semua ini akan menghancurkannya, hidup dengan segala kemewahan yang kakaknya berikan tapi balasannya justru sakit hati yang mungkin tidak akan pernah perempuan itu lupakan. Di saat itu ia mulai sadar, yang menghancurkan keluarganya adalah dirinya sendiri.
...♡♡♡...
Apakah tuhan sekejam ini untuk sekedar menulis takdir? Kenapa harus ada penderitaan yang terus menerus hadir? Tanpa ada kata berhenti, bahkan di setiap kebahagiaan yang sesaat ini, pasti akan ada cobaan lain yang akan menghancurkan dirinya dalam setiap waktu yang berjalan.
Falerin merasa jika semua ini, tidak perlu di perbaiki lagi. Berusaha agar tetap berpikir jika semua ini akan berhenti dalam waktu dekat, tapi sepertinya tidak akan berhenti. Dari satu tahun ini ia harus berjuang seorang diri, sepertinya Falerin harus melawan perasaannya sendiri dengan susah payah. Apakah ia harus menyerahkan segalanya? Mau sampai kapan ia harus mengalah?
Tiba-tiba saja ponselnya berdering, yang membuatnya mengalihkan arah pandangnya. Melihat nama yang tertera di ponselnya itu membuatnya tidak ada semangat, nama itu adalah nama yang tidak pernah ia inginkan. Tidak mau Falerin menemui orang itu, emosinya masih belum reda sampai sekarang. Seharian perempuan itu di dalam kamarnya dan terdiam di sana bagaikan manusia tidak punya jalan hidup sendiri.
Tapi suara ponsel itu terus mengganggunya, sampai di mana suara ketukan pintu terdengar. Tetapi, sayangnya Falerin masih tidak menghiraukan semua itu. Ia memilih untuk berdiam diri dari pada mulutnya berkata sembarangan, ia adalah perempuan dewasa yang harusnya mampu mengendalikan emosinya yang meledak-ledak. Tapi ia masih tidak mampu melakukan itu, dengan deruh nafas yang terdengar berat itu.
"Keluar Falerin? Mau sampai kapan ada di dalam sana? Kamu belum makan, ayo keluar sebentar." Suara itu memang sering ia harapkan terus membujuk dirinya. Tapi untuk sekarang ia sama sekali tidak mau berharap, apa Faldo mau mempermainkan hatinya lagi?
"Erin?"
Di luar kamar itu jelas Faldo nampak putus asa, setelah apa yang ia lakukan kemarin itu membuatnya merasa bersalah. Ia menuduh Falerin melakukan sebuah hal yang bahkan mustahil perempuan itu lakukan, sama sekali tidak pernah dilakukan. Tapi kenapa? Kenapa Faldo lebih percaya orang lain dari pada istrinya sendiri?
"Bagaimana? Apa masih gak mau keluar?" Faldo hanya menggelengkan kepalanya, ia sudah terlalu merasa jika semua ini adalah kesalahannya.
Sedangkan perempuan di sampingnya sudah mulai kesal kepada pria itu, ketika ia pergi dengan tujuan menempuh pendidikan dan melihat sahabatnya sukses sampai ke negara tempat ia mencari tujuan. Ia pikir semuanya akan baik-baik saja, tapi kenyataannya tidak sesuai dengan ekspektasinya sendiri.
"Lo-"
"Please, jangan banyak bicara. Tolong aku,"
"Nolong lo? Look at you, you still don't want to realise?" Celline mengacak-acak rambut pendeknya sendiri dengan kacau, ia hendak memukul wajah pria di depannya tapi ia tahan.
"Gw gak berpihak sama lo, inget itu." Ucapnya dengan ancaman keras, ia tidak akan pernah memperbolehkan sahabatnya bertemu lagi dengan pria itu. Sangat berpengaruh buruk, ia tidak menyangka jika akan seperti ini.
Celline mengetuk pintu itu lagi, masih tidak ada jawaban apa pun dari penghuni yang ada di dalam sana. Masih enggan menjawab, sampai pada akhirnya Celline sepertinya harus melakukan sesuatu, tapi apakah bisa?
"Erin? Lo gak kangen sama gw, hm? Gw udah balik loh... " Di dalam sana secara sadar Falerin mendengar suara sahabatnya yang sudah lama tidak pernah ia dengar. Sampai di mana pintu benar-benar terbuka memperlihatkan keadaan Falerin yang kacau.
"Fel... " Falerin tersenyum senang ketika melihat Celline, ia melangkah mendekati Celline dan berniat akan memeluk sahabatnya.
Tapi sayangnya, langkahnya terlalu lambat dan tenaganya tidak cukup lagi untuk sekedar melangkah. Berakhir perempuan itu ambruk, tepat di sana Celline langsung menangkap badan sahabatnya yang sudah sadar di sana.
"FALDO!"
...♡♡♡...
Di saat istrinya tengah di bawa ke rumah sakit, Faldo bersama Celline menunggu di sana. Tetapi, ada sesuatu yang membuat pria itu mengalihkan perhatiannya. Ponselnya berdering secara terus-menerus membuatnya harus mengangkat ponselnya, tapi tangannya di halangi oleh Celline.
"Istri lo, lo masih mau pergi?" Celline menggenggam erat pergelangan tangan pria itu, tapi tangannya di tepis. Faldo sebenarnya kebingungan dengan keadaan yang seperti ini. Ia bahkan masih mempertanyakan, yang mana yang jauh lebih penting?
"Aku harus pergi,"
"FALDO! SIALAN LO! AAGHK!" Di sana Celline hendak mengejar Faldo, tapi dokter sudah keluar dari ruangan Falerin membuatnya harus bertahan di sana. Lebih memilih memastikan keadaan sahabatnya ketimbang harus melakukan sesuatu yang mungkin sudah jelas akan sia-sia saja.
Faldo keluar dari rumah sakit dengan raut wajah yang sangat gelisah, ketika ia sudah akan pergi dan tanpa sadar mobilnya berlawanan arah dengan mobil Lamborghini merah yang memasuki area parkir depan. Di sana seorang pria keluar dengan tergesa-gesa, tanpa memperdulikan akan apa yang terjadi ke depannya dia tetap berlari. Menanyakan sebuah nama kepada salah satu resepsionis yang berjaga di sana dan segera berlari ke arah yang di tunjukkan.
Benar-benar tidak ada pikiran lain, selain ia harus melihat keadaan perempuan itu yang mungkin saja tengah tidak baik-baik saja. Di sana ia menemukan sosok perempuan yang nampak familiar, sampai di mana dia menyadari keberadaannya di sana. Air mata itu jelas menandakan jika apa yang ia harapkan tidak terjadi.
"Harka... "
Harka melangkah mendekat ke arah pintu ruangan itu, dengan keadaan khawatir ia sampai ke rumah sakit. Ia pikir semuanya akan baik-baik saja, apakah itu hanya akan bertahan sebentar saja? Apakah keputusannya kemarin salah? Seharusnya Harka menahan Falerin agar tidak perlu ikut dengan Faldo, tapi di mana letak hak itu? Harka bahkan sadar jika dirinya tidak berhak atas keputusan yang akan Falerin ambil.
"Harusnya gw gak biarin dia pergi sama cowok itu... "