bercerita tentang seorang ibu rumah tangga bernama Rini yang sudah hidup bersama dengan suami nya bernama Edi selama 20 tahun lamanya. Rini menikah dengan Edi bukan berdasarkan cinta. Rini menikah dengan Edi karena Edi adalah suami pilihan orang tua nya. kisah ini menceritakan konflik di masa lampau dan juga menceritakan Lika liku kehidupan rumah tangga nya yang sedang dijalani saat ini. dari cerita ini kita belajar bahwa pilihan orang tua pun belum tentu baik dan walaupun tidak begitu buruk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lidia Grace Giawa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
lanjut. Lia salah paham pada ibu mertuanya
Suatu sore di rumah Agus dan Lia, ibu mertuanya, Bu Dewi, tampak sedang membersihkan dapur. Lia yang baru selesai mencuci piring, melihat Bu Dewi mengelap meja yang sudah dibersihkan nya tadi.
“Bu, meja itu tadi sudah saya bersihkan,” ucap Lia, sedikit tersinggung.
“Oh, iya? Maaf, mungkin masih kurang bersih. Biar saya yang rapikan lagi,” jawab Bu Dewi dengan nada tenang.
Namun, bagi Lia, kata-kata itu seperti sindiran. Hatinya langsung panas. “Ibu selalu begitu. Setiap kali saya melakukan sesuatu, ibu selalu mengulangnya lagi. Apa saya memang tidak pernah benar di mata ibu?”
Bu Dewi terkejut mendengar nada bicara Lia yang meninggi. “Lia, ibu tidak bermaksud begitu. Ibu hanya ingin membantu.”
Lia merasa dadanya sesak. Pikiran dan emosinya bercampur aduk. Saat itu juga, tanpa sadar, ia teringat masa lalu. Ia pernah memperlakukan Rini, kakak iparnya, dengan sikap yang sama. Dulu, Lia sering meremehkan pekerjaan Rini di rumah. Setiap kali Rini membantu membersihkan, Lia merasa lebih pandai dan selalu mencari kesalahan kecil. Sekarang, situasi yang sama terjadi padanya. Hatinya teriris, merasa bersalah pada Rini.
“Apa aku sedang mendapatkan balasan?” batin Lia sambil menahan air mata.
Lia diam sejenak, mengendalikan emosinya yang bercampur antara kesal dan penyesalan. Bu Dewi yang melihat wajah menantunya tegang, mencoba mendekat.
"Lia, kalau ada yang membuatmu tidak nyaman, bicarakan dengan ibu. Jangan dipendam," ujar Bu Dewi lembut.
Lia menunduk, hatinya berkecamuk. Ia ingin meminta maaf, tapi lidahnya terasa kaku
Akhirnya, Lia memberanikan diri untuk berbicara. “Bu, maafkan saya kalau tadi bicara kasar. Saya… saya mungkin terlalu sensitif.” Suaranya mulai melembut, dan air matanya hampir jatuh.
Bu Dewi menghela napas panjang, lalu tersenyum lembut. “Tidak apa-apa, Nak. Ibu paham, mungkin kamu lelah. Kita semua butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Rumah tangga memang penuh tantangan, termasuk dengan keluarga besar.”
Kata-kata Bu Dewi membuat Lia tersentuh. Ia merasa mendapatkan kasih sayang yang tulus dari ibu mertuanya, sesuatu yang tidak ia sadari selama ini karena pikirannya selalu terpusat pada hal-hal negatif.
“Nak, kamu adalah bagian dari keluarga ini. Ibu tidak pernah menganggap mu tidak mampu. Kamu sudah melakukan yang terbaik, dan itu cukup.”
Lia mengangguk sambil menyeka air matanya. Ia teringat kembali pada Rini. Sikap Rini yang selalu sabar, meskipun Lia sering memandangnya sebelah mata. Lia tahu, ia perlu memperbaiki hubungan yang pernah retak antara dirinya dan Rini. Apa yang terjadi dengan Bu Dewi adalah pengingat bahwa tidak ada gunanya memendam kesal dan perasaan negatif.
“Ibu, terima kasih. Saya janji akan lebih terbuka,” ujar Lia lirih.
Malam itu, setelah semua pekerjaan selesai dan suasana rumah lebih tenang, Lia duduk di samping Agus yang sedang membaca berita di ponselnya. Lia merasa ini saat yang tepat untuk berbicara, membuka apa yang selama ini mengganjal di hatinya.
"Mas, ada yang mau Lia ceritakan," kata Lia sambil menatap suaminya. Agus meletakkan ponselnya dan menoleh, merasakan keseriusan dalam nada suara istrinya.
"Ada apa, Dik? Kelihatannya kamu kepikiran sesuatu," Agus bertanya, memperhatikan raut wajah Lia yang sedikit gelisah.
Lia menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bicara. "Tadi, Lia sempat salah paham sama ibu. Rasanya... Lia kesal karena ibu seperti tidak percaya kalau Lia bisa mengurus rumah ini. Padahal, mungkin ibu cuma ingin membantu."
Agus mengangguk, mencoba memahami perasaan istrinya. "Ya, mungkin ibu cuma maksudnya baik. Tapi, kenapa kamu jadi kesal?"
Lia terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan suara pelan, "Sebenarnya, masalahnya bukan cuma itu, Mas. Lia merasa ini semacam... balasan buat Lia."
"Balasan? Maksudmu?" Agus menatap Lia dengan bingung.
"Dulu, Lia sering memperlakukan mbak Rini dengan tidak baik. Lia suka mengkritik caranya mengurus rumah. Lia merasa lebih pintar, tapi sebenarnya cuma bikin suasana jadi buruk. Sekarang, setiap kali ibu berbuat sesuatu yang menurut Lia tidak tepat, Lia jadi tersinggung, seolah-olah Lia tidak mampu. Rasanya seperti karma."
Agus terdiam, tidak menyangka bahwa Lia membawa beban seperti itu. Ia tahu, ada beberapa ketegangan di masa lalu antara Lia dan Rini, tapi tidak pernah menyangka Lia merasa bersalah sedalam itu.
"Lia, kamu sudah jadi istri yang baik. Semua orang bisa bikin kesalahan di masa lalu. Tapi yang penting sekarang, kamu sudah sadar dan mau memperbaikinya."
Lia menunduk, merasakan kelegaan dari kata-kata Agus. "Tapi, Mas, Lia harus minta maaf sama mbak Rini. Lia sadar Lia sudah banyak salah sama dia. Dia nggak pernah mengeluh atau membalas sikap Lia dulu, tapi sekarang Lia paham betapa susahnya menjalani peran sebagai istri dan mengurus rumah tangga."
Agus mengangguk pelan. "Kalau itu yang kamu rasakan, mungkin memang sudah waktunya kamu bicara sama Rini. Kita semua belajar dari pengalaman, Dik. Nggak ada salahnya untuk minta maaf."
Lia tersenyum tipis, meskipun matanya berkaca-kaca. "Mas, terima kasih sudah mengerti. Lia akan cari waktu untuk bicara sama mbak Rini."
Agus memeluk Lia erat. "mbak Rini, dia orang yang sabar dan baik hati. Yang penting, kamu sudah mau berubah."
Setelah suasana hati Lia mulai tenang, Lia memutuskan untuk menghubungi Rini. Meskipun hubungan mereka sudah membaik, Lia merasa belum sepenuhnya lega. Ia masih ingin berbicara lebih dalam, meminta maaf, dan sekalian curhat tentang perasaannya yang akhir-akhir ini sering mengganggu pikirannya.
Lia mengambil ponselnya, mencari nama Rini di daftar kontak, dan menekan tombol panggil. Suara berdering terdengar sebentar sebelum akhirnya Rini menjawab.
"Halo, Lia?" suara Rini terdengar hangat di ujung telepon.
"Halo, mbak. Apa mbak Rini tidak sibuk?" tanya Lia dengan sedikit ragu, khawatir mengganggu.
"Nggak kok. Rania sudah tidur. Ada apa, Lia?" jawab Rini dengan nada lembut.
Lia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara lebih dalam. "Mbak, sebenarnya Lia ingin ngomong sesuatu."
Rini terdengar terdiam sebentar, lalu berkata, "Oh, ya? Apa itu, Lia?"
Lia melanjutkan, suaranya pelan tapi penuh perasaan, "Lia tahu mbak Rini pernah bilang bahwa diantar kita sudah tidak ada lagi masalah dan mbak sudah memaafkan Lia, tapi Lia tetap merasa bersalah. Lia sadar, dulu Lia sering bersikap egois dan kurang menghargai mbak Rini. Dulu, Lia pikir ngurus rumah tangga itu gampang. Lia suka mengkritik, padahal mbak Rini sudah berusaha sebaik mungkin. Sekarang, setelah tinggal sama Mas Agus dan merasakan sendiri bagaimana jadi istri, Lia baru ngerti betapa beratnya tanggung jawab itu."
Rini mendengarkan dengan penuh perhatian. "Lia, aku sudah bilang, aku nggak pernah merasa kamu jahat. Waktu itu mungkin kamu belum tahu bagaimana rasanya. Aku pun waktu pertama kali menikah dengan mas Edi, sempat kaget dan bingung harus gimana ngurus semuanya."
"Ya, tapi Lia tetap merasa harus minta maaf lagi. Apalagi setelah tinggal sama ibu mertua, kadang Lia ngerasa ibu juga kayak sering kurang percaya sama Lia. Padahal mungkin itu cuma perasaan Lia aja. Tapi, itu bikin Lia sadar, mungkin mbak Rini dulu juga merasa seperti itu, ya?"
Rini tersenyum kecil di ujung telepon. "Mungkin sedikit, tapi nggak apa-apa, Lia. Semua orang belajar dari pengalaman. Ibu mertua juga pasti nggak bermaksud bikin kamu ngerasa nggak dipercaya. Mereka kadang cuma ingin memastikan semuanya baik-baik saja."
Lia tersenyum, merasa sedikit lega. "Iya, Lia juga mulai paham soal itu sekarang. Tapi kadang masih sulit, mbak. Kadang Lia merasa nggak cukup baik, terus Lia jadi mikir-mikir soal hubungan kita dulu. Lia cuma mau bilang, Lia sayang sama mbak Rini. Lia nggak mau hubungan kita rusak lagi karena kesalahan Lia di masa lalu."
Rini terdiam sejenak, terharu mendengar kata-kata adik iparnya. "Lia, kamu juga selalu jadi bagian penting buatku. Kita keluarga, dan keluarga itu saling menguatkan, bukan saling menyalahkan. Aku sudah lama memaafkan mu, dan aku senang kamu bisa mengerti sekarang. Tapi ingat, jangan terlalu keras sama diri sendiri."
Lia tersenyum, meski air matanya mengalir perlahan. "Terima kasih, mbak. Lia cuma ingin semuanya baik-baik saja. Lia mau jadi adik yang lebih baik untuk mbak Rini, sama seperti dulu mbak Rini sabar sama Lia."
Rini tersenyum dari seberang telepon, merasa tersentuh. "Kita sama-sama belajar, Lia. Aku juga banyak belajar dari kamu. Jangan ragu buat cerita apa pun sama aku. Aku selalu ada untuk mendengarkan."
Lia mengangguk meski tahu Rini tak bisa melihatnya. "Iya, mbak. Lia akan cerita kalau butuh bantuan. Terima kasih sudah jadi kakak yang baik untuk Lia."
"Selalu, Lia," jawab Rini hangat.
Percakapan itu berakhir dengan rasa lega di hati Lia. Ia merasa lebih ringan, seolah semua beban yang pernah mengganjal di hatinya mulai menghilang. Kini, ia tahu bahwa hubungan mereka semakin kuat, tak hanya sebagai ipar, tapi sebagai saudara yang saling memahami dan mendukung satu sama lain.