Setelah ibunya tiada, Zareena hampir dijadikan jaminan untuk melunasi utang-utang judi Sang Ayah.
Dia marah pada Ayahnya, tapi kasih sayang dalam hati Zareena jauh lebih besar, sehingga apapun akan Zareena lakukan untuk menyelamatkan sosok Ayah yang ia sayangi. Namun segala usaha Zareena pada akhirnya sia-sia, Ayahnya meninggal dan dia harus merelakan satu-satunya rumah peninggalan kedua orang tuanya jatuh ke tangan Sang bandar judi.
Saat itu, Zareena sudah putus asa dan hampir menyerah. Tapi takdir berkata lain, di tengah ketidak pastian akan hidupnya, Zareena justru terselamatkan oleh kehadiran Ethan, putra tunggal sekaligus pewaris keluarga Hawkins.
Siapa Ethan dan kenapa dia menolong Zareena? lalu bagaimana kisah keduanya berlanjut?. Yuk, baca kisah lengkapnya dalam novel ini.
Jangan lupa tinggalkan komentar dan like sebagai dukungan kamu, ya. Selamat membaca, terima kasih 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sandyakala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Janji Rayden
"Hoooeekk".
Zareena memuntahkan isi perutnya. Rayden yang baru saja tertidur segera membuka kedua matanya dan bergegas menuju kamar mandi.
"Zareena, apa kamu baik-baik saja di dalam?", Rayden mengetuk pintu yang tertutup di depannya.
Sejak beberapa hari yang lalu Mama Paula meminta bantuan Rayden untuk menjaga Zareena, setiap hari Rayden selalu ada di rumah sakit. Dia bergantian dengan Elis dan Sam di sana.
Malam ini, Elis tidak bisa ke rumah sakit karena kondisi Papa Robin belum juga membaik. Meskipun di kediaman Hawkins ada banyak pelayan, tapi hanya Elis yang menjadi kepercayaan Mama Paula untuk membantunya merawat Papa Robin.
Alden juga hanya mampir beberapa jam untuk memantau kondisi kesehatan Zareena. Dia tidak bisa banyak membantu karena harus mengambil alih seluruh pekerjaan CEO di kantor selama Zareena dan Papa Robin sakit.
Sudah hampir satu minggu Papa Robin sakit. Tapi dia menolak untuk dirawat di rumah sakit, sehingga setiap hari Dokter Ryan akan memeriksa keadaannya ke rumah. Itulah kenapa Mama Paula tidak leluasa untuk menemani Zareena di rumah sakit dan Zareena pun memaklumi hal tersebut.
"Zareena, apa kamu baik-baik saja di sana?. Tolong jawab aku dan buka pintunya", lagi, Rayden bertanya sambil mengetuk pintu kamar mandi berkali-kali.
Tak lama, Zareena membuka pintu itu.
Brukkk
Tubuh Zareena ambruk, beruntung tangan kokoh Rayden segera menahan tubuh Zareena sehingga ia tidak jatuh ke lantai.
Rayden dengan sigap menggendong Zareena kembali ke tempat tidur. Wajahnya terlihat pucat sekali.
Rayden merebahkan Zareena dengan hati-hati dan dia bergegas memanggil dokter. Tak lama seorang dokter bersama seorang perawat segera masuk ke ruang VVIP tersebut.
"Tolong periksa keadaannya. Baru saja dia muntah-muntah di kamar mandi. Dia terlihat pucat dan lemas", Rayden menjelaskan kondisi Zareena.
"Baik, kami akan memeriksanya, Tuan".
Sang Dokter meminta perawat untuk membantunya memeriksa keadaan Zareena.
"Bagaimana keadaannya?", tanya Rayden setelah Zareena selesai diperiksa.
"Nona Zareena memang tampak lemas, Tuan. Tapi kondisinya masih aman. Nona Zareena sepertinya mengalami hyperemesis gravidarum".
Rayden mengernyitkan dahinya, "Penyakit apa itu, Dok?. Apakah berbahaya?".
"Tergantung, Tuan. Hyperemesis gravidarum merupakan kondisi mual dan muntah akut yang dialami oleh ibu hamil. Umumnya kondisi tersebut terjadi di trimester pertama karena selain pengaruh hormon juga tubuh seorang ibu beradaptasi dengan segala perubahan dalam dirinya", terang Sang Dokter.
"Jika dibiarkan, hyperemesis bisa berdampak buruk pada kondisi ibu dan bayi karena memicu terjadinya dehidrasi hingga malnutrisi" dokter melanjutkan penjelasannya.
"Begitu rupanya. Apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi kondisi tersebut, Dok?. Kasihan sekali aku melihatnya. Dia harus mual dan muntah tanpa kenal waktu", Rayden menatap Zareena yang terdiam.
Sepanjang hari ini dia menemani Zareena, memang sudah beberapa kali Rayden melihatnya muntah-muntah. Rayden membantu Zareena ke kamar mandi, tapi baru malam ini kondisi Zareena terlihat lebih mengkhawatirkan dari sebelumnya.
"Saya sarankan Nona Zareena untuk memperbanyak minum air putih hangat atau minuman jahe dan mint untuk mengurangi rasa mual. Nanti akan saya resepkan kembali vitamin dan obat yang juga dapat mengurangi mual dan muntahnya", saran dokter pada Zareena.
"Tolong Tuan perhatikan juga konsumsi makanan Nona Zareena. Porsinya bisa dikurangi sedikit atau disubtitusi dengan buah. Tapi pastikan asupan nutrisi hariannya selalu terpenuhi dengan baik", lanjutan Sang Dokter.
Zareena menganggukkan kepalanya tanda mengerti, begitu pula dengan Rayden.
Sebelum meninggalkan ruangan tersebut, dokter memerintahkan perawat untuk memasangkan infus baru pada Zareena setelah dua hari yang lalu mereka melepas infusan tersebut karena kondisi Zareena membaik.
"Kami permisi, Tuan, Nona".
"Terima kasih", jawab Rayden dan Zareena bersamaan.
"Apa kamu dengar apa kata dokter tadi?. Ingat, jaga nutrisi harianmu. Aku potongkan buah, ya", tawar Rayden pada Zareena.
"Tidak usah. Biar aku melakukannya sendiri".
Zareena berusaha turun dari tempat tidurnya.
"Jangan banyak bertingkah. Kamu harus bed rest. Biar aku yang potongkan buah untukmu. Katakan saja, buah apa yang kamu mau?".
Rayden kembali berdiri di samping tempat tidur, menahan pergerakan Zareena agar tidak turun dari sana.
Zareena menatap Rayden sebentar. Perasaannya benar-benar tak nyaman. Aneh rasanya disaat hamil dan sakit begini dirinya justru ditemani dan dirawat oleh pria lain, begitu pikir Zareena.
Zareena akhirnya memilih duduk di tempat tidur. Dia membiarkan Rayden memotongkan buah untuknya.
"Apa buah yang ingin kamu makan?", tanya Rayden sesaat setelah dia membuka pintu kulkas yang ada di ruangan itu.
"Aku ingin makan melon dingin", jawab Zareena.
"Ok".
Rayden segera mengambil buah yang Zareena minta. Dia tampak telaten mengupas dan memotong buah melon itu.
Zareena menatap Rayden yang serius memotong buah untuknya.
"Andai kamu di sini, pasti yang memotongkan buah itu adalah kamu", batin Zareena teringat kembali pada suaminya.
"Ini, makanlah".
Rayden menyodorkan sepiring melon potong pada Zareena sekaligus membuyarkan lamunan Zareena.
"Ah, ya. Terima kasih", jawab Zareena tersenyum tipis.
"Habiskan buah itu. Besok aku bawakan lagi buah melon dan buah lainnya. Kalau perlu seluruh isi toko buah aku pindahkan kemari", ucap Rayden sambil mendudukkan dirinya di kursi.
Zareena tertawa kecil mendengar celotehan Rayden.
"Jangan berlebihan. Ini sudah lebih dari cukup untukku", Zareena menunjuk piring yang ada di pangkuannya.
Rayden senang melihat Zareena tertawa meski hanya sebentar. Hampir satu minggu Rayden menggantikan Mama Paula untuk menemani Zareena di rumah sakit, hal itu membuat dirinya mulai terbiasa untuk lebih siaga menjaga ibu hamil.
"Kalau saja aku sudah menikah, mungkin hal seperti ini yang akan aku lakukan dengan istriku", pikir Rayden.
"Apa yang kamu pikirkan?", Zareena bertanya karena sejak tadi tidak biasanya Rayden diam.
"Tidak ada. Aku hanya berpikir jika aku sudah menikah, apakah istriku juga akan mengalami kondisi sepertimu?. Tapi jika pun terjadi, aku sudah berpengalaman untuk mengurusnya kelak", jawab Rayden santai.
Zareena tersenyum. Ada rasa aneh yang menelusup dalam hati Zareena mendengar perkataan Rayden yang memang agak susah untuk disaring.
"Aku yakin kamu pasti akan menjadi suami yang baik. Oh ya, bisakah aku minta tolong padamu?".
"Terima kasih untuk pujiannya. Katakan saja apa yang kamu butuhkan dariku?".
Zareena terdiam sebentar, dia tampak berpikir.
"Tentang suamiku. Apakah kamu bisa membantuku untuk menghubunginya?".
Rayden menatap lekat ke arah Zareena.
"Bukankah Om Robin sudah mengatakan kalau Ethan sedang sibuk dengan pekerjaannya di Pulau X dan negara tetangga?", Rayden balik bertanya.
"Ya, aku tahu itu. Tapi semenjak dia pergi ke Pulau X, sampai detik ini dia tidak menghubungiku. Entah sudah berapa ribu kali aku coba menelepon dan mengirimkan pesan padanya, tapi tidak ada satupun yang direspon oleh Ethan. Kamu sahabat baiknya, bukan? tentu kamu tahu bagaimana caranya agar aku bisa menghubungi suamiku itu, sekali saja".
Ada raut kesedihan yang terpancar dari wajah Zareena. Wajahnya yang masih tampak pucat semakin menunjukkan dirinya yang sedang tidak baik-baik saja.
"Tolong bantu aku, Rayden. Sudah satu minggu lebih aku dirawat di rumah sakit ini, bayiku sekarang sudah satu bulan dan selama ini suamiku tidak tahu kalau dia akan menjadi seorang ayah. Aku tidak akan memintanya untuk pulang cepat, aku hanya ingin memberitahukan kehamilanku. Itu saja", lanjut Zareena dengan mata berkaca-kaca.
Rayden menarik nafas dalam. Dia bingung harus memberikan jawaban apa pada permintaan Zareena.
Rayden masih berpikir, sedangkan air mata Zareena sudah tumpah. Beban yang selama ini dia rasakan sepertinya sudah tidak bisa dibendung lagi.
Zareena merasa berjuang sendirian karena setiap kali dia bertanya tentang Ethan pada kedua mertuanya, pada Alden, dan juga Rayden, tidak ada satupun jawaban atau bantuan nyata yang Zareena dapatkan.
Tangisan Zareena semakin menjadi-jadi. Tubuhnya bergoncang, menahan sesak dan sakit yang datang bersamaan.
Rayden berdiri dari tempat duduknya dan ia spontan memeluk Zareena. Dia membiarkan Zareena menumpahkan segalanya dalam pelukannya.
Rayden merasa tidak tega melihat perempuan sebaik Zareena menangis seperti itu. Terlebih Rayden tahu kondisi kesehatan dan kehamilan Zareena juga pencarian Ethan yang masih terus berjalan.
Ada rasa haru yang ikut Rayden rasakan dan ada rasa bersalah karena dia belum bisa mengatakan dengan jujur kondisi Ethan saat ini.
"Aku akan usahakan untuk membantumu menghubungi Ethan secepatnya, aku janji", ucap Rayden sungguh-sungguh.